Malam Festival

18.7K 1.5K 6
                                    

"Pulangnya jangan kemalaman," pesan terakhir Bunda saat aku mencium tangan beliau, pamit pergi.

"Iya, Bun. Kunci aja pintunya, Wulan bawa kunci kok," aku bergegas ke depan dan menutup pintu. Sebuah mobil berwarna putih sudah menunggu di depan pagar rumahku. Kaca depannya turun, menampilkan Lisa yang melambaikan tangan. Di sebelahnya, Brendo menyapa dengan senyuman.

Aku membuka pintu belakang dan mendapati pasangan Mia dan Candra di baris ketiga. Sementara Rian langsung menyerbuku dengan pelukan dan berseru, "My date! Akhirnya! Kesepian aku tuh di antara dua couple ini, huhu." Aku tertawa dan melompat duduk di sampingnya.

"Halo, kak. Ketemu lagi," sapa Candra menepuk bahuku. Aku masih ingat beberapa hari lalu dikacangi sepanjang hari oleh anak itu. Tapi aku mengerti kalau dia tidak bermaksud buruk.

"Udah Lan? Punya cowok yang harus dijemput, nggak?" canda Lisa dari bangku depan.

"Siapa lagi? Aku kan udah pasangan sama Rian."

"Sama Ir, belum ya?" Brendo menatapku dari bangku pengemudi melalui spion depan. Aku lebih jarang bertemu dia dibanding Candra meskipun kami seangkatan. Seperti kekasihnya, Brendo juga merupakan anggota paskibra. 

"Aah, Ir kelamaan. Ternyata penakut juga, dia," timpal Lisa.

Aku menepuk-nepuk pundak Brendo dari belakang, "Udah, udah. Langsung ke alun-alun aja, nggak ada yang harus dijemput."

Kedua pasangan di bangku depan dan bangku belakang tertawa. Mentang-mentang sudah punya pacar, mereka pikir orang lain juga harus punya pacar, apa?

Rian mengulurkan seplastik bakso bakar, "Aku juga nggak ada gandengan kok. Bodo amat."

Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai pergi ke festival ulangtahun kota yang selalu diadakan tiap tahun. Wahananya sudah semua kucoba, suasananya juga tidak pernah berubah. Lebih-lebih, karena kali ini kami pergi dengan Candra dan Brendo. Mia dan Candra baru berpacaran tahun ini, sementara Lisa biasanya selalu memisah jadwal kami dengan jadwal Candra. Misalnya, jadwal menonton film pun dia rela menonton berkali-kali hanya agar dia bisa kencan berdua dengan Brendo dan hangout dengan kami sendiri. Itulah mengapa aku tidak terlalu mengenal Brendo.

Tapi aku lebih memilih pergi daripada tinggal di rumah tanpa melakukan apapun. Kedua orangtuaku tidak pernah melakukan sesuatu yang menarik. Mereka lebih sering berkutat dengan pekerjaan masing-masing, atau tidak saling meneriaki satu sama lain. Aku akan memilih menghabiskan waktu dengan Rara sekalipun kalau pilihan lainnya adalah tinggal di rumah

Suasana malam itu sangat ramai karena merupakan malam pertama dibukanya festival dan bertepatan dengan hari Minggu. Berenam, kami saling memegang bahu untuk melewati lautan manusia. Brendo yang berbadan paling tinggi besar memimpin di belakang dan Candra mengakhiri formasi ulat bulu kami. Belum ada semenit di sana, bajuku sudah basah dengan keringat dan aku makin tidak menyukai keputusanku untuk pergi malam itu.

Kami hanya punya waktu untuk menaiki bianglala dan kora-kora karena volume penduduk yang datang sangat melimpah. Untuk berpindah tempat saja butuh lebih dari sepuluh menit, itupun kalau formasi kami tidak terpencar. Setelah lelah baru kami memutuskan untuk beristirahat dan mengisi perut di salah satu lapak lesehan di sekitar alun-alun. Seperti saat di mobil, aku dan Rian duduk di tengah-tengah kedua pasangan yang sibuk masing-masing.

"Kayaknya tadi aku lihat Ir, deh," kata Rian pelan, ditujukan untukku. Tapi Candra menoleh ke arah kami, rupanya ikut mendengar omongan Rian. 

"Sama anggota tim kok, kak. Aku juga heran kenapa nggak ngajak kakak," celutuk Candra. 

Aku mengangkat bahu, "Temannya banyak. Ngantri, mungkin. Hari ini sama tim besok sama anak pramuka, dan seterusnya," candaku. Sejujurnya, cowok itu beberapa kali mencoba menelponku sejak pertemuan di kantin hari Jumat. Tapi aku sengaja tidak mengangkat dan hanya membalas pertanyaannya dengan singkat.

"Kamu nggak apa-apa, Lan?" aku menoleh ke arah Mia, yang ternyata menatapku dengan raut khawatir. "Kayaknya pas nonton basket baik-baik aja, sampai mau diantar gitu."

Aku menyunggingkan senyum, "Nggak apa-apa, kok." Tapi tanpa suara, aku menyebutkan kata 'nanti aku cerita'. Bukan waktu yang tepat untuk curhat dengan adanya Candra dan Brendo. Mia mengangguk dan kembali bercerita tentang sesuatu kepada Rian, berniat mengganti topik pembicaraan.

Aku menoleh ke arah Lisa yang rupanya sedang berdebat dengan Brendo. "Simpan dulu hp-nya bentar bisa? Aku lagi bicara sama kamu," gumam Brendo yang cuma dibalas dengan kibasan tangan oleh si Lisa. "Bentar, bentar. Ini urgent banget. Kok kamu egois sih,"

Aku ikut mengeluarkan hp-ku, tidak berniat memberikan kontribusi terhadap cekcokan Lisa-Brendo dan obrolan Mia-Rian-Candra.

Karena kemarin libur nasional, sudah dua hari aku tidak bertemu Pak Sadewa. Beliau tidak pernah mengirim pesan untukku. Kami hanya sering berbicara ketika bertemu muka. Aneh. Rasanya dekat, tapi di saat yang bersamaan juga terasa jauh.

Status online tertulis di bawah nama beliau. Aku membaca riwayat percakapan kami yang panjangnya hanya satu kali gulir layar. Beliau juga tidak memasang foto profil apapun, atau mungkin nomorku yang belum disimpan sebagai kontak? 

Hal lain yang baru kusadari, beliau mengeluarkan diri dari grup obrolan debate club yang sering kami pakai saat di Bali. Aku rasa alasan beliau keluar karena kemarin Miss Fani mengumumkan bahwa kita harus bersiap untuk perlombaan tingkat provinsi di akhir bulan nanti. Sebentar lagi.

Aku memikirkan perbincangan terakhir kami. Tentang cinta.

Mungkin beliau tidak salah. 

Cinta anak kecil, cinta orang dewasa. Sama saja. 

Bodoh.

Aku memikirkan tentang beliau, tentang Ir, ayah-bunda.

Aku rindu. 20.21

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang