Segala Prasangka

12.4K 1.3K 184
                                    

Tidak ada kabar terbaru selama beberapa hari. Rian, mengikuti jejak Lisa juga tidak masuk sekolah. Sementara tokoh utama yang satu lagi menghilang. Hidupku kembali seperti dulu saat belum bertemu dia. Kakiku sudah sembuh total, lepas dari kungkungan gips tebal yang memperlambat langkahku. Berangkat sekolah sendiri. Pulang sekolah menuju ke rumah yang kosong.

Bahkan sampai hari Sabtu, Rian tak kunjung mengabari siapapun. Miss Fani sudah menelfon, untuk bilang kalau aku akan mengikuti latihan untuk mempersiapkan lomba provinsi dengan dua murid sekolah lain karena Rian secara resmi mengundurkan diri.

Yang tidak biasa, di siang hari Minggu seseorang yang tak kuduga datang ke rumahku. Lisa. Sendiri. Tanpa diantar siapapun.

Aku baru melihatnya lagi setelah terakhir kali kulihat ia keluar kantor bersama orangtuanya saat keributan di kantor terjadi. Seperti yang dideskripsikan Rian, Lisa terlihat kacau. Lebih berantakan daripada Rian yang kulihat di hari pertama masuk sekolah. Pipinya cekung, tirus sekali. Bibirnya yang selalu dipoles lipstik kini pucat tak berwarna. Tapi ia tersenyum menyapaku.

"Ke kamar aja," aku meraih tangannya dan mengajaknya masuk ke dalam. Aku menduga percakapan ini tidak akan ingin aku perdengarkan pada Bunda yang sedang di rumah.

"Kamu gimana kabarnya?" tanyaku ketika aku sudah duduk di atas kasur.

Lisa bergerak-gerak dengan gelisah, berjalan mondar-mandir di depanku. "Nggak baik lah, anjir."

Aku ternganga mendengar pilihan kata yang ia gunakan. Aku pikir dia akan sedepresi dan semonoton Rian. Dugaanku salah besar.

"Lan," tiba-tiba ia ikut duduk di sampingku, "aku udah nggak tau harus ngapain lagi." Air mukanya berubah menjadi mengkhawatirkan. Matanya berkaca-kaca, seperti ingin menangis.

"Sebenarnya gimana ceritanya?" tanyaku pelan. "Kok...bisa?"

Lisa membuang napasnya dengan kasar. "Awalnya," pandangannya tertunduk, "kamu ingat yang aku cerita soal instagram Pak Sadewa itu?"

"Iya," jawabku.

Lisa menatapku, mengambil waktu untuk menyusun kalimat di kepalanya. Berkali-kali ia menggigit bibirnya atau membasahi bibirnya dengan lidahnya. Sepertinya gugup sekali membuka diri padaku. Tapi kalau dia sampai menemuiku, berarti dia punya tujuan khusus yang pasti berhubungan dengan aku.

"Jadi, mulai dari situ kita saling chat-chatan. Sebenarnya lebih sering aku yang yang cari topik, terus dibalas seadanya sama dia," ia akhirnya memulai.

"Katamu itu bukan punya dia?" sanggahku, membalikkan perkataan dia dulu padaku.

"Mmm," bola matanya bergerak menjelajahi setiap sudut langit-langit kamarku. "Aku bilang begitu karena nggak mau orang lain punya kesempatan buat dekat sama dia."

Padahal kalau pun saat itu dia bilang itu benar punya Sadewa, aku juga tidak akan bertingkah sepertinya yang langsung menunjukkan ketertarikan berlebihan terhadap ranah pribadinya tanpa diundang duluan.

"Terus?" pancingku lagi.

"Tapi meskipun dekat di DM, waktu ketemu di sekolah tuh kayak biasa aja. Kayak, nggak mau ketahuan orang lain. Kalo disinggung soal sesuatu yang kita bicarakan di DM, jadi kayak menghindar, nggak nyambung gitu. Ya wajar sih, aku udah punya pacar." Kali ini rasa penasaranku tergugah.

Aku menghela napas, mencoba mengingat-ingat kejadian yang rasa sudah terjadi berpuluh-puluh abad lalu.

"Aku nggak bisa nunjukkin DM-nya, udah dihapus dan belum sempat ku-screenshot." Ia terlihat menyesal di bagian itu. "Terus...pernah makan bareng. Waktu pulang sekolah. Itu kejadian yang membuat aku akhirnya yakin 'oke, aku lepas Brendo'."

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang