Epilog

38.3K 1.8K 222
                                    

Aku punya kebiasaan tidak bisa tidur saat hatiku tak tenang, saat otakku penuh dengan berbagai macam hal. Bahkan saat aku punya hari penting yang bisa berakibat fatal pada masa depanku, seperti hari perlombaan, hari saat ujian, hari-hari saat memikirkan seorang cowok tertentu (haha). Hari ini adalah salah satunya.

Padahal hari penting itu sudah lewat. Baru saja. Tadi malam, lebih tepatnya. Dan meski tubuhku berteriak meminta jatah istirahatnya, tapi aku masih tidak bisa tenggelam dalam alam bawah sadarku. Mataku terpejam hanya untuk sesaat. Aku sadar aku sedang tertidur. Sesekali mataku terbuka lagi dan jarum panjang jam hanya berpindah beberapa derajat. Begitu terus sampai jarum pendeknya menunjuk pada angka lima dini hari.

Padahal aku ingin sekali merehatkan punggungku yang encok karena beratus kali aku harus duduk-berdiri-duduk-berdiri dalam sehari, wajahku yang lelah tersenyum dan ditumpuk make-up mungkin setebal dua sentimeter, kakiku yang terkurung dalam sepatu hak tinggi, betisku yang pegal dan paha dalamku yang keram. Acara pernikahan ternyata tidak semenyeramkan yang kubayangkan.

Memutuskan hari sudah cukup pagi untuk bangun, aku menyerah dalam usahaku untuk terlelap. Lagipula hari ini tidak ada hal penting yang perlu kulakukan jadi mungkin tidurku bisa kutebus nanti siang atau sore. Sambil meringkuk, aku berjinjit turun dari kasur. Kuambil kaos Sadewa yang tercecer di lantai dan mengenakannya untuk sementara.

Setelah menggosok gigi dan membasuh wajahku, aku naik kembali dan menyusup masuk ke dalam gelungan selimut yang hangat. Aku merapatkan diri pada manusia di sampingku dan memeluk lengannya yang masih terjuntai lemas. Masih tidur, dia.

Seumur-umur tidak pernah aku bangun terlebih dahulu dibanding dia. Selalu dia sudah menghilang saat aku membuka mata. Tapi itu dulu. Saat kami mulai pacaran lagi ketika kuliah, sudah jarang atau malah hampir tidak pernah kami tidur menginap berdua di satu kasur. Lebih sering kami menghabiskan waktu berjalan-jalan ke tempat umum atau tempat wisata, mencoba tempat makan baru, mengambil banyak foto bersama di tempat-tempat indah. Berbanding terbalik dengan cara berpacaran kita saat aku SMA.

Beberapa kecupan ringan yang kudaratkan di kulit pundaknya yang tidak tertutupi apa-apa, membuat Sadewa bergerak sedikit dalam tidurnya. Matanya masih tertutup. Napasnya naik turun dengan teratur.

"Hhmm," suara beratnya terdengar pelan.

Aku melongok, memperhatikan matanya yang terpejam. "Sudah bangun?"

"Hmfghksdh." Ngigo rupanya.

"Kenapa?"

"Masak." Tangannya melepas dekapanku untuk menggaruk pipinya.

"Masak? Lapar?" tanyaku lagi, masih bingung.

"Iya, si ini... tadi..."

"Mau makan apa?"

"Panci."

"Hah? Mau sarapan panci?" Aku menahan senyumku karena omongannya yang masih ngelantur.

Sadewa tidak menjawab lagi, tapi membalikkan posisinya untuk memunggungiku. Tapi kemudian kembali lagi dalam posisi terlentang. Aku menjaga jarak, tidak berani membangunkan dia yang jelas masih terlihat lelah.

Alisnya berkerut saat ia menguap. Sambil mengerjapkan mata berulang kali, tangannya terangkat untuk meregangkan persendian tulangnya. Lelaki itu menyibakkan selimut dan turun dari kasur dengan sempoyongan ke arah kamar mandi.

Mungkin sudah biasa dia bangun pukul lima. Bahkan tanpa alarm.

Tiba-tiba ia muncul dari pintu kamar mandi. Matanya sudah tidak lagi sayu oleh kantuk, langsung menghujam ke arahku. "Lupa," katanya.

"Apa? Celana?"

"Bukan, kamu." Hanya dengan lima langkah panjang-panjang ia sudah kembali lagi ke kasur. "Soalnya biasanya tidur sendiri." Ia menghujaniku dengan ciuman-ciuman di seluruh wajahku bahkan leherku. Napas segarnya tercium sampai ke hidungku, menandakan dia baru saja menggosok gigi.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang