"Jangan ..." suaraku terdengar parau di tengah keheningan malam.
Aku mencoba mengatur ritme napasku yang berantakan. Tangan Pak Sadewa berpindah ke daguku, bibirnya kembali ke bibirku. Hanya mengecup sekilas. Kemudian menghilang.
Sebenarnya aku takut membuka mata, tapi kuberanikan diri menghadapi wajahnya di depan. Mataku langsung tertuju pada matanya. Aku terhenyak, menunggunya berkata sesuatu. Dia masih di atasku, tubuh kami tidak saling menempel. Beliau mempertahankan posisi plank sejak tadi.
Rasanya lama sekali waktu berlalu. Ia tak kunjung bersuara juga, hanya menatap lekat-lekat dengan ekspresi yang tak terbaca. Aku jadi merasa bersalah karena menolaknya.
"Saya tidur di bawah ya," ketika Pak Sadewa akhirnya berbicara, mataku secara tidak sadar turun ke bibirnya yang sedikit memar.
Aku memasang cemberutku, "Tadi katanya mau di sini."
"Kalau begitu izin ke kamar mandi, boleh?" aku menimbang-nimbang lama sekali. Apa Pak Sadewa marah? Kuperhatikan lagi air mukanya yang benar-benar polos, tidak menunjukkan satu perasaan manusia pun.
Dengan berat hati aku mengangguk. Sebelum bangkit berdiri dan turun dari kasur, ia mencium pipiku. Berarti sedang tidak marah, simpulku akhirnya.
Di dalam kamar tamu yang sedang kutempati, sebenarnya sudah tersedia kamar mandi. Jadi keningku langsung mengerut saat Pak Sadewa membuka pintu dan keluar dari kamar. Kenapa tidak pakai yang dekat saja?
Aku mengusap wajahku, mengulang-ulang kembali apa yang baru saja terjadi. Kulitku masih merasakan sentuhan beliau. Aku tidak sedang bermimpi. Bibirku lecet. Bulu kudukku masih berdiri. Bagaimana kalau tadi aku tidak menghentikannya? Apa 'itu' akan terjadi? Apa aku siap kalau hal yang sama akan terulang lagi di masa depan?
Lama sekali aku menunggu beliau kembali. Kira-kira hampir setengah jam. Mungkin sebenarnya dia marah? Meskipun tadi sempat menciumku sebelum pergi?
Kasur di sebelahku bergetar pelan. Aku meraba-raba dan menemukan hp Pak Sadewa yang tertinggal di samping tubuhku. Mungkin jadi dari sakunya saat ia berpindah posisi tadi. Getaran itu berhenti, tapi kemudian bergetar lagi. Lalu berhenti, lalu bergetar lagi. Pemiliknya tak kunjung kembali.
Aku memutuskan meraih benda itu dan mengintip layar kuncinya.
Empat kali pesan masuk. Dari mantannya.
Empat kali. Apa itu balasan, atau obrolan baru?
Empat kali. Kalau obrolan baru, masa seorang Audrie mengirim spam huruf P?
Kalau pun bukan ping, urusan apa sampai harus mengirim empat bubble.
Satu bubble, memperkenalkan diri. Atau salam?
Dua, menanyakan kabar mungkin? Atau memperkenalkan diri.
Tapi nomornya sudah tersimpan sebagai kontak. Apa iya, harus memperkenalkan diri lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi Kuasa ✔️
Roman d'amourGuru lelaki yang baru mulai mengajar di sekolahnya itu bernama Pak Sadewa. Rayuan maut murid-murid cewek tidak pernah mempan melelehkan sikap dingin guru muda itu. Siapa sangka dibalik rupawan sempurna wujudnya, tersimpan perilaku penuh dosa yang ta...