Di Antara Keramaian

36.7K 2.6K 46
                                    

"Aaa, cemburu!" suara Lisa dari video call membuat aku dan Rian tertawa. Reaksinya saat mengetahui kami sedang berada di Bali bersama Pak Sadewa sangat mudah untuk ditebak. Dia pasti ingin sekali berada bersama kami sekarang.

"Terus Pak Sadewa sekamar dengan kalian?"

"Nggak lah," aku refleks menjawab. Segila itu ternyata angan-angan Lisa. "Beliau sekamar dengan Ir. Aku sama Rian. Miss Fani dapat kamar sendiri," jelasku.

"Loh, kalian kenapa nggak bertiga aja dengan Miss Fani?" tanya Lisa lagi.

Aku melirik Rian, bertanya tanpa suara. Siapa tahu Rian tahu jawaban pertanyaan itu. Tapi dia hanya mengangkat bahu. "Nggak tahu, deh." Apapun itu, aku bersyukur bisa sekamar dengan sahabatku sendiri, jadi aku tidak perlu menjaga kesopanan berlebihan dibanding jika saat bersama Miss Fani. "Tapi aku lebih heran, kenapa Pak Sadewa yang ngantar kita kesini ya?" lanjut Rian.

"Iya ya. Padahal minggu ini kata Pak Dewa, akan ada tes sejarah kan ya? Kok dia ninggalin sekolah sih. Berarti nggak jadi ulangan dong?" Lisa masih memasang cemberutnya di layar hp-ku. Tidak pernah sekalipun aku menyaksikan dia kecewa saat ulangan dibatalkan.

"Seharusnya kami didampingi Mrs Nia dan Miss Fani. Tapi Mrs Nia sudah tua, mungkin beliau nggak mau pergi jauh-jauh," jawabku asal.

"Iya, tapi kan aneh. Kok Pak Dewa?" Rian memandangku, sambil tersenyum lebar. "Jangan-jangan mereka pacaran, Pak Dewa dan Miss Fani?"

"Nggak mungkin!" Lisa berteriak cempreng, membuatku menjauhkan hp ke jarak yang lebih aman. "Aku nggak setuju Pak Dewa dengan Miss Fani."

"Kamu mah, nggak setuju Pak Dewa dengan siapapun pasti," simpul Rian. "Tapi apa lagi alasan selain itu?"

Rian ada benarnya. Apalagi alasan lain?

Tidak mungkin sekolah memberi kesempatan guru yang baru mengajar beberapa minggu untuk pergi ke urusan luar kota seperti ini. Kecuali jika semua guru lain berhalangan untuk pergi.

Tiba-tiba pintu kamar kami diketuk dari luar. Aku dan Rian berpandangan sebelum akhirnya Rian bangkit duluan dari kasur dan membuka pintu.

"Kalian udah ada kegiatan lagi?" tanya Lisa.

"Seharusnya sih belum," aku menengok ke arah pintu yang dibuka. Tepat saat itu mataku langsung bertatapan dengan pandangan Pak Sadewa. Aku bergegas bangkit duduk dari posisi tiduranku.

"Miss Fani sudah selesai dengan urusan administasi kalian. Kalian diajak makan siang di Pizza Hut dekat pantai Kuta. Hanya lima menit berjalan kaki dari sini," ujar Pak Sadewa.

"Eh, siapa it-" belum sempat Lisa menyelesaikan omongannya, aku langsung mematikan hubungan telpon dan cepat-cepat bangun berdiri.

"Oh. Baik, Pak!" sahut Rian. Ia mengambil jaketnya yang tergantung di dekat kamar mandi dan memberi isyarat agar aku cepat bersiap-siap.

Aku membuka koperku dan mengeluarkan sandal jepit yang lebih nyaman untuk berjalan kaki. Aku tidak punya bayangan sama sekali apakah cuaca di luar cukup panas atau teduh, tapi aku memilih untuk tidak menggunakan jaket.

"Kamar kalian lebih luas ya kayaknya," celutuk Ir. Dia sendiri sudah berganti pakaian menjadi kaos oblong tipis, celana pendek dan juga memakai sandal jepit. Di sebelahnya, Pak Sadewa masih mengenakan kemeja lengan panjang yang beliau kenakan di pesawat.

"Emang kamar kalian di mana, Ir?" tanyaku, yang berdiri lebih dekat dengan mereka. Rian masih sibuk di dalam kamar mandi, mungkin memakai krim tabir surya. Jadi aku berinisiatif untuk mengulur waktu dengan mengobrol.

Ir tertawa kecil, "masih jauh dari sini. Lurus ke timur, terus belok ke kiri. Tapi dekat dengan kolam renangnya, sih.." Aku mengangguk. Hotel yang kami tempati memang termasuk salah satu yang paling mewah. Jadi kurasa wajar kalau setiap kamarnya memiliki desain dan fasilitas yang berbeda-beda.

