⠀⠀⠀shortroadstory: marry your daughter

24.7K 1.6K 180
                                    

Mungkin dalam waktu satu menit, dia sudah menghela nafas panjang sebanyak sepuluh kali. Sejak tadi ia tidak banyak bicara, hanya memandang jendela kereta yang memamerkan sawah hijau-hijau di bawah terik matahari siang. Entah apa yang sebenarnya ia takutkan. Padahal ayahku juga tidak galak-galak amat.

"Kamu tuh spek dewa, kayak namamu. Takut apa lagi sih?" timpalku, penasaran.

Matanya kembali pada mataku, absen oleh ketajaman yang biasanya. "Haaah," Sadewa memejamkan mata, menyandar pada kursi kereta yang empuk di belakangnya.

"Jangan-jangan..." aku memberi jeda, pura-pura menciptakan efek dramatis, "... malah kamu yang belum siap?"

"Bukan begitu," sambarnya, langsung membuka mata lagi. "Cuma... sedikit nervous."

"Iya, tapi kenapa?" cecarku.

Sadewa menelan ludah, menggigit-gigit bibirnya. "Kalau kamu belum dibolehin nikah, bagaimana?"

Ketakutannya beralasan. Aku baru saja masuk kuliah. Meski kami merencanakan akan menikah satu tahun lagi, yang mana itu bukan waktu yang singkat, ada kemungkinan orangtuaku masih tidak mengizinkan.

"Kalau kamu harus lulus dulu?"

Kalau harus lulus, berarti empat tahun lagi. Aku akan berusia 23, dia 31.

"Ya bukan masalah juga, sih," Sadewa menjawab pertanyaannya sendiri, terlihat sekali wajahnya yang memucat.

Aku mengangkat alis, "Jadi? Yang buat kamu keberatan apa?"

Ia menggeleng singkat. Tapi aku yakin pikirannya masih semrawut di dalam. Aku sudah bertanya berkali-kali dalam perjalanan kami pulang ke kota asalku. Kalau memang dia kukuh tidak ingin memberitahu, ya sudah. Mau apa lagi.

"Nanti mau ke hotel kamu dulu atau langsung ke rumahku?" aku mengganti pertanyaanku.

Sadewa tidak berpikir dua kali saat menjawab, "Langsung ke rumahmu, biar cepat selesai."

.

Dengan mobil sewaan, kami langsung pulang ke rumahku. Malamnya baru Sadewa akan pulang ke hotel. Saat melihat lagi jalanan kotaku, semua kenangan dari sejak aku lahir mengguyurku dari atas ke bawah. Membuatku merinding. Padahal aku baru pulang lagi setelah empat bulan merantau.

Benar kan? September, Oktober, November, Desember.

Wow. Cuma empat bulan, aku sudah homesick.

Padahal sekarang sudah di rumah.

Begitu sampai di kompleks perumahan yang sangat kukenal, mobil akhirnya berhenti di depan pagar rumahku. Sadewa dengan sigap turun dan membuka pintuku. Ia juga membuka bagasi belakang dan menggendong ranselku dan satu tas tentengan yang isinya oleh-oleh 'sogokan' dari Sadewa yang sebenarnya terlalu banyak jumlahnya untuk keluargaku yang hanya berjumlah tiga orang.

Tangannya yang bebas, menggenggam tanganku erat-erat. Mobil yang terparkir di depan rumah menandakan bahwa orangtuaku ada di dalam. Hari ini hari Minggu. Sudah pasti tidak kemana-mana.

"Bentar, mau peluk," Sadewa tiba-tiba menjatuhkan tentengan yang ia bawa dan merengkuhku ke dalam pelukannya. Aku balas memeluknya sama eratnya, sambil berkali kuusap-usap punggungnya. Badannya yang tinggi besar seperti raksasa kalau dibandingkan denganku membuat aku tenggelam dalam dekapannya.

"Santai aja, kayak kamu yang biasa," aku menenangkannya. Sadewa tidak menjawab, tapi masih memelukku lama sekali. Kira-kira semenit lebih kami berpelukan di jalan depan rumahku. Aku menahan rasa maluku setiap ada kendaraan yang lewat. Astaga... Segitunya...

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang