Sebagai Teman

13.7K 1.2K 9
                                    

"I don't think our nation is rich enough to afford university for everyone," otakku masih ingin bekerja bahkan saat kami menuruni tangga perpustakaan.

"But wouldn't it be better that we prioritize education above everything else?" Rian menyanggahku.

"Our nation is never rich enough to afford anything, honestly. So, might as well," Ir memilih berpihak pada Rian. 

Aku tersenyum mendengar perkataan Ir yang secara tidak langsung menjelekkan negara, meskipun benar. "Mending uangnya buat makan rakyat dulu nggak, sih."

"Bantuan sosial juga nggak pernah merata, nggak pernah nyampe penuh ke yang paling bawah kan?" lawan Ir lagi.

"Kalau edukasi yang ditingkatkan, efeknya bakal untuk jangka panjang. Kesejahteraan sosial juga akan terangkat sendiri," tambah Rian.

"Apalagi ya," aku mengusap dagu, mencari celah untuk mempertahankan argumenku.

"Udah, nyerah aja Lan," Rian menyenggolku sambil tertawa menggoda. "Bagusan pihak propposition."

"Iya sih," ujarku menyerah. Begitulah, debat. Tidak masalah pihak mana yang sebenarnya hatimu pilih, kamu harus tetap berusaha memperjuangkan pihak lain kalau memang itu jatahmu.

"Masih ada seminggu, kok," Ir berkomentar. Kami bertiga berjalan menuju parkiran. Rupanya kali ini Ir memarkirkan motornya dekat dengan motor Rian agar tidak berjalan terlalu jauh. "Kalau dapat yang opposition, tinggal tekankan masalah biaya kayak yang Wulan omongin. Karena memang realitasnya begitu. Nggak mungkin kita membiarkan rakyat mati kelaparan hanya agar uang makan mereka dialokasikan ke universitas bergengsi yang kebanyakan ada di kota-kota besar saja."

"Good point!" seruku. Memang kalau masalah jiwa sosial, tidak ada yang bisa mengalahkan Ir. "Bisa, bisa."

Ia menepuk-nepuk dadanya, berpura-pura bangga. Aku tertawa, masih kagum karena aku sama sekali tidak memikirkan hal itu.

Tiba-tiba Rian yang sedari tadi berkutat dengan motornya memanggil Ir, "Ir, coba nyalain motorku dong. Kok nggak bisa, ya." 

Yang dipanggil langsung mematikan mesinnya, dan mendekati Rian. Ia berkali-kali mencoba menyalakan dengan tombol starter, dengan gas pijakan kaki, namun tidak berhasil juga. "Yan, kayaknya akinya perlu diganti."

"Aki?" Rian menggaruk-garukkan kepala bingung. "Berapa ya biasanya?"

Ir mengembalikan kunci milik Rian. "100, 200-an, sih kayaknya. Di depan sekolah ada bengkel, dekat kok."

"Aku nggak bawa uang segitu banyak," kata Rian.

"Aku ada uang kas anak pramuka kalau mau pake dulu. Besok diganti, gimana?" 

"Thank you, Ir!"

Akhirnya kami berjalanan beriringan keluar dari pagar sekolah sambil mendorong motor-motor kami yang tidak dinyalakan. Bengkelnya tidak terlalu jauh dari sekolah, tapi banyak sekali antrean orang dengan keperluannya masing-masing.

"Wulan, mau aku antar pulang dulu nggak? Nanti aku balik lagi ke sini, gimana?"

"Iya, Lan. Nungguin motor aku, lama nanti," dorong Rian.

"Kamu nggak apa-apa ditinggal, Yan?"

"Yaelah, nggak apa-apa kok. Aku malah nggak enak kamu nungguin aku."

Akhirnya aku mengiyakan, tidak punya alasan untuk menolak.

"Bentar ya Yan, nanti aku balik," pesan Ir. Rian mengacungkan jempolnya, dan mengambil tempat duduk di bangku panjang yang disediakan.

"Pegangan ya," goda Ir saat aku naik di belakangnya.

Aku menggeleng, "Nggak, nggak apa-apa."

Ia tidak menjawab, dan langsung menarik gas menjalankan motor.

Kami berdua tidak berbicara apa-apa selama di perjalanan. Biasanya Ir lebih banyak berbicara, dengan siapapun itu. Lama-lama aku merasa bersalah, takut dia sadar kalau aku pelan-pelan menjaga jarak dengan dia.

Saat kami tiba di depan rumah, aku turun dan melepas helmku. "Makasih ya, Ir."

Ir mengangguk singkat, tapi kemudian memanggil namaku, "Wulan?"

"Ya?"

"Soal hubungan kita..."

Aku menarik napas, sepertinya aku memang harus berterus terang. "Soal itu, aku minta maaf."

"Tidak berubah?"

Aku menggeleng. "Sebenarnya... Ada orang lain yang aku suka," jawabku jujur.

"Wow," aku menatapnya bingung. "Pertama kali benar-benar ditolak orang," ia tertawa.

Aku membayangkan tidak pernah lagi ditelpon Ir setiap malam, tidak pernah lagi dicandai, tidak pernah disapa dengan hangat. "Tapi, aku harap nggak ada yang berubah di antara kita. Sebagai teman."

"Aku sudah punya firasat, sih."

"Maaf," gumamku lirih.

Ir menepuk pundakku pelan. "Nggak apa-apa, you're still my friend."

Siapapun orang yang disayang Ir, orang itu beruntung mendapatkan cowok sedewasa dia. "And you're the best male friend I've ever had."

Tawanya terdengar lagi, "Male friend."

"Ya, kan teman cowokku dikit," aku tersenyum.

"Kayaknya aku satu-satunya."

Aku nyengir, "Hehe."

"Kalau cuma satu ya sudah pasti jadi yang terbaik juga."

"Pokoknya, siapapun yang jadi pacarmu, pasti beruntung banget."

"Tapi kamu nggak mau."

Aku menggeleng.

"Semoga nggak bertepuk sebelah tangan dengan orang yang kamu suka itu."

Tidak, aku bahagia dengan Pak Sadewa.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang