Mosi Debat

15.8K 1.2K 25
                                    

Miss Fani sudah berada di perpustakaan saat lonceng pulang berbunyi. Bersama Rian, aku melangkah memasuki ruang pertemuan yang telah dijanjikan sebelumnya. Ir belum datang, tapi ada Pak Sadewa di sana. 

Ada dua murid laki-laki berdiri di hadapan Miss Fani dengan kepala tertunduk dalam-dalam. Miss Fani memberi senyum singkat dan menyuruh kami duduk. Kami mengambil tempat duduk bersebelahan, di sisi kanan meja Miss Fani. Dari posisiku, aku bisa melihat Pak Sadewa dengan leluasa, sedang berdiskusi dengan Pak Aris, penjaga perpustakaan sekolah.

"Ingat, besok bawa surat permohonan maaf kalian. Kalian baca keras-keras di apel pagi. Sebutkan perbuatan apa yang kalian lakukan sampai dihukum. Jelaskan kenapa perbuatan itu salah!" Miss Fani memberi tatapan menusuk kepada dua siswa itu. "Sudah mengerti?"

"Mengerti, Miss," suara keduanya hanya berupa bisikan tidak jelas.

"Paham, tidak?" tantang Miss Fani sekali lagi.

"Paham, Miss."

Miss Fani melipat kedua tangan di depan dadanya sambil berkata, "Ya sudah. Boleh pulang." Tanpa disuruh dua kali, kedua anak berpangkat tiga di lengan mereka cepat-cepat menyingkir keluar.

"Kenapa, Miss?" tanya Rian setelah keduanya pergi.

"Anak sekarang, guru aja digodain. Kayak sudah bisa cari makan sendiri aja." Aku dan Rian kompak mengangguk dan ber-oh dalam diam. Padahal anak-anak tadi sudah tiga tahun di sini, masa tidak tahu peraturan nomor satu Miss Fani. Tidak boleh bercanda dengan candaan romantis atau seksual. "Mana Ir?" beliau mengetuk-ngetuk segenggam kertas ke atas meja untuk meratakan tepian bawah kumpulan kertas itu.

"Mungkin belum selesai kela-"

"Maaf, maaf, terlambat!" baru diomongin, orangnya sudah datang. "Miss! I am so sorry!" Anak itu menunduk dengan menempelkan kedua telapak tangan. "Hai guys!" buru-buru, ia mengambil tempat duduk di sampingku dan melepaskan tas punggungnya.

"Kita bahas mekanisme-nya dulu, lalu saya sampaikan mosi yang sudah diberikan. Semoga sejam cukup, ya," Miss Fani memberikan lembaran kertas yang dibagikan satu-satu pada kami. Setelah itu beliau mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu. "Okay, you can skim it first. Lima menit saja."

"60 halaman, Miss..." gumamku setelah meneliti nomor di halaman paling terakhir.

"Lima menit nggak cukup, Miss," protes Rian.

"Baru juga kelar kelas matematika, sudah disuruh mikir lagi," Ir menimpali.

"Delapan menit, deh. Jangan ditawar lagi."

Kami bertiga langsung tenggelam dalam bacaan kami, tidak ingin menghabiskan waktu. Aku membaca sekilas, melewati hal yang kuanggap tidak penting dan hanya membaca bagian 'Mekanisme Penilaian' dan 'Lampiran' yang berisi daftar peraturan penting. Tidak banyak perbedaan dari peraturan debat biasanya.

Tanpa bisa kucegah, pandangan mataku kembali ke posisi duduk Pak Sadewa. Beliau sudah menyadari kehadiranku dan tersenyum saat kami bertemu pandang. Aku refleks membalas senyum beliau. Tanganku mengangkat kertas yang kupegang untuk menutupi wajahku dari pandangan beliau. Kenapa tidak pulang duluan sih. Mengganggu konsentrasi saja.

Aku berdeham, menurunkan tatapanku kembali pada bacaanku. Fokus, Wulan!

"Jadi," hanya dengan satu kata dari Miss Fani, kami bertiga langsung menjatuhkan kertas dan mengalihkan perhatian kembali ke guru bahasa Inggris kami itu. "Singkatnya, National Schools Debating Championship atau NSDC adalah perlombaan bahasa Inggris untuk penyeleksian World Schools Debating Championships atau WSDC. NSDC diselenggarakan dari tingkat sekolah, kota, provinsi, lalu nasional."

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang