Teman Tidur

21.9K 1.3K 40
                                    

Yang namanya patah, apapun itu, rasanya sungguh diluar batas toleransi sakit manusia. Aku pernah merasakan patah hati, tapi itu dulu. Dan rasa sakitnya tidak sebanding dengan patah tulang yang kualami saat ini. Aku sampai tidak bisa tidur semalaman. Air mataku habis untuk menangis karena menahan sakit di kakiku. Selain itu karena aku tahu tidak ada yang bisa kulakukan. Apalagi karena tidak ada distraksi yang membuatku melupakan rasa sakitku seperti saat teman-teman masih di rumah.

Aku tidak mungkin membangunkan orangtuaku malam-malam hanya untuk menemaniku menderita. Obat pereda rasa nyeri sudah keteguk setelah makan malam, tapi tidak kurasakan sama sekali efeknya. Semua posisi sudah kucoba, terlentang, miring kiri miring kanan, telungkup, duduk bahkan berdiri, sakitnya sama saja.

Untuk belajar pun, aku tidak bisa berkonsentrasi sama sekali. Padahal hari ini adalah hari penting. Hari terakhir National Schools Debating Championship tingkat kotaku. Kalau tim kita gagal melaju ke tingkat provinsi, itu sudah pasti karena kesalahanku.

Aku menyalakan hp-ku yang belum kusentuh sama sekali sejak pulang tadi. Ada 20 panggilan tak terjawab dari Pak Sadewa tadi sore. Bukannya aku lupa mengabari beliau, aku malah tidak ingin beliau tahu. Meskipun sudah pasti beliau akan tahu sendiri dari balutan gips di kakiku, setidaknya tidak saat di hari H-nya.

Bahkan ketika hari mulai terang, mataku masih menyala. Lelah mata, lelah badan, lelah kaki, semuanya lelah. Tapi otakku tidak bisa berkompromi, terus memikirkan apa-apa saja yang perlu kuingat untuk lomba hari ini.

Setelah mandi dan sarapan, aku menunggu jemputan di ruang tamu. Ayah dan bunda sudah pergi sejak tadi. Saat pintu rumah akhirnya diketuk, aku membuka mata. Pandanganku terlempar ke seberang ruangan ke arah jam dinding. Pukul 06.34.

"Nggak dikunci," seruku, tidak ingin bergerak untuk membuka pintu.

Pak Sadewa muncul dari balik daun pintu. Aku menelan ludah, tidak berani berkata-kata duluan.

Ia menghela napas panjang, masih berdiri di depan pintu mengamatiku seolah aku sudah melakukan kesalahan yang sangat tidak bisa dimaafkan. "Sudah siap?" tanyanya.

Aku mengangguk, mencoba tas punggungku. Pak Sadewa mendekat dan merebut tasku, menyampirkannya di bahu kanannya. Ia tiba-tiba melingkarkan tangannya ke belakang punggungku dan belakang lututku. "No... " tolakku, tidak ingin digendong.

"Biar cepat," bujuknya. Aku menatap lekat-lekat wajahnya, mencari kegusaran terpatri di sana. Yang kulihat hanya raut kesabaran yang selalu sukses membuatku meleleh. Akhirnya, aku memeluk leher beliau, menyerah.

Pak Sadewa mengangkatku tanpa kesulitan sama sekali, seolah aku seringan kapas. "Kruknya, jangan lupa." Aku menunjuk sepasang tongkat kruk yang tergeletak di sudut ruangan, disiapkan bunda tadi malam. Tapi beliau langsung membawaku keluar rumah.

Karena kedua tangannya yang tidak bebas, aku mengulurkan tanganku membantu membukakan pintu mobil. Pak Sadewa mendudukkanku perlahan di kursi depan, samping kursi pengemudi. Artinya, Miss Fani tidak ikut dengan kami.

"Kunci rumah?" tanyanya. Begitu kuberi, beliau kembali lagi ke dalam rumah, mengunci pintu dan mungkin mengambil tongkat krukku. Aku memilih menunggu sambil membaca-baca berita melalui aplikasi di hp-ku. Aku hanya melirik sekilas saat Pak Sadewa kembali dan menyalakan mesin mobil.

Karena beliau tak kunjung bersuara dan aku pun merasa punya kewajiban untuk meminta maaf atas kejadian kemarin, aku memberanikan diri memulai percakapan. "Masih marah?"

Keningnya berkerut, tapi beliau masih terpaku pada jalanan. Fix, marah. Padahal aku kangen.

"Tidak marah," jawabnya akhirnya. Oh?

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang