"Ini ... aku ditembak?" hal pertama yang kulakukan adalah menutup mulutku. Pertama, karena aku ingin diam-diam menghapus ilerku. Kedua, karena aku mengasumsikan sedang ditembak dan menyuarakan pikiranku keras-keras.
"Boleh kamu pikirkan dulu."
Berarti benar?
"Bapak nggak lagi bercanda, kan?"
Tanpa diduga, raut wajah beliau masih serius. Tidak tersenyum sedikitpun. "Tapi ... kalau sama saya tidak bisa terang-terangan." Aku masih tidak percaya sedang diajak pacaran tapi orangnya malah khawatir masalah backstreet?
"Selama ini juga sudah begitu kan, Pak." Untuk pulang bersama saja harus kucing-kucingan.
Akhirnya beliau tersenyum. "Pokoknya, pikirkan dulu baik-baik."
Aku tahu meskipun aku menolak, Pak Sadewa tidak akan menaruh dendam padaku. Orang se-profesional beliau tidak mungkin tiba-tiba memberiku nilai jelek hanya karena aku tidak menerima beliau.
Aku masih menatap beliau lekat-lekat. Menunggu kalau-kalau beliau menarik kembali 'tembakannya'. Atau membenarkan kesalahpahamanku. Guratan alisnya terangkat sebelah, membalas tatapanku dengan tak kalah intensnya. Rasanya aku ingin meleleh saja dari dunia ini. Malu. Aku adalah orang yang bodoh kalau tidak bisa merasakan perbedaan saat Ir mengakui perasaannya padaku beberapa hari lalu dan saat Pak Sadewa yang melakukannya.
Dengan Ir, aku langsung menolak pemikiran itu bahkan menyuarakannya dengan tanpa beban. Dengan Pak Sadewa, imajinasiku melayang tak kembali memikirkan masa depan. Habis lulus, langsung nikah aja kali!
Aku melepas koneksi pandangan kami, berusaha berpikir jernih. "Aku belum kenal lama dengan Bapak," aku mencoba menggunakan alasan yang sama dengan yang kugunakan untuk Ir. Padahal hatiku sudah ingin berteriak 'iya'.
Mataku kembali pada matanya. "Mau kenal tentang apanya?" beliau bertanya.
Aku menggigit bibir, menahan senyumku yang benar-benar tidak bisa ditahan lagi. Aku suka. Aku suka Pak Sadewa. Aku suka mendengar isi kepala beliau. Aku selalu ingin mengetahui apa yang sedang ia pikirkan. Aku ingin menjadi orang satu-satunya yang mengetahuinya luar dan dalam.
"Mmm..."
"Hm?" di waktu yang bersamaan, kami tertawa. Berbicara biasa di depan crush aja sudah dagdigdug. Apalagi membicarakan hal yang dalam-dalam.
Ada pertanyaan yang mengantre di benakku sampai aku bingung, yang mana yang paling penting untuk ditanyakan sekarang. Misalnya, hubungan dengan Miss Fani apa? Di mana kamu tinggal? Kemarin ngapain parkir di kompleks tapi tidak menelfon atau bahkan mengirim pesan? Waktu aku tidak masuk sekolah, pulang dengan siapa? Sejak kapan suka? Kenapa aku? Punya mantan berapa? Dulu SMA-nya di mana? SMP? SD? Warna kesukaannya apa? Makanan kesukaan? Kenapa tidak suka musik?
Okay. Aku tahu mana yang paling ingin kudengar jawabannya. "Sejak kapan suka?"
"Suka siapa?"
Aku cemberut. "Nggak lucu."
Tawa renyah Pak Sadewa mengudara. "Beneran, suka siapa?"
Aku menyerah. Membuang jauh-jauh rasa maluku. "Suka aku?"
"Sejak awal." Tuhkan, nggak seru orangnya.
"Jelaskan," aku bersedekap, merasa senang karena bisa mengatakan hal itu didepan guru sendiri.
"Sejak hari pertama saya masuk sekolah," jawab beliau akhirnya. Aku mengingat kembali pertama kali bertemu beliau di kelas. Tidak banyak yang kuingat. Yang paling meninggalkan kesan adalah banyaknya jumlah murid perempuan yang tiba-tiba aktif berpartisipasi, rajin menanggapi Pak Sadewa. Selebihnya, aku tidak merasakan perlakuan spesial dari beliau yang spesifik untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi Kuasa ✔️
RomanceGuru lelaki yang baru mulai mengajar di sekolahnya itu bernama Pak Sadewa. Rayuan maut murid-murid cewek tidak pernah mempan melelehkan sikap dingin guru muda itu. Siapa sangka dibalik rupawan sempurna wujudnya, tersimpan perilaku penuh dosa yang ta...