Dua Tahun Kemudian
Aku benci hidupku. Semuanya membosankan. Tidak ada yang menarik untukku lagi. Kalau ditanya beberapa tahun lalu, aku ingin kemana setelah lulus, aku selalu bermimpi pergi jauh sekali. Meninggalkan hidup lamaku, orang-orang yang mengenalku, memulai hidup baru.
World School Debating Championship sempat mengantarku menginjakkan kaki untuk pertama kali keluar negeri. Thailand, lebih tepatnya. Tidak jauh, memang. Tapi itu tempat terjauh dari rumah yang pernah kudatangi. Sendiri. Oleh hasil keringatku sendiri.
Meski tidak berhasil mengharumkan nama bangsa, tidak ada orang di sekitarku yang menduga aku bisa mewakili nama sekolah kami, provinsi, bahkan negara kami. Dan aku berhasil mengantongi dua undangan dari universitas luar negeri dari prestasiku itu.
Orang-orang mungkin berpikir aku bodoh karena pilihan finalku malah jatuh ke salah satu universitas swasta dalam negeri. Meski mendapat beasiswa penuh dengan bonus tunjangan hidup, universitas ini tidak ada apa-apanya dibanding universitas yang lain yang berpeluang kumasuki.
Tebak, di mana?
.
Tiga hari berturut-turut aku punya jadwal kelas pagi membuat antusiasmeku sebagai mahasiswa baru jadi terjun bebas. Aku memang terbiasa bangun pagi, bahkan membuat sarapan dan mengisi perut. Tapi di kota baru ini, aku masih belum terbiasa membaca rute jalan dan transportasi umum yang bisa kugunakan. Apalagi bangunan kampusku luas dan belum kueksplor seluruhnya. Alhasil, aku harus bangun lebih pagi agar kalaupun tersesat di jalan, aku tidak akan terlambat masuk kelas.
Aku selalu menjadi orang pertama di kelas. Ruangan masih kosong saat aku masuk. Seperti beberapa kelas yang sudah kuikuti dua hari lalu, aku mengambil kursi paling belakang dan langsung merebahkan kepalaku di atas meja.
Karena datang paling awal, besar kemungkinan aku harus berinteraksi dengan teman-teman baru yang akan datang setelah aku. Untuk menghindari itu, aku memilih menutup mata dan pura-pura beristirahat.
Setelah beberapa menit berlalu, ruang kelas mulai ramai dipenuhi mahasiswa baru lainnya. Aku baru membuka mata saat mendengar kursi di sampingku diduduki seseorang. Senyumanku mengembang saat mendapati teman baruku, Valky, yang mengisi tempat itu.
"Makasih udah ngambilin tempat buat gue," ia menaruh tasnya di bawah kursi. Padahal kursi di sampingku memang kosong, tidak kutaruh barang apapun di sana. Pacarnya, Ray, turut duduk di samping kirinya, masih sibuk memegang hp.
"Di belakang mulu, minus mata kita ntar," protesku. Kursi di samping kananku juga terisi oleh seorang cewek. Rata-rata hampir semua barisan belakang terisi terlebih dahulu dibanding barisan depan.
"Halah, lu juga hobi tidur lagian. Ngapain di depan," balas Valky.
Kalau selama di sekolah, aku selalu memilih bangku baris depan, saat kuliah ini aku memilih mengalah pada Valky dan duduk di bangku paling belakang. Aku dan Valky bertemu di hari pertama pengurusan administrasi, lalu pada hari pengambilan almamater, lalu tergabung pada kelompok ospek yang sama, mengambil jurusan yang sama, dan ternyata memiliki nama yang berdekatan di daftar absen. Akhirnya secara kebetulan, kami lebih banyak mengobrol berdua dibanding dengan anak-anak lain dan menjadi dekat.
Ia rupanya membawa segelas pop mie yang masih beruap dan baunya langsung menyeruak di sekeliling kursi kami. Ia menyodorkan makanannya padaku. "Mau?"
Aku menggeleng, malas bangun dan mengunyah. Cewek itu mengangkat bahu dan menyuapkan segarpu mie pada Ray yang sejak tadi berkutat pada game di hpnya.
Ray membuka mulut lagi setelah menelan makanannya, mengharapkan Valky menyuapnya lagi. Ketika ceweknya dengan senang hati memberikan suapan kedua, Ray nyengir dan berkata, "Makasih sayangku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi Kuasa ✔️
RomansGuru lelaki yang baru mulai mengajar di sekolahnya itu bernama Pak Sadewa. Rayuan maut murid-murid cewek tidak pernah mempan melelehkan sikap dingin guru muda itu. Siapa sangka dibalik rupawan sempurna wujudnya, tersimpan perilaku penuh dosa yang ta...