Perayaan Sederhana

13.2K 1.2K 40
                                    

Setengah sadar, aku berusaha memanggil-manggil Serina. Aku merasa bersalah karena membahayakan dia. Sebenarnya aku lebih takut kalau terjadi apa-apa pada dia. Orangtuanya pasti akan cemas sekali.

Telingaku menangkap namaku yang dipanggil berkali-kali oleh beberapa orang. Aku masih tidak bisa melihat apa-apa. Mungkin aku sedang tertidur. Kepalaku yang berat, ditambah badanku yang terasa kaku membuat aku yakin akan hal itu.

"Minum ... Lan, ... bisa ... aku ... nggak?" aku mendengar samar-samar suara seseorang yang tengah menyodorkan sebotol minuman ke bibirku dan mendongakkan kepalaku agar air dapat mengalir masuk. Aku masih merasakan perih yang tajam di kakiku merambat sampai ke betis, lutut, badan sampai ke otak.

"Lan, Lan, sakit?" suara itu terdengar lebih jelas kali ini. Seseorang membalut kakiku dengan sesuatu terlalu kencang membuat aku meremas kuat-kuat tangan seseorang di sampingku setiap rasa sakit itu datang. "Sabar, Lan, jangan digerakkan dulu," aku mulai mengenali suara itu. Pandanganku yang kabur mulai kembali menjernih. Lisa berjongkok di depanku dan entah melakukan apa pada kakiku yang sudah tidak bersepatu lagi.

"Ke rumah sakit, ya dek?" aku mendengar suara khas bapak-bapak bertanya yang langsung kutolak dengan lambaian tangan.

"Nggak apa-apa, Lan. Parah ini, kayaknya," kali ini suara Rian terdengar di sampingku. Aku menoleh dan melihat muka cemas Rian dan Serina.

"Ke rumah sakit aja, Lan. Nggak apa-apa, ada kita." Tanpa kuduga, tubuhku langsung diangkat oleh seseorang. Aku menggapai-gapai entah tangan Lisa atau Rian atau Serina, menarik mereka untuk ikut denganku. Luka-luka ditubuhku mulai terasa ngilu lagi karena pergerakan kasar saat aku dibawa masuk ke dalam kendaraan.

Pikiranku baru sadar sepenuhnya saat sudah berada di rumah sakit. Rupanya aku mengalami patah tulang di bagian salah satu tulang metatarsal, setelah di-rontgen oleh dokter. Untungnya, kakiku tidak sampai dioperasi, hanya dipasangkan gips saja. Bunda menjemputku di rumah sakit dan langsung membawaku pulang ke rumah. Teman-temanku juga ikut pulang ke rumahku, kecuali Serina yang syukurnya tidak terluka sedikitpun. Mia yang tadinya ingin kami surprise-in malah mengunjungiku di rumah.

"Serina ini pembawa masalah banget deh tiap kali kita main," Rian tertawa, diikuti Lisa dan aku. "Pokoknya ada aja kejadian-kejadian tiap main sama dia."

"Lah, kok aku. Yang bawa motor siapa?" suara cempreng Serina membalas dari ujung telepon.

"Tapi motormu gimana, Rin? Kamu dimarahin nggak?" aku masih khawatir, takut meninggalkan jejak yang parah di motornya.

"Kayaknya kegores dikit, sih, Lan. Tapi nggak apa-apa, semoga ga ada yang nyadar." Aku menghela napas lega. Serina itu jujur dan kalkulatif. Kalau menurut dia tidak akan membawa masalah, berarti memang tidak akan ada masalah di masa depan.

"Parah sih, kalian. Makanya jangan sok-sokan surprise-in orang," Mia memotong kue ulangtahunnya dari kami dan menaruh beberapa potongan itu di atas piring-piring kecil.

Aku tertawa, benar-benar plong karena efek kecelakaannya tidak parah dan tidak merugikan orang lain. "Maaf ya, Mia. Surprise-nya jadi nggak jadi," aku pura-pura cemberut.

Mia menoyor kepalaku, "Eh, Lan, surprise ini lebih mengejutkan tahu. Bayangkan kagetnya aku ditelfon Serina. Lagian, nggak penting juga. Cuma ulangtahun doang." Ia menyuap kuenya ke dalam mulut. "Yang penting masih ada kuenya, hehe."

"Tapi untung Kak Lisa langsung cepat tanggap ya, kaki Kak Wulan langsung disangga biar nggak pindah tempat," Candra yang dari tadi cuma mendengar kami, membuka suara.

Lisa mengibaskan rambut pendeknyanya, bangga dipuji oleh si adik kelas. "Di paskibra biasanya banyak kecelakaan gitu, soalnya," jawabnya singkat.

"Untung aku langsung lompat," timpal Serina yang masih terhubung di video call.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang