Harga Diri

14K 1.3K 121
                                    

Perilaku keduanya baru terjawab beberapa jam kemudian. Setelah upacara bendera, Ir mendatangiku. Kata dia aku dipanggil ke Ruang BK terkait masalah Pak Sadewa. Yang kutakutkan akhirnya terjadi, aku harus memutuskan menaruh kepercayaanku pada siapa.

"Siapa yang ngelaporin aku?" tanyaku, berjalan di samping Ir berusaha mengimbangi langkahnya yang panjang-panjang.

"Aku," sontak aku menoleh padanya. "Rara cerita ke aku."

Aku menghentikan langkahku. Bingung. Apa urusannya Ir dengan kejadian ini?

"Apa pentingnya buat kamu?"

Ir ikut berhenti beberapa langkah di depanku dan berbalik menghadapku. "Kamu nolak aku karena dia kan?"

Astaga. Kupikir hubungan kedekatan kami sudah berakhir dengan aman. Kupikir dia bisa lebih dewasa dan menerima penolakanku tanpa dendam.

"Tapi kasus ini nggak ada hubungannya sama kamu," balasku.

"Kalian udah melanggar peraturan," lanjutnya. "Ya mikir aja, kalau semua orang melanggar peraturan, mau jadi apa negera kita?"

Peraturan, jidatmu.

Tidak akan habis kalau harus kuladeni dia. Aku melempar tatapan sinis pada Ir, dan berjalan melewatinya masuk ke dalam ruangan BK. Di dalam, sudah ada kepala sekolah, dua guru BK, dan ayah Rara. Sekarang aku paham, kenapa kasus Pak Sadewa bisa diproses secepat ini. Karena ayah Rara punya wewenang lebih sebagai kepala polres. Berarti tidak mungkin Pak Sadewa bisa bebas dengan sogokan.

Aku mengetuk pintu memberi tanda kehadiranku. "Selamat pagi, Pak. Tadi memanggil saya?"

"Wulan, masuk, masuk," Bu Rahma, salah seorang guru BK mempersilakan aku masuk dan menggiringku duduk di salah satu sofa. Aku menarik napas, menenangkan diriku.

Alisku terangkat saat Ir juga ikut masuk ke dalam, dan berdiri di depan pintu. Orang itu belum jadi ketua OSIS, bisa-bisanya bertindak seperti kaki tangan sekolah.

"Santai saja, Wulan," ayah Rara, Om Hendro yang bersuara.

Aku mengangguk, tersenyum. "Iya, Om."

"Saya sudah kenal Wulan sejak dia masih bayi, Pak. Anaknya baik, nggak neko-neko," Om Hendro berbicara dengan Kepala Sekolahku.

Pak Arya, Kepala Sekolahku, langsung berkata, "Kalau begitu tidak perlu perkenalan lagi. Langsung saja, Wulan. Sudah dengar kasus Pak Sadewa kemarin?"

Aku menelan ludah, "Sudah, Pak."

"Iya, jadi begini..." Pak Arya memulai dengan tenang, "ada laporan ke saya, kalau Pak Sadewa juga dekat dengan kamu. Yang saya takutkan, kamu juga menjadi korban seperti Lisa." Nadanya lugas dan berwibawa, seperti orang-orang lanjut usia yang sarat akan kebijaksanaan.

Ini waktuku. Satu kata dariku bisa memenjarakan beliau. Tanpa perlu bukti.

Kalau aku Lisa, aku pasti juga ingin orang yang menghamiliku dijerat hukuman yang setimpal. Aku tidak bisa membayangkan masa depanku hancur karena laki-laki.

"Jadi, kamu nggak perlu takut untuk ngomong. Kami di sini, saya, Pak Hendro, akan menindaklanjuti kasus ini dengan adil. Kalau kamu keberatan, kami tidak akan membuka identitas kamu ke publik."

Aku menunduk lagi. Pikiranku kalut. Rasanya sampai sekarang aku tidak ingin percaya Pak Sadewa sekejam itu.

Tiba-tiba Miss Fani masuk ke dalam ruangan. Sontak aku mendongak, mendapati wajahnya yang berantakan dengan napas yang masih tidak beraturan. "Maaf, Pak, saya terlambat." Miss Fani langsung berdiri di belakang sofa yang diduduki Pak Arya, berjejeran dengan guru-guru BK.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang