"Wulan?" tiba-tiba kepala Bunda muncul dari balik daun pintu.
"Ya, Bun?" aku buru-buru menyelip hp-ku di antara buku sekolahku.
"Ada temanmu yang mau datang?" tatapan bunda yang tidak ramah membuat aku berpikir panjang. Apa aku tidak sengaja melakukan kesalahan?
"Teman siapa, Bun?"
"Ada cowok di depan nungguin kamu."
Mataku melotot, kaget dengan perkataan bunda. "Hah? Siapa?"
"Kamu punya pacar?"
Aku menggeleng dengan agresif, berharap bunda percaya bahwa aku berkata jujur. "Nggak, Bun. Sumpah! Aku nggak nyuruh siapa-siapa datang ke rumah, kok."
Bunda berkacak pinggang dan mendecak, "Ya sudah temui dulu sana. Ngobrolnya di ruang tamu saja. Jangan aneh-aneh."
Aku mengambil kembali hp-ku dan cepat-cepat berlari ke ruang tamu. Di sana, Ir sudah duduk dengan ayahku. Piring berisi goreng yang masih berasap tersedia di meja di tengah mereka. Ir?
"Ir? Ngapain, kamu?" suaraku mengejutkan keduanya, membuat Ir terlonjak berdiri.
"Hai, Lan," ia tersenyum seolah tidak melakukan hal yang aneh sama sekali.
Aku mengambil tempat duduk di sebelah ayahku, tapi beliau langsung berdiri ketika aku duduk. "Ayah kerja dulu. Ir jangan pulang malam-malam, ya."
Ir menundukkan kepala sopan, "Iya, Om. Sip."
Mataku mengikuti ayah yang pergi ke dalam kamarnya lagi. Bunda kembali ke ruang tengah, meneruskan kerjaannya di meja makan. Biasanya memang Ayah dan Bunda meneruskan pekerjaan mereka setelah makan malam. Tapi aku yakin Bunda sengaja duduk di ruang tengah untuk mengawasi kami.
"Maaf ya, mendadak kemari nggak bilang-bilang," gumam Ir pelan, takut suaranya sampai ke telinga Bunda.
Aku mengangkat bahu. Mau bagaimana lagi, orangnya sudah ada di dalam rumah. Masa tiba-tiba di usir. "Tahu rumahku darimana?"
"Kalau lewat depan rumah, Rara biasanya nunjuk," jawabnya santai. Ia mengeluarkan dua buku dari dalam tasnya. "Besok ulangan Kimia, aku nggak tahu mau kemana lagi buat belajar," ia nyengir memamerkan giginya, tanpa rasa bersalah.
Aku memperhatikan buku yang tengah ia buka, masih bingung kenapa dia memilih untuk datang ke tempatku hanya untuk Kimia. Tapi, aku lebih bingung lagi kenapa ... "Kenapa Rara ngomongin aku ke kamu?"
Ia menggelengkan kepala, "Nggak tahu, kebetulan lewat aja. Kita sering keliling naik motor ... dulu."
"Terus kenapa kamu ke sini untuk belajar Kimia?" aku tertawa kecil. "Aku nggak pintar Kimia, lho..."
"Kalau kamu pintar, kamu udah nyasar di IPA4 kayak aku kali," sahutnya. Kebetulan memang di sekolah kami, pembagian kelas ditentukan oleh peringkat muridnya.
"Semua orang punya kepintarannya masing-masing, ah. Aku biasa aja," elakku.
Ia turun dari sofa untuk berlesehan di lantai. Tangan kirinya menopang dagunya sementara telunjuk kanannya menunjuk ke arah judul 'Laju Reaksi' di buku Kimianya. "Jadi, bu guru ... bisa tolong jelaskan materi ini? Please?"
Orang ganteng itu enak, ya. Mudah sekali meluluhkan hati orang lain. Apalagi dengan tatapan meminta nan memelas seperti yang Ir tunjukkan sekarang. Ampun, deh.
Karena tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi, aku menyerah dan mulai mengevaluasi catatannya yang cukup rapi untuk seorang laki-laki.
Setelah hampir dua jam kami berkutat dengan pelajaran, aku menyudahi pelajaran saat Ir akhirnya bisa menyelesaikan beberapa rumus yang kuberikan. Kesimpulanku, Ir mudah menangkap pelajaran. Aku yakin dia masuk ke kelas IPA 4 berkat kesibukannya yang bejibun di luar pelajaran kelas dan kesibukan berpacaran dengan Rara.
"Maaf ya, nggak ada makanan apa-apa di rumah," ujarku sembari menyuguhkan minuman dingin dari kulkas saat Ir membereskan buku-bukunya ke dalam tas.
"Makanya aku bawain gorengan," ia mengambil sepotong pisang goreng dan mengeluarkan hp-nya dari dalam saku. Untuk beberapa saat, wajahnya serius menatap layar hpnya dan mengetik banyak hal dengan satu tangan.
Aku ikut mengeluarkan hp-ku, meskipun sejak tadi tidak ada notifikasi apa-apa yang kuterima. Jadi aku hanya melihat-lihat story orang-orang yang kuikuti di instagram. Kalau Ir, pasti banyak chat yang masuk ke hp-nya. Temannya kan banyak.
Aku menoleh ke arah kursi meja makan yang sudah kosong. Sepertinya bunda sudah tidak menaruh curiga ke arah kami dan meninggalkan ruangan di tengah-tengah sesi belajar kami. Selama ini aku tidak pernah kedatangan seorang tamu cowok yang tujuannya memang untuk berlama-lama. Bahkan mantan pacarku saja tidak ada yang pernah ke rumah.
Pacar...
Pikiranku melayang ke perkataan Pak Sadewa beberapa hari lalu. Masa sih, Ir naksir denganku? Tapi buktinya, dia sampai main ke rumah? Bukan untuk main, sih... Tujuannya untuk kepentingan sekolah. Tapi Pak Sadewa tidak pernah salah. Beliau juga mungkin pernah berbohong.
"Kalau kapan-kapan aku main lagi, nggak apa-apa kan?"
Main. Bahkan Ir sendiri menggunakan kata itu. Bukan belajar.
Aku tersenyum. "Kamu kan temenan sama Andre? Dan dia itu pintar Matematika, Kimia, Fisika."
"Jahat banget, nggak boleh kesini gitu maksudnya?" ujarnya bercanda.
"Bunda aku aja sampai curiga, kan. Kita dipantengin lama banget," tawaku.
"Aku kerasa banget dipantau dari meja makan sama Bunda. Padahal aku juga nggak gigit," ia ikut tertawa.
"Soalnya, nggak pernah ada cowok main ke rumah ..."
"Serius?" matanya terbelalak, kaget dengan pernyataanku.
Aku mengangguk, "Baru kamu."
Ir ber-oh dalam diam. Matanya berbinar-binar, entah apa yang perlu dikagumi dari seorang cewek yang rumahnya tidak pernah dikunjungi cowok sebayanya.
"Nanti aku yang sering main deh, kesini."
Aku menepuk lengannya pelan, "Seenakmu aja. Datang, nggak bilang-bilang. Aku juga belum bolehin buat besok-besok, kamu udah ngambil kesimpulan sendiri."
Ia tersenyum lebar. "Kata Ayahmu, disuruh sering-sering main malah. Tadi, waktu ngobrol sebelum kamu keluar."
Aku menghela napas, tapi masih tersenyum. "Iya, terserah aja."
"Nah, akhirnya dapat persetujuan!" Ir mengacungkan jempolnya, senang. "Kalau gitu, aku mau pulang dulu. Tolong panggil orangtuamu dong, aku mau pamit."
Aku mengibaskan tanganku, "Nggak perlu. Kayaknya Ayah masih sibuk. Bunda mungkin udah tidur."
Ir bangkit dan memakai kembali jaketnya. "Oke, ketemu lagi di sekolah besok ya! Makasih, Wulan yang cantik, pintar, baik hatinya."
Aku menggeleng menolak pujiannya. Sekarang aku tahu bagaimana cara dia mengambil hati banyak orang dengan kelakuannya. "Hati-hati di jalan, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi Kuasa ✔️
Lãng mạnGuru lelaki yang baru mulai mengajar di sekolahnya itu bernama Pak Sadewa. Rayuan maut murid-murid cewek tidak pernah mempan melelehkan sikap dingin guru muda itu. Siapa sangka dibalik rupawan sempurna wujudnya, tersimpan perilaku penuh dosa yang ta...