Langit Sore

31.4K 2.4K 11
                                    

Saat kami sampai di tempat pertemuan, Miss Fani sudah duduk bersila di sebuah meja dengan Ir dan Rian di hadapannya dengan bentuk mereka yang sudah amburadul. Aku hampir lupa dengan fakta bahwa jemari kami masih bertaut kalau saja aku tidak harus mendorong pintu kaca untuk membukanya. Aku langsung berlari duduk di samping Rian dan menepuk jaket hitamnya yang sudah ia lepas dan taruh di atas meja. "Kok kamu ninggalin aku sih?" perkataanku membuat Ir dan Miss Fani juga mendongak.

"Gila ya lu, itu udah kayak survival mode di medan perang kali. Aku aja sampai didorong berkali-kali- hampir jatuh malah!" Rian menampol kepalaku, membuat beberapa serbuk yang masih menempel bertebaran di sekitar kita.

"Kok nggak pake mobil aja sih, kalian malah bikin kotor kan sekarang. Sebentar lagi mungkin kita bakal diusir," tegas Miss Fani, sambil mengibas-ibaskan tangannya untuk menghalau serbuk warna-warni yang terbang ke wajahnya. "Kamu juga, Dewa, sudah aku hubungi dari tadi tidak diangkat-angkat!"

Aku, Rian, dan Ir menundukkan kepala. Sepertinya suasana hati Miss Fani sedang tidak baik saat ini. Mana mungkin kita kepikiran untuk naik mobil hanya untuk ke tempat yang berjarak sepuluh meter. "Mobil rentalannya baru akan diambil besok pagi, Miss," jawab Pak Sadewa, agak terlalu kalem menghadapi Miss Fani yang sudah cemberut.

"Ambil nanti malam saja, biar besok tidak grasak-grusuk,"  gerutu Miss Fani, yang kemudian berpindah kursi ke meja sebelah kami yang berjarak agak jauh. Duduk sini, ada yang ingin saya bicarakan."

Aku melirik Rian yang sedang mengunyah sepotong pizza. "Miss Fani kenapa lagi?" bisikku.

Rian berpandangan dengan Ir, sebelum kemudian menjawab, "Kayaknya kita lagi ganggu date mereka deh. Mungkin Pak Dewa diajak sendirian sama Miss Fani. Tapi malah bawa-bawa kita."

"Tapi kan kita juga lapar, belum makan dari tadi," Ir menambahkan, masih dengan suara yang rendah.

Aku menggeleng-geleng kepala heran, bisa-bisanya Miss Fani bersikap tidak dewasa seperti itu. "Tapi.. kita bisa go-food sih," ujarku akhirnya, berusaha mengerti maksud Miss Fani.

"Kalau go-food, harus ngeluarin uang sendiri. Kalau ini gratis," Rian nyengir, sambil mengambil lagi satu potong pizza dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

Rian ada benarnya juga.

Seumur hidupku, baru sekali ini aku pergi keluar kota sendirian. Tidak sedang liburan bersama keluarga. Rasanya aneh sekali, harus mengepak barang-barang sendiri, harus memegang tiket pesawat sendiri, harus mengatur keuangan sendiri, harus menjaga diri sendiri.

Aku meraih sepotong pizza dan mulai mengisi perutku. Dari jendela bangunan restoran itu aku bisa melihat jalanan serta pantai di seberang. Sedikit lagi matahari akan terbenam, tapi suasana malah meramai. Orang berlalu lalang di sana. Segala jenis orang. 

Yang tinggi, pendek. Berambut gelap, terang. Memakai pakaian kekurangan bahan, atau tertutup dari ujung atas hingga bawah. Berdua, sendiri, berkeluarga.

Pasti menyenangkan tinggal di sini setiap hari. Bisa berselancar di laut, berkenalan dengan orang-orang baru setiap hari. Kehidupan itu pasti jauh dari kata bosan.

'Cekrek'

Aku berbalik, mendapati Ir yang langsung menurunkan hpnya. "Ups, sorry. Kupikir tidak ada bunyinya," ia tersenyum.

Aku mengangkat sebelah alisnya. Apa dia baru saja mengambil gambarku. "Nih, bagus kan? I'll tag you on instagram," sahutnya lagi, memperlihatkan layar hpnya. Wajahku tidak terlihat di sana, hanya siluet saja. Tapi memang itu foto yang bagus.

Aku tersenyum. "Jelek ah, modelnya."

"Mana ada. Karya masterpiece, ini.."

Aku tertawa. "Ya udah, terserah." Aku menyerah.

"Fotoin aku dong, dari situ," pintanya lagi.

"Duh, ileh, kayaknya aku yang jadi pengganggu double date nih," ujar Rian tiba-tiba.

Aku memutar bola mataku. "Ya udah kufotoin kamu sama Rian. Cepat," perintahku.

Rian tertawa, "Nggak usah, canda sayang." Kemudian dia menggeser tempat duduknya menjauh dari Ir dan mendekat ke arahku agar tidak menghalangi kamera yang tersorot untuk mengambil gambar Ir.

Aku pun membuka kameraku dan mengambil beberapa gambar Ir yang berpura-pura makan tanpa melihat ke kamera. Aku tertawa melihat tingkahnya yang seperti model berpengalaman. Aku yakin Ir pasti sering difoto oleh teman-temannya.

"Mau ku-tag di instagram juga?" tawarku padanya.

Ia tersenyum, "Boleh. Kalau nggak ada yang marah."

"Aku yang marah," kata Rian lagi, sambil tertawa. "Modusnya bisa aja," ia bergumam pelan.

Mendengar celotehan Rian, Ir hanya tertawa. Sementara aku bingung harus merespon seperti apa, jadi aku memilih menyibukkan diri dengan hp-ku untuk memposting foto Rian di story-ku.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang