Tertangkap Tangan

15.3K 1.3K 20
                                    

Sadewa Respati

Aku tunggu di mobil, ya 14.10

Mau pulang sekarang? 14.15

Belum kok. Cuma mau ngasih tau.. 14.15

Sebentar lagi. 14.15

Take your time ❤️ 14.16


Awalnya aku tidak berminat membawa kunci cadangan yang ditawarkan Pak Sadewa. Karena kurasa itu terlalu berlebihan. Aku bukan istrinya. Aku tidak punya kepemilikan sama sekali terhadap apapun yang dimiliki oleh Pak Sadewa. Terlebih, aku juga tidak ingin dianggap materialistis atau posesif oleh beliau. Tapi, tapi, sudah hari kami tidak pulang bersama! Kalau aku tidak serindu ini, aku tidak akan berada di sini.

Pak Sadewa termasuk orang yang rapi. Tidak ada satupun barang di atas dashboardnya. Hanya ada sekotak karton yang entah apa isinya di kursi belakang. Aku tidak punya pengetahuan apapun soal mobil tapi aku yakin sembilan puluh sembilan persen mobil ini mobil mahal. Tidak mungkin gaji guru Pak Sadewa bisa membeli mobil ini. Aku tidak kenal siapapun yang pernah punya jeep. Tapi kalau dari bodi mobil yang maskulin dengan roda-rodanya yang besar, mungkin Pak Sadewa sering pergi ke tempat-tempat dengan dataran yang tidak mulus seperti daerah pegunungan.

Karena dilapisi kaca gelap, aku dapat dengan leluasa mengamati keadaan di luar tanpa takut ketahuan. Keadaan tempat parkir masih ramai karena baru lima belas lalu sekolah berakhir. Tidak banyak murid yang membawa mobil ke sekolah, mungkin hanya sekitar belasan orang dari seribu manusia di sekolah ini. Salah satu di antara mereka adalah Brendo. Anak itu memarkirkan mobilnya sekitar empat mobil dari Pak Sadewa. 

Dari kejauhan aku melihat Brendo dan Lisa yang berjalan beriringan. Sepertinya suasana di antara mereka tidak begitu baik, ditandai oleh jarak keduanya yang berdiri agak jauh. Ketika mereka sampai di mobil Brendo, keduanya tidak langsung masuk. Malah, sepertinya pertengkaran baru mulai terjadi. Dari tempatku duduk, aku tidak bisa mendengar jelas percakapan mereka. Tapi kalau Brendo yang kalem mulai berbicara banyak, sepertinya masalah mereka serius. Terakhir kali Lisa curhat, dia bilang dia akan memutuskan hubungan mereka. Jadi aku tidak heran mengetahui bahwa status hubungan sedang diuji sekarang. 

Mereka tiba-tiba berhenti saat seseorang berjalan melewati mereka. Orang itu Pak Sadewa. Brendo dan Lisa tidak memberi salam, tetapi pandangan mereka mengikuti sang guru Sejarah itu. Baru saat Pak Sadewa menjauh, keduanya akhirnya masuk ke dalam mobil.

Pak Sadewa membuka pintu mobil dan tersenyum ke arahku sebelum masuk ke dalam. Tasnya ia lempar ke kursi belakang. Aku sudah biasa melihat wajah kusutnya saat pulang sekolah. Tapi kali ini berbeda, beliau menyisir rambutnya ke belakang dengan gerakan yang kasar. Jidatnya yang terekspos, mengerut dengan jelas. Sambil bersandar ke kursinya, Pak Sadewa menengadah dan menutup mata.

"Lelah ya?"

Beliau menoleh ke arahku. Tangannya mengusap daun telinga saat menjawab, "Tidak." Kalau sebelumnya aku sulit membaca wajahnya. Ternyata mudah sekali mengetahui kalau dia sedang berbohong. Mukanya tidak menunjukkan hal itu, tapi instingku bisa merasakannya.

Aku sebenarnya ingin tahu apa yang mengganggu pikirannya. Tapi aku memilih untuk menghargai privasinya. Kalau beliau tidak ingin bercerita, aku tidak ingin memaksanya. "Mau langsung pulang saja?"

Pak Sadewa meraih tanganku, yang langsung kubalas genggamannya dengan senang. "Makan dulu, ya. Ada yang mau saya tanyakan," beliau menempelkan punggung tanganku ke pipinya. Meskipun tindakannya menunjukkan afeksi, kata-katanya berarti lain bagiku. 

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang