Lini Waktu

15.2K 1.2K 33
                                    

"Sadewa," suara seorang perempuan membuat kami berdua mendongak. "Masih ingat aku?"

Di hadapanku berdiri seorang gadis tinggi, mengenakan gaun panjang hingga mata kaki dengan model grecian neckline berwarna dusty pink. Rambutnya tergerai lurus hingga ke depan dada, riasan make-up-nya tipis namun mencerahkan wajahnya.

Aku hampir meloncat turun kalau Pak Sadewa tidak menahanku di perut dengan satu tangannya yang lain. Aku menahan napas. Merasa seperti sedang ketahuan mencuri. Padahal aku cuma duduk di atas pangkuan laki-laki, lagipula orang-orang juga bisa melihat gipsku yang tidak bisa disembunyikan di balik kain jarikku. Meskipun tetap saja bukan pemandangan yang normal untuk dua orang lawan jenis melakukannya di depan publik, tapi kurasa kondisi saat itu membuat orang-orang memaklumi posisi kami.

"Oh, datang ya?" suara Pak Sadewa terdengar dari belakangku. Aku merasakan tangan beliau menarikku makin ke belakang. Punggungku bertemu dadanya. Aku tidak berani bergerak. Masalahnya, perutnya rata. Tidak buncit. Jadi, dari atas sampai bawah, bisa kurasakan.

Tatapanku ke bawah, mengamati coretan di gipsku, membacanya satu-satu. Tulisan Pak Sadewa masih di sana. Hanya sudah kucoret bagian apostrof dan huruf S di belakang namanya. Yang tersisa tinggal SADEWA tanpa 'S.

"Iya, kebetulan aku sekarang kerja di sini." Sungguh, aku benar-benar tidak ingin terlibat dalam percakapan mereka berdua. Aku merasakan intuisi yang kuat tentang siapa cewek di depanku ini. "Kamu gimana? Denger-denger lanjut S2 di Australia?"

Aku pernah melihat skripsi yang sedang dikerjakan beliau, yang ditulis dalam bahasa Inggris. Rupanya memang beliau sedang studi di luar negeri.

Pandanganku teralih ke kiri. Pak Sadewa masih memegang hp-ku di tangannya. Giri yang terlupakan, masih duduk di samping kita. Lelaki itu nyengir lebar ke arahku, kedua alisnya bergerak naik turun berkali-kali. Aku menutup wajahku dengan telapak tanganku. Ke kiri salah, ke bawah lelah, ke kanan terlalu kelihatan memalingkan wajah, ke depan tidak mungkin.

"Lagi balik Indonesia, riset sambil bantu-bantu ngajar. Bimbingannya juga bisa online, soalnya. Kemungkinan Desember lulus." Desember tahun ini? Berarti beliau tidak akan lama mengajar di sekolah kami.

"Habis itu kemana?" gadis itu menanyakan pertanyaan di kepalaku. Aku merasakan tangan kanan beliau mengusap pelan perutku. Malah membuatku merasa mulas. Kupu-kupu di sana beterbangan tidak karuan, seolah mengenali pelaku yang suka membuat hatiku jungkir balik. Aku menurunkan tanganku, memperhatikan cincin yang baru melekat di jemariku.

Pak Sadewa berpikir panjang, kemudian akhirnya menjawab, "Lihat nanti, mungkin balik sih. Tergantung dapat kerjaan di mana."

"Oh," gumam si wanita. Aku menggigit bibir, berdoa agar kesengsaraan ini berakhir. "Ya udah, aku lanjut ya. Gir, duluan." Tuhan mengabulkan doaku!

Tanpa mengindahkan keberadaanku, wanita itu menjauh pergi. Aku membuang napas yang sedari tadi kutahan. Bahkan jari-jari kakiku dalam balutan gips pun berkeringat saking nervous-nya diriku.

"Audrie Dominik," Giri memberi tahuku. "Mantannya Dewa." Aku hanya sekilas melihat wajahnya, tidak sempat menghapal mukanya. Tapi wanita itu jelas cantik, pandai merawat diri, dan tinggi!

"Nggak pernah berhubungan lagi," Pak Sadewa mengembalikan hp-ku, masih menahanku dalam pelukannya. Bahkan kini ia menyandarkan dagunya di pundakku. Suhu tubuhku makin meningkat meski ruangan besar itu sudah dipenuhi beberapa unit ac.

"Dia bahkan nggak nanyain Wulan siapa," ujar Giri lagi. Lebih baik dianggap hantu daripada aku harus memperkenalkan diriku pada wanita itu.

Aku tidak bisa menghadap Giri di samping kiriku karena kalau aku menoleh kiri, mukaku akan bertemu dengan muka Pak Sadewa. Aku berdiam diri, duduk manis memandang orang lalu lalang di depanku. Tidak mau bergerak sesenti pun.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang