Tentang Dia

14K 1.2K 82
                                    

Sehabis mandi dan mengisi perut, aku menemani Mbak Dea menonton tv di ruang tengah. Para laki-laki, termasuk suami Mbak Dea, Mas Gilang masih ramai di teras depan rumah. Sementara Eyang sudah tidur di kamar utama di lantai bawah.

"Wulan sudah lama dengan Nanang?"

Aku menoleh, bingung. Pak Sadewa dipanggil Nanang? "Sama Kak Sadewa?" Aku hampir memanggil 'Pak' dan belum terbiasa dengan panggilan 'Mas' akhirnya yang keluar malah 'Kak'.

"Iya, Dewa dipanggilnya Nanang sama Eyang. Kita jadi ngikut kadang manggil Nanang." Karena aku masih memasang tampang bingung, Mbak Dea melanjutkan, "Cah lanang, aslinya. Terus dipendekin jadi Nanang."

Aku mengangguk singkat. "Belum lama, Mbak. Belum sampe sebulan," jawabku mengembalikan topik pembicaraan ke arah sebelumnya.

Ekspresi terkejut terukir jelas di wajah Mbak Dea. "Serius?" aku mengangguk. Tanggal 10 Agustus, beliau menyatakan perasaan. Sekarang baru tanggal 31. Rautnya berubah menjadi ekspresi terpukau. "Langsung dikenalin sama Eyang."

Aku menggigit bibir, ingin bertanya banyak hal setelah mendengar satu kalimat itu. "Memangnya Mas Sadewa dekat sekali dengan Eyang?" Dalam hati aku mengingatkan diri untuk konsisten menggunakan 'Mas' dan melupakan 'Pak' untuk sejenak.

"Krishna itu teman kecilnya Dewa. Sering main ke rumah, tiap libur hari raya pasti pada mudik ke sini. Sudah kayak keluarga sendiri."

"Aku pikir teman kuliah, Mbak?"

"Iya sama anak-anak di depan ya memang teman kuliah." Aku mengangguk pelan. Mbak Dea masih menatapku, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi. "Nggak pernah dia bawa cewek ke Eyang."

Aku tersenyum, masih tidak yakin aku se-spesial itu. "Kalau serius, pasti dibawanya ke orangtua dong, Mbak," candaku. Lagi-lagi ujungnya ke topik pernikahan.

Anehnya Mbak Dea tidak ikut menimpali candaanku, malah menjadi diam untuk waktu yang lama. "Kenapa Mbak?"

Ia menggaruk dagunya, "Kamu belum diceritain?"

Kini perhatianku terfokus hanya pada Mbak Dea. Pasti ada sesuatu yang ingin Mbak Dea ceritakan. Dan sudah pasti beliau juga punya banyak cerita tentang Pak Sadewa.

"Orangtuanya sudah lama meninggal." Aku menelan ludah, kerongkonganku kering mendengar kabar itu. Aku memang tidak pernah bertanya sesuatu yang personal mengenai keluarga kepada Pak Sadewa. "Sejak dia SMA. Makanya Nanang lebih dekat dengan keluarga kami. Udah mbak anggap adik kedua, setelah Krishna."

Meninggal. Tidak ada. Pak Sadewa tidak punya keluarga. Pantas, pertemuan aku dengan keluarga Krishna memang sepenting itu. Karena inilah keluarga Pak Sadewa sekarang. Setidaknya, orang terdekat yang bisa disebut keluarga oleh beliau.

"Meninggalnya kenapa Mbak?"

"Kecelakaan mobil. Waktu itu Nanang juga ikut, tapi satu-satunya yang selamat." Aku membayangkan beliau yang mungkin saat itu seumuran denganku sekarang. Aku kalau kehilangan keluargaku detik ini juga, mungkin aku tidak akan pernah sembuh. Kalau ayah-bunda meninggal... Aku tidak tahu apa yang aku lakukan. Aku tidak yakin mau melanjutkan hidup lagi tanpa mereka.

"Waktu itu lagi mau pergi liburan ke pantai. Papanya yang bawa mobil, nabrak pembatas jalan. Sampai mobilnya terguling, sampai terbakar. Untung Sadewanya diselamatin warga." Setitik air mata jatuh ke pipiku tanpa bisa kutahan. Aku menghapusnya sebelum Mbak Dea menyadari.

"Makanya mobilnya sekarang jeep, biar nggak gampang terbalik, kata dia." Mbak Dea tersenyum, menganggap alasan Pak Sadewa adalah hal yang lucu. Mungkin karena sudah lama terjadi, mereka sekarang dapat menceritakan kejadian itu tanpa merasa sedih.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang