Rinai Hujan

17.4K 1.5K 47
                                    

Waktu pulang menjadi waktu yang selalu kutunggu untuk sepekan ini. Apalagi karena sudah lama tidak bertemu. Sebenarnya baru tiga hari, sih. Tapi tetap saja... Tidak sabar rasanya!

Hari ini hari Selasa. Langit sudah mendung sejak tadi pagi, namun baru menurunkan hujan ketika waktu pulang. Masih banyak murid yang tertahan di sekolah, menunggu hujan reda. Sepertinya aku akan menunggu lebih lama dari biasanya.

Kantin pasti ramai sekali dipenuhi orang-orang yang sedang berteduh. Sementara semua ruangan kelas sudah ditutup. Sementara yang lain memilih berdiri di koridor, terutama di depan kelas sepuluh yang jaraknya dekat dengan gerbang sekolah.

Teman-temanku sudah pulang sejak tadi. Candra dan Mia memilih menerobos hujan karena rumah Mia sangat dekat dengan sekolah. Lisa, Rian pasti pulang bersama Brendo dengan mobilnya. Aku berjalan pelan menyusuri koridor kelas sepuluh, memilih menunggu di depan perpustakaan yang lebih sepi dari tempat lain. Baru setengah jalan menuju ke sana, aku menyadari seseorang yang berjalan dari arah yang berlawanan denganku. Seseorang yang sedang aku hindari. Ir! Sial, kami tidak sengaja bertemu pandang.

Karena aku tidak bisa berbelok ke arah lapangan, aku membalik badan dan mempercepat langkahku. Aku harap kerumunan yang ramai dapat memperlambat pergerakan Ir kalau dia mengejarku. Aku mengambil jalur yang lebih jauh menuju perpustakaan, melewati kelas bahasa.

Sesampai di sana, tiba-tiba seorang murid laki-laki membuka pintu dan keluar dari perpustakaan. Lho, belum tutup? 

Ketika aku menengok diam-diam ke dalam, aku mendapati ruangan yang hanya terisi beberapa murid dan seseorang yang duduk di meja penjaga perpustakaan. Pak Sadewa?

Beliau menyadari kehadiranku dan memberi isyarat masuk. "Tutup pintu, ya. Nanti banyak yang berteduh di sini."

Aku menutup pintu di belakangku ketika masuk ke dalam ruangan. Hanya ada enam murid di dalam, yang tidak kukenal semuanya. Ada tiga garis yang terjahit di lengan kiri seragam mereka, murid kelas dua belas.

"Belum tutup, Pak?"

"Bu Martha sudah pulang, tapi kuncinya masih ada di saya," aku mengangguk sambil menggaruk kulit di belakang leherku. Aku sebenarnya tidak berniat membaca apapun. Apalagi sepertinya keenam kakak kelas itu sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Tapi tidak mungkin juga aku mengganggu Pak Sadewa yang juga sedang bekerja.

"Coba kemari," Pak Sadewa membuka pintu di belakang meja penjaga. Aku buru-buru mendekat, penasaran karena tidak melihat ruangan itu sebelumnya. Rupanya, itu adalah ruangan kecil khusus penjaga perpustakaan dengan dua buah rak buku, sebuah meja dan sebuah kursi. Sudah ada laptop terbuka di atas meja, dan tas hitam yang kuyakini milik Pak Sadewa.

Beliau mengambil kursi dari meja penjaga dan membawanya masuk ke dalam. Setelah itu beliau menutup pintu ruangan dan kembali ke laptopnya. "Tunggu di sini saja. Saya juga masih ada pekerjaan."

Aku duduk di kursi baru itu, yang diletakkan di samping kursi beliau. Mataku melayang ke arah layar yang memperlihatkan sebuah karya tulis berbahasa inggris di aplikasi word. "Ini untuk apa?"

Beliau masih mengetik saat menjawab pertanyaanku, "Tesis untuk Master saya."

"Master?"

"S2." Aku tidak bisa membaca judul tulisannya, tapi banyak sekali kata-kata bertuliskan anthropology. Aku ingin bertanya lebih dalam, tapi aku takut membuat beliau tidak nyaman. Jadi aku memperhatikan beliau menulis hingga beberapa paragraf. Semuanya dalam bahasa Inggris.

"Kalau Wulan, nanti mau lanjut kemana?" rupanya malah Pak Sadewa yang tidak suka dengan keheningan di antara kita.

"Hm... belum tahu juga, Pak." Beliau menghentikan kegiatannya dan melempar pandangan bertanya ke arahku. "Aku belum milih jurusan."

"Kalau begitu di universitas mana?"

Aku menggigit bibir, memikirkan jawaban. "Yang pasti, di luar kota. Kalau bisa, universitas negeri. Kalau bapak dulu di mana?"

 "Di Jakarta. Universitas Gemawira," jawab beliau, kembali fokus dengan pekerjaannya.

"Swasta dong?" Beliau mengangguk. "Mahal, pasti?" beliau hanya menjawab dengan tawa.

"Kan ada beasiswa?"

Benar juga. Tapi tetap saja. Pasti sulit untuk mendapatkan beasiswa. "Kata Ayah, pilih jurusan akutansi saja."

"Kamu suka?"

Tanpa kusadari, aku menghela napas. Perhatian beliau langsung tertarik ke arahku. "Nggak juga..."

"Pilih saja yang sesuai dengan minat dan bakatmu," ujar beliau sambil menekan pilihan save untuk menyimpan progres ketikan beliau. "Kalau kamu maunya apa?" beliau menutup laptop dan kini menghadap ke arahku.

"Komunikasi mungkin?" Aku mengingat-ingat adrenalin yang sering kurasa setiap kali berbicara di depan umum. "... atau Psikologi?"

Beliau menatapku lama sekali, kemudian tersenyum. "Teman saya banyak sekali yang dari psikologi. Kata mereka, dulu memilih psikologi karena ingin belajar untuk menyembuhkan diri sendiri. Tapi kenyataannya mereka harus bisa menjadi pendengar masalah orang lain."

Aku mengangguk singkat, berusaha mencerna informasi baru itu.

"Kamu punya masalah di rumah?"

Aku menjatuhkan pandanganku. "Tidak ada, sih."

Aku baru menyadari hawa dingin yang menyertai hujan deras di luar ketika telapak tangan Pak Sadewa yang hangat menangkup pipiku dan mengangkat wajahku. "Kamu kelihatan sekali kalau sedang bohong."

Wajah tersenyum Pak Sadewa dimataku adalah ekspresi tertampan yang pernah beliau pakai. Tapi di hadapanku saat ini, wajah khawatir beliau mengalahkan kerupawanan aktor-aktor hollywood sekalipun. Andai setiap saat ada orang yang mempedulikanku, mengkhawatirkanku, seperti yang tertera jelas di mata gelap beliau.

"Saya juga rindu," Pak Sadewa berbisik. Aku hampir lupa sempat mengirim pesan itu di malam festival dua hari lalu. Tanpa kusadari, wajah beliau makin mendekat. Aku tak bergerak untuk beberapa detik saat bibir beliau mengecupku dan napas hangat beliau menerpa wajahku.

Sontak aku mendorong dada beliau dan melompat berdiri. Rasa panik menyerbu tanpa aba-aba ke dalam pikiranku. Pintu yang kukira terkunci ternyata langsung membuka dengan mudah. Sudah tidak ada orang di ruangan perpustakaan. Aku berlari keluar dan menuruni tangga, melintasi lapangan yang masih diguyur hujan. Pikiranku sudah tidak karuan. Aku takut. Aku bingung. Aku tidak siap.

"Nak, jangan lari hujan-hujanan. Sakit nanti!" seseorang meneriakiku dari depan kelas bahasa. Rupanya suara itu adalah milik Miss Fani. Wajah beliau langsung berubah khawatir saat melihat raut mukaku yang tidak sedang bercanda. Tapi aku tidak berhenti dan terus berlari keluar gerbang.

Aku tidak ingin menunggu angkot kalau-kalau Pak Sadewa mengejarku. Jadi aku memutuskan berjalan kaki ke rumah Mia. Pakaianku sudah basah kuyup. Perasaan tidak nyaman di sepatuku yang sudah terisi air hujan tidak sebesar rasa kalut yang menyelimuti hatiku.

Aku tidak mengerti kenapa aku kabur. Aku merasa malu. Aku merasa bodoh.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang