Sudut Sekolah

17.2K 1.3K 30
                                    

Aku adalah tipe murid yang selalu datang ketika baru ada lima motor di parkiran, ketika meja piket belum dihuni manusia, bahkan ketika ruang guru belum dibuka. Biasanya aku selalu menjadi orang pertama di kelasku.

Bangunan kelas sebelas berada di tengah kawasan sekolah. Tidak sejauh kelas dua belas yang berada diujung yang berlawanan dengan gerbang sekolah dan tempat parkir. Tidak sedekat kelas sepuluh yang tepat di depan lapangan sekolah. Perpustakaan, ruang guru, dan mushola terletak di tengah-tengah. Aula dan lapangan basket berada di paling ujung, di daerah kelas dua belas.

Antara ruang guru dan kelas sebelas ada satu lapangan lagi yang lebih kecil. Hanya ada barisan pohon-pohon yang rindang membuat daerah sekitar situ menjadi tempat favorite nongkrong anak-anak. Beberapa fasilitas laboratorium tersebar di beberapa tempat merata. Kami punya dua kantin. Kantin atas dan kantin bawah. Dinamakan demikian karena lahan tanah sekolah kami yang tidak rata. Kelas bawah ada di bawah, sementara datarannya makin meninggi (seperti membukit) di kelas dua belas. Dari kelas sebelas, kedua kantin berjarak sama jauhnya dari kelas kami.

Karena tidak ingin naik ke kelasku, aku memilih menunggu di kantin. Parkiran mobil tersembunyi di dekat kantin bawah. Ada gerbang yang menghubungkan kantin dan parkiran mobil tapi biasanya gerbang itu tertutup agar semua orang masuk melewati meja piket. Tapi aku masih bisa melihat parkiran mobil dari tempat itu. Mobil Pak Sadewa sudah nangkring di sana. Satu-satunya mobil di sana.

Aku mengeluarkan hp, berniat mengantar bekal yang sudah kusiapkan.

Boyfie <3

Pagi!! 06.38

Sudah datang? 06.40

Sudah. Di lab komputer ya. 06.41

Okay, otw. 06.41

Kalau laboratorium Komputer, ruangannya dekat dengan Aula dan lapangan basket. Di ujung atas. Jarang orang datang ke sana karena memang Aula hanya digunakan untuk acara-acara besar saja.

Aku melewati perpustakaan yang sudah buka, sempat membungkuk badan menyapa Pak Aris yang sudah berjagatugas di sana. Aku belum pernah memasuki perpustakaan lagi setelah kejadian terakhir kali aku ke sana.

Begitu sampai di sana, seperti yang kuduga pintu laboratorium tertutup. Pak Sadewa tidak terlihat di mana-mana. Mungkin di Aula. Harusnya untuk beberapa hari ke depan Aula akan sering digunakan. Baru saja aku hendak menelepon, lenganku di tarik oleh seseorang. Rupanya beliau menunggu di belakang bangunan itu.

Ia membuka pintu belakang dan masuk ke dalam. Awalnya kupikir ruangan di dalamnya adalah ruangan komputer, rupanya ada gudang kecil tempat barang-barang olahraga ditaruh seperti meja tenis meja, net bola voli, net bulutangkis, bahkan ada matras dan beberapa kerucut lalu lintas.

"Tidak dikunci?"

"Jarang dikunci, banyak yang suka tiba-tiba minjam barang sih." Mungkin karena aku baru naik kelas beberapa bulan yang lalu, jadi aku tidak familiar dengan daerah atas.

Aku mengulurkan tas tenteng kecil berisi kotak makan dan botol minum. "Semoga suka," harapku, takut masakanku mengecewakan.

Pak Sadewa meraih tas itu, melihat isinya sekilas. "Sudah bawa minum sendiri, kok."

"Nggak apa-apa, bapak kan minumnya banyak."

"Terima kasih," halus banget suaranya, seolah beliau ingin menunjukkan bahwa ia benar-benar menghargai usahaku.

Aku memperhatikan wajahnya yang sumringah, sedang memeriksa isi makanannya. Perasaan hatinya kentara lebih ringan dibanding wajah-wajah yang selalu kulihat di akhir sekolah. Pak Sadewa sepertinya keramas tadi pagi. Rambutnya masih basah, wangi tubuhnya masih semerbak memenuhi ruangan gelap ini, raut mukanya segar penuh energi. Aku baru kali ini mendapat kesempatan berdiri dengan jarak dekat di pagi hari. Coba dari dulu aku memanfaatkan waktu pagi untuk bertemu dengannya. Pasti semangatku membara terus setiap pagi.

Distorsi Kuasa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang