Duniaku hancur. Pecah menjadi beribu keping. Tiap tetes air mata yang jatuh seperti mengingatkanku bahwa aku sedang terjaga. Ini bukan mimpi buruk. Baru saja beberapa hari yang lalu aku merasa menjadi orang paling bahagia di seluruh dunia. Kenyataan menghantamku terlalu keras, menyisakan segala kenangan indah yang ternoda oleh kebenaran.
Tidak ada perasaan terburuk di dunia ini selain perasaan tidak berdaya. Tidak ada yang bisa kulakukan. Yang bisa kulakukan hanya menerima kenyataan.
Sudah berulang kali kubaca tulisan Rian sampai otakku hafal tiap kata yang tertulis di sana. Berulang kali pula, aku mencoba menghubungi semua tokoh dalam cerita itu. Rian, Lisa, Sadewa yang baru kutemui beberapa jam lalu.
Sadewa.
Untuk pertama kalinya namanya terasa pahit di lidahku.
Sadewa yang kukenal tidak seperti yang ada dalam cerita Rian.
Terlalu bodoh bagiku untuk berasumsi bahwa hanya aku satu-satunya yang menjadi rahasia dia. Mungkin, ada Wulan-Wulan lain di luar sana. Lisa, salah satunya. Apa aku harus bersyukur karena berhasil menghindari kemalangan yang menimpa Lisa? Bagaimana kalau saat itu aku menyerah dan membiarkannya melakukan sesukanya? ...padaku.
.
3 September. Hari pertama kami masuk sekolah lagi setelah dua hari libur.
Lisa tidak masuk hari ini. Hasilnya, Rian lah yang dikejar anak-anak untuk menjelaskan lebih detil cerita viralnya yang sudah sampai masuk berita skala Nasional. Rian yang dari dulu memang tidak suka menjadi pusat perhatian, berbanding terbalik dengan Lisa, menolak untuk berkata-kata lebih banyak setiap kali dicecar para pemburu gosip.
"Itu beneran Pak Sadewa?" interogasi Hanif dari bangku belakang saat kami sedang belajar Kimia di laboratorium. Rian hanya membalas dengan anggukan.
"Bukan halunya Lisa doang kan?" terka Hanif. Rian mendecak kencang. Ia tidak berbalik sepenuhnya ke belakang, hanya menoleh sekilas dengan wajah kesalnya. Hanif mengkerut, kembali menekuni buku paket Kimianya.
"Terus," Serina di kananku mencondongkan badannya, berbisik pada Rian yang duduk di samping kiriku, "Pak Sadewanya bisa dihubungi?"
Aku tetap mendengarkan meski sudah tahu jawaban pertanyaan itu. Aku saja tidak bisa menghubungi orang itu.
Rian tidak bersuara. Tapi karena Serina memalingkan wajah ke depan lagi, aku berasumsi bahwa Rian menjawab dengan gelengan. Aku diantar pulang kemarin pukul satu siang. Dua jam selanjutnya, baru Rian mengunggah ceritanya.
Aku menarik napas dengan susah payah. Oksigen yang masuk di hidungku terasa pedas. Mataku memanas, mulai berkaca-kaca. Hatiku hancur. Apa hal yang sama akan terjadi padaku kalau aku tidak menghentikannya malam itu?
"Aku mau ngundurin dari NSDC," ujar Rian tiba-tiba padaku. Aku menoleh menatapnya untuk pertama kali. Lingkaran hitam di bawah matanya memberitahuku bahwa dia sedang tidak baik-baik saja.
"Yan," Mia yang duduk paling ujung menyentuh pundak Rian. "Pikirkan matang-matang dulu. Kok mendadak?"
Meski tim kami mendapat peringkat pertama kemarin. Hanya aku dan Rian yang masuk dalam Top 3 Best Speakers. Satu peserta lain berasal dari sekolah lain, bukan Ir. Kalau dia mundur, mungkin Ir yang akan maju. Atau anggota lain dari tim peringkat kedua. Aku lupa perhitungan skor individu kami.
"Aku nggak bisa fokus. Lombanya bulan ini," jawab Rian singkat. Karena Mia tidak membantah lagi, Rian kembali menatapku. Aku mengangguk, tidak punya tenaga untuk berbicara atau bahkan berpikir hari ini.
Di jemariku masih terlingkar cincin pemberian Pak Sadewa. Begitupun kalung di leherku. Cincin itu kulepas dengan mudah karena ukurannya yang agak kebesaran. Sekalian, aku melepaskan kalungku. Keduanya kutaruh di dalam kotak pensilku. Baru kemarin aku berpikir tidak akan mungkin kami putus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi Kuasa ✔️
RomanceGuru lelaki yang baru mulai mengajar di sekolahnya itu bernama Pak Sadewa. Rayuan maut murid-murid cewek tidak pernah mempan melelehkan sikap dingin guru muda itu. Siapa sangka dibalik rupawan sempurna wujudnya, tersimpan perilaku penuh dosa yang ta...