"Ih, aku mau dong ke kolam renangnya," Rian nongol dari kamar mandi dan berlari keluar dari ruangan kamar. Ia mengunci pintu, "Nanti malam yuk. Kita nggak ada jadwal kan, Pak?"

"Besok perlombaannya, kalian belajar saja malam ini." Aku tersenyum, setuju dengan ucapan Pak Sadewa. Karena berdiri di samping Rian, aku dapat melihat bibirnya yang mengerucut, mungkin sebal karena rencana bersenang-senangnya harus ditunda.

Kami berjalan menyusuri koridor hotel dan keluar dari lobi hotel. Cuaca Kuta yang panas terik membuatku sedikit menyesal tidak menggunakan jaket. Tapi Ir berlari-lari seperti anak kecil, sambil berteriak-teriak "waah kita lagi di Bali!"

Aku baru mengenalnya beberapa hari dan aku tidak pernah menyangka Ir adalah orang yang seramah dan semenyenangkan itu. Aku tahu, dia cukup populer karena punya banyak teman di sekolah. Tapi kupikir itu karena tampang dia yang lumayan dan karena hubungannya dengan Rara, yang notabene adalah ratu di sekolah kami.

Begitu kami keluar dari pekarangan hotel dan menuju trotoar jalan besar, rupanya ada parade color run di depan hotel. Orang-orang berlari di jalan, memakai baju putih dan melemparkan serbuk warna-warni ke seluruh penjuru arah. Ramai sekali, sampai kami hampir tidak dapat menyebrang jalan dan melewati kerumunan itu.

"Aduh, bajuku kotor. Harusnya tadi nggak pakai jaket!" teriak Rian di tengah-tengah ricuh keramaian. Aku malah bersyukur anak itu mengenakan jaket hitam yang sangat kontras di tengah-tengah putih kaos peserta color run. Dengan begitu, aku bisa melacak keberadaannya dan mengikutinya dari belakang. Seharusnya tempat makan yang kami tuju tidak jauh hotel kami, tapi karena acara tersebut, kami berempat sudah terpisah masing-masing dan tidak tahu keberadaan satu sama lain.

Seseorang melempariku dengan sekantung serbuk warna dan gumpalan asap yang terbentuk membuatku terbatuk-batuk. Aku baru saja keramas tadi setelah sampai hotel, masa harus keramas lagi nanti!

Tiba-tiba seseorang menangkap pergelangan tanganku dan menautkan jemariku dengannya. Aku menoleh dan mendapati Pak Sadewa berdiri tepat di belakangku. Tingginya yang semampai membuat kepalanya menonjol di antara lautan manusia. Mungkin itu juga alasan kenapa rambut dan wajahnya masih bersih dari warna biru, merah, kuning yang bertebaran.

"Pelan-pelan saja, tidak usah lari," kata beliau, berjalan santai di sampingku seolah-olah beliau adalah salah satu peserta perlombaan lari itu. Aku sudah tidak lagi memaku pandanganku ke arah jaket hitam Rian atau punggung-punggung putih di depanku. Aku seolah tersihir untuk menatap wajahnya, dan membiarkan beliau untuk mengambil alih arah kami berjalan. Pak Sadewa tampan sekali, kalau dilihat dari jarak yang sangat dekat.  Dan beliau masih menggenggam tanganku yang kini rasanya mulai berkeringat saking gugupnya diriku.

"Rian dan Ir sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka sudah sampai," lengan dan kaki kami berayun seirama ditengah-tengah orang lain yang berlarian. Aku dengan bodohnya, masih menatap kearahnya, tidak lagi peduli dengan jalanan yang ramai atau dengan bajuku yang sudah berganti warna.

Karena aku masih membisu dan tidak sekalipun merespon ucapannya, beliau menoleh ke arahku dan mengelus rambutku dengan tangan kirinya yang bebas. "Kamu nggak apa-apa?"

Aku rasanya ingin menonjok wajahku sendiri saat itu juga. Senyumanku pasti terlihat tolol di mata Pak Sadewa. "Tidak apa-apa, Pak."

Tanpa kuduga, beliau malah tersenyum. "Habis ini ajak Rian ke tempat kami saja. Ada shower buat mandi, sekalian berenang sama-sama di kolam," kata beliau.

Aku mengernyitkan kening, "Bukannya tadi disuruh belajar?"

Pak Sadewa tertawa. Duh, ingin sekali kuabadikan wajahnya saat itu, lalu kupajang di kamarku, dan kupamerkan ke Lisa. "Ternyata Kuta lebih panas dari perkiraan saya."

Sama, Pak. And you're hotter than what I imagine you would be.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang