Sadewa melangkah masuk ke dalam perpustakaan dengan ragu-ragu. Di tangan kanannya, setumpuk kertas-kertas yang berantakan mengintip dari balik map biru yang dijepit oleh klip hitam besar. Ia sedang mencari seorang guru bernama Heru, yang tidak ia ketahui sama sekali wajah atau perawakan orang itu.
Dari sekali pandang ke dalam perpustakaan, laki-laki itu sudah dapat menyimpulkan bahwa orang yang ia cari sedang tidak di tempat. Ruangan itu penuh dengan murid-murid berseragam putih abu-abu. Tidak ada satupun orang dewasa terlihat selain penjaga perpustakaan.
"Permisi, Pak." Sadewa mendekati meja penjaga perpustakaan dan berbicara dengan pelan untuk menjaga ketenangan ruangan itu. "Saya disuruh kepala sekolah menemui Pak Heru. Katanya, beliau sedang di sini?"
Si penjaga perpustakaan, yang merupakan di dadanya tertulis nama 'Aris' ikut mendekat untuk mendengar lebih jelas suara Sadewa. "Pak Heru?" tanyanya sekali lagi, kemudian ia menengok ke kanan kiri mencari sosok yang dimaksud. "Belum datang kayaknya. Biasanya jam istirahat, baru mampir ke sini." Aris mengamati Sadewa dari atas ke bawah sebelum bertanya, "Ada perlu apa, ya?"
"Saya guru baru Sejarah di sini. Sadewa Respati," Sadewa mengenalkan diri.
Wajah Aris langsung berubah sumringah. "Oooh, Pak Sadewa. Iya, iya. Berarti ngajar kelas berapa nanti, Pak?"
"Nah, itu yang ingin saya tanyakan dengan Pak Heru. Kata Pak Kepala Sekolah saya mengajar kelas sepuluh saja, tapi disuruh diskusi lagi dengan Pak Heru."
"Oh iya, iya," Aris manggut-manggut paham. "Duduk dulu aja, Pak. Masih beberapa menit lagi istirahat, kok. Saya pikir siapa..."
"Baik, Pak. Terima kasih," balas Sadewa. Ia kemudian berbalik, dan dihadapi lagi dengan kebingungan baru. Pilih duduk di mana.
Padahal seharusnya saat itu bukan waktu istirahat, tapi ada kira-kira tiga puluh murid lebih di dalam ruangan. Yang semuanya sedang sibuk mengerjakan sesuatu, bukan sedang membaca santai.
Ia memilih duduk dekat dengan pintu, agar ia bisa melihat setiap orang yang baru masuk ke dalam ruangan. Berjarak tiga bangku kosong darinya, ada empat murid-murid perempuan yang sedikit lebih berisik dibanding perkumpulan murid lain.
Sadewa membuka lagi mapnya yang berisi informasi umum sekolah yang akan jadi rumahnya nanti untuk satu semester ke depan. Sadewa sudah punya pengalaman mengajar beberapa kali saat kuliah dulu, sebagai pekerjaan paruh waktu. Tapi semuanya adalah mengajar privat anak sekolah. Mata pelajaran sains. Tidak pernah ia mengajar di sekolah. Tidak pernah juga ia mengajar Sejarah. Meskipun mata pelajaran itu lebih berhubungan dengan latar belakang pendidikannya.
"Orang golongan darah AB emang kelakuan alien sih. Nggak usah ditanyain lagi, nih dua contohnya," percakapan murid-murid di sebelahnya menggelitik rasa penasaran Sadewa. Lelaki itu menahan diri untuk tidak menertawakan kebodohan yang baru saja ia dengar. Menurutnya, sifat dan karakteristik manusia tidak mungkin hanya dipengaruhi oleh golongan darah.
"Nggak, loh. Aku O kok. Lisa doang yang beda."
"Hah? Emang kembar bisa beda golongan darah?"
"Kita kembar fraternal, Wulan! Duh sampe apal aku materi genetik. Ga usah belajar Biologi lah."
"Berarti aku, Rian, O. Lisa, AB. Wulan, B?"
"Kalau rhesus tuh apa sih..."
Kalau ada yang memperhatikan Sadewa, mungkin mereka akan menyadari senyum tipis yang perlahan muncul di wajahnya. Ia tidak bisa membayangkan kegaduhan apa yang akan ia alami ke depan dengan anak-anak sekolah ini.
"Rhesus negatif kalau ketemu rhesus positif bisa menyebabkan keguguran?"
"Ngaco ah, Mia."
"Ih, bener. Di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi Kuasa ✔️
Storie d'amoreGuru lelaki yang baru mulai mengajar di sekolahnya itu bernama Pak Sadewa. Rayuan maut murid-murid cewek tidak pernah mempan melelehkan sikap dingin guru muda itu. Siapa sangka dibalik rupawan sempurna wujudnya, tersimpan perilaku penuh dosa yang ta...