Begitu sampai di Gereja, aku langsung membuka pintu dan hampir tersungkur saat berusaha turun dari mobil. Untungnya, Pak Sadewa menangkap lenganku dan membantuku menyeimbangkan diri. Aku menarik tangannya untuk menjauh sejauh mungkin dari Om Ian dan Tante Nenni. Tidak mau lagi aku mendengar suara cempreng menyebalkan itu.
"Maaf, untuk yang tadi," bisik Pak Sadewa pelan di telingaku.
Aku menggeleng, "Bukan salahmu."
"Begitulah permasalahan orang dewasa. Karir dan Pernikahan. Dua itu terus yang dibahas," beliau masih mencoba menenangkanku.
Aku menarik napas panjang, menghempuskan pelan-pelan. "Tapi hampir semua orang nyinggung soal itu, sampai panas telingaku."
Pak Sadewa tertawa, lalu mengusap kedua daun telingaku. "Sabar ya, telinga." Aku mendaratkan kepalan tanganku ke lengannya. Padahal kan maksudku, bukan hanya telinga saja yang panas. Hatiku juga.
Pak Sadewa tidak melepaskan tanganku bahkan setelah kami memasuki bangunan gereja dan duduk di barisan paling depan, kembali bergabung dengan Mbak Dea dan Mas Gilang. Untung, tanganku bukan tipe yang suka berkeringat hanya karena dipegang terus. Bisa ilfeel dia kalau tiap detik aku harus melepas tangannya hanya untuk menyeka tanganku dengan tissue.
Dari tempatku aku bisa melihat calon mempelai wanita yang sudah sangat ingin kutunggu-tunggu dari kemarin. Ria Murti memakai gaun putih yang menjuntai di belakang sampai bermeter-meter. Meski ditutupi riasan wajah yang tebal, aku sangat yakin wajah naturalnya pasti sudah cantik sekali. Krishna dan Ria Murti terlihat sangat serasi, sama-sama tampan dan cantik. Enak dilihat.
"Ria, terimalah cincin ini. Sebagai lambang cinta dan kesetiaanku padamu," suara Krishna dibantu alat pengeras menggema di setiap sudut gereja.
Bulu kudukku berdiri saat keduanya mengucapkan janji pernikahan. Suasana sakral Gereja Kayutangan menjadi saksi cinta sejati keduanya. Bahkan sebagai orang asing, aku bisa merasakan kebahagiaan mendalam yang terpatri di wajah mempelai wanita dan mempelai pria.
Pak Sadewa merapat dan mencium punggung tanganku yang sedari tadi ia genggam. Aku mendongak menatapnya tapi ia hanya tersenyum tipis. Hatiku bergetar, tiba-tiba merasa takut. Apa beliau memang seserius itu denganku? Bukannya dengan memperkenalkanku pada keluarga Krishna sama saja dengan mempertemukanku dengan keluarganya? Secepat ini? Aku pun baru sadar, beliau juga sudah pernah bertemu keluargaku. Ngeri banget, kalau tiba-tiba dia datang ke rumah untuk meminangku. Aku memang pernah bercanda ingin menikah, menjadi istrinya tapi ... aku kan cuma bercanda!
Sepanjang acara aku terus memperhatikan Ria Murti dalam balutan gaun putihnya yang sangat cantik. "Cantik banget," gumamku tanpa sadar. Wajar, dia adalah tokoh utama hari itu. Dirias paling cantik, dipakaikan baju paling mewah daripada yang lain.
"Kamu lebih cantik," aku berpaling mendapati Pak Sadewa menatapku lurus.
"Bapak juga ganteng," bisikku padanya, gembira karena dapat menyuarakan isi hati terdalamku sejak berbulan-bulan lalu.
"Kamu lebih menawan," balasnya tak mau kalah.
Aku menunduk melihat kedua kakiku yang tidak kompak. Satunya menggunakan flat shoe, yang satu lagi dibalut gips penuh tulisan-tulisan tangan. "Pakai gips gini, menawan? Absurd sih."
"Untung luka di mukanya sudah sembuh," ujar beliau. Aku meraba pelipisku, masih bisa merasakan permukaan kulit yang tidak rata di sana. Sudah pasti ada bekas luka di sana, tapi setidaknya lukaku sudah kering dan tidak lagi ditempeli plester.
Atensi Pak Sadewa masih tercurahkan sepenuhnya padaku. Tatapannya berbeda, ada hasrat terpendam di sana. Sepertinya aku makin pandai membaca raut wajahnya. Dan aku yakin kalau sedang tidak ada orang lain di sekitar kita, beliau pasti sudah menciumku sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi Kuasa ✔️
DragosteGuru lelaki yang baru mulai mengajar di sekolahnya itu bernama Pak Sadewa. Rayuan maut murid-murid cewek tidak pernah mempan melelehkan sikap dingin guru muda itu. Siapa sangka dibalik rupawan sempurna wujudnya, tersimpan perilaku penuh dosa yang ta...