Tidak seperti biasanya, hari ini kami tidak langsung pulang ke rumah. Pak Sadewa mengajakku makan siang di suatu tempat yang rupanya jauh dari pusat kota. Kira-kira butuh empat puluh menit dari sekolah.
Saat aku turun dari mobil, aku baru mengerti bahwa tempat yang kami tuju adalah sebuah restoran di pinggir sawah yang jauh dari jalan besar. Meskipun jauh dari kota, beberapa mobil terparkir di luar pekarangannya menandakan bahwa tidak hanya kami yang rela datang dari jauh untuk makan siang. Suasananya yang damai dan rindang senada dengan bangunan tempat makannya yang bergaya tradisional.
Begitu turun dari mobil, Pak Sadewa menghampiriku dan langsung meraih tanganku. Aku tercengang karena tidak mempersiapkan diri dengan kontak fisik dengan beliau. Aku hampir lupa, sudah berkali-kali kami berpegangan tangan saat berada di Bali. Saking terkejutnya, aku sampai membeku beberapa detik sebelum akhirnya mengikuti beliau berjalan masuk.
Rasanya malu sekali, berpegangan tangan di tempat umum. Apalagi aku masih mengenakan seragam putih abu-abuku. Jadi aku berjalan sambil menundukkan kepala, mengikuti Pak Sadewa dari belakang.
Beliau baru melepaskan genggamannya saat mengambil tempat duduk di hadapanku. Kami memilih tempat paling ujung yang langsung berbatasan dengan sawah di samping meja. "Pilih saja yang kamu suka, jangan sungkan."
"Bapak saja yang pilih, saya ngikut," gumamku, merasa tidak enak.
Beliau menatapku tajam, seolah-olah sedang menghukumku dengan matanya. Pak Sadewa membuka menu dan menaruhnya di depanku. "Kamu yang pilih."
Aku mengusap-usap keningku, bingung. Menunya banyak sekali dan harganya di atas rata-rata harga normal. Mungkin karena pemandangan yang disuguhkan di sini juga sangat indah. Andaikan kami datangnya di waktu matahari tenggelam, pasti lebih indah.
Aku memilih menu yang kurasa tidak berat dan tidak terlalu mahal. "Nasi goreng saja, minumnya jus alpukat."
Aku memindahkan menu untuknya, tapi Pak Sadewa malah mengangkat tangan memanggil seorang pelayan. "Nasi goreng dua, jus alpukat satu, jus jeruk satu." Rupanya malah beliau yang mengikuti pilihanku.
Begitu pelayannya pergi, aku langsung bertanya, "Kok Bapak malah ikut-ikut saya?"
Beliau menggulung lengan kemeja dan mengelap seluruh permukaan meja dengan dengan tissue yang tersedia. "Lain kali saya yang milih."
Lain kali. Berarti kita akan kemari lagi?
Aku memperhatikan pelanggan lain, yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Kebanyakan dari mereka adalah pegawai kantoran, tidak ada anak remaja sama sekali selain aku. Aku mengeluarkan hp-ku dan mengambil beberapa gambar pemandangan sawah di samping kami.
"Nilai ulangan kamu kok bisa jelek?"
Aku mengerutkan keningku, "Masa sih, Pak? Bapak kalau bercanda itu nggak lucu, lho."
Beliau tersenyum, "Tapi cuma dapat 83. Itu termasuk nilai jelek."
"Ulangan bapak esai semua, nggak pernah ada pilihan ganda. Nggak mungkin ada yang dapat di atas 90," jawabku jujur.
"Kalau pakai pilihan ganda, berarti ada faktor keberuntungan. Bukan sepenuhnya usaha," beliau beralasan.
Di antara guru-guru lain di SMA kami, hanya Pak Sadewa yang tidak memakai pilihan ganda sama sekali. "Tapi jahat... "
"Memangnya saya pernah jahat sama kamu?" cecar beliau.
Aku mengelus daguku, pura-pura berpikir panjang. "Hmm... " aku baru menyadari, tidak ada musik sama sekali di restaurant ini. Bapak ini apakah alergi musik?
Tiba-tiba sebuah jari mencolek hidungku. "Aduh," erangku terkejut.
Beliau tersenyum, "Saya baik terus, lho, ke kamu."
Aku ikut tersenyum. "Iya, deh, baik."
"Pakai 'deh'?" Pak Sadewa memajukan wajahnya, seolah-olah akan mencolekku lagi atau mencubitku kalau jawabanku salah.
Aku tersipu malu, namun akhirnya mengakui. "Bapak terlalu baik, malah."
Beliau bersandar kembali, puas dengan jawabanku. "Baru saja saya mau menyuruh kamu kembalikan kalung saya kalau kamu bilang saya jahat."
Aku refleks menyentuh liontin yang bergantung di leherku selama beberapa hari belakangan ini. "Kan sudah dikasih sebagai hadiah, berarti sudah jadi punyaku dong," ujarku cemberut.
"Makanya jangan main-main," balas beliau.
Dua nasi goreng pesanan kami datang di waktu yang tepat saat perdebatan singkat kami selesai. Aku mengeluarkan hp-ku untuk mengambil gambar lagi.
"Jangan foto saya, ya."
"Kok Bapak geer sih," aku tertawa lagi. Lucu sekali menggoda guru muda satu ini.
"Saya serius nih," kata beliau dengan nada datar.
"Siap laksanakan, Pak," ujarku lagi.
Aku memutuskan mengunggah story dengan foto pemandangan sawah daripada foto dua piring makanan yang pasti akan mengundang banyak pertanyaan orang. Aku jadi membayangkan seandainya bisa menge-tag akun Pak Sadewa. Pasti akan dimarahi habis-habisan, sih.
Iseng, aku mengecek profil instagram sdwrespati meskipun Pak Sadewa bilang itu bukan akunnya. Aku hampir melempar hp-ku ke arah Pak Sadewa yang sedang menyeruput minumannya ketika layar di hp-ku memperlihatkan perubahan yang sangat jelas terlihat dari terakhir kali aku melihat profil beliau.
Followed by yayliza?
"Kenapa?" orang di hadapanku bersuara. Mungkin sadar dengan ekspresi wajahku yang berubah drastis.
Haruskah kutanya langsung, atau ... percaya dengan omongan beliau?
Aku memutuskan untuk bertanya dengan Lisa saja nanti.
"Nggak apa-apa, Pak."
Beliau mengangkat sebelah alisnya, "Kamu tidak pintar berbohong."
Aku cuma membalas dengan senyuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi Kuasa ✔️
RomanceGuru lelaki yang baru mulai mengajar di sekolahnya itu bernama Pak Sadewa. Rayuan maut murid-murid cewek tidak pernah mempan melelehkan sikap dingin guru muda itu. Siapa sangka dibalik rupawan sempurna wujudnya, tersimpan perilaku penuh dosa yang ta...