Aku terbangun saat alarm handphone ku berbunyi di jam satu malam. Aku sengaja menyetel alarm di tengah malam karena malam ini juga aku harus pergi dari sini. Sudah aku katakan bahwa aku akan berhenti menjadi beban keluargaku!
Dengan langkah malas aku mengambil koper yang sudah berisi barang-barang penting. Keputusanku ini sudah aku pikirkan, memang inilah yang harus aku lakukan. Tidak ada gunanya juga aku terus ada di sini, hanya menjadi beban saja.
Aku mengambil tasku, memasukkan handphone dan tidak lupa mengambil kunci mobil, lalu menyeret koperku meninggalkan kamar. Dengan langkah yang sangat pelan, aku menuruni tangga, aku harap mereka sudah terlelap tidur.
Suasana sepi, tidak ada orang di ruang tamu yang menandakan bahwa orang-orang sudah masuk kamar masing-masing.
Aku keluar dari rumah itu, sebelum benar-benar meninggalkannya, aku menatap rumahku dari luar. Entahlah, apakah aku akan kembali ke sini nantinya. Yang ingin aku lakukan saat ini adalah menjauhi mereka, menenangkan diri karena ucapan Mama yang sangat menusuk jantungku.
"Maafkan aku, aku harus pergi," lirihku.
Aku memasukan koper kedalam mobil, setelah itu baru aku masuk ke mobil dan kemudian pergi meninggalkan halaman rumah.
Aku tidak akan pergi jauh, tidak! Aku tetap ada di kota ini, aku hanya ingin pergi dari rumah itu saja, mana bisa aku meninggalkan kota ini. Aku belum siap menghadapi lingkungan baru di tempat baru.
Suasana jalanan sudah sepi, mobilku melaju sendirian di jalanan. Beberapa toko-toko masih ada yang buka.
Hampir dua puluh menit diperjalanan, aku sampai di apartemen tempat Emma tinggal. Aku memutuskan untuk tinggal di apartemen Emma untuk beberapa hari, dia pun tidak merasa keberatan karena dia hanya tinggal sendirian.
Aku keluar dari mobil sambil menarik koperku menuju lantai dua belas, tempat Emma tinggal.
Sampai di dalam, aku memasuki lift agar cepat sampai ke atas. Tidak lama kemudian pintu lift terbuka, aku langsung menuju tempat Emma. Suasana sangat sepi, bagaimana tidak sepi, jam sudah menunjukkan setengah dua dini hari.
Ting
Aku menekan bel. Dia belum tidur karena sebelumnya aku sudah memberitahunya bahwa aku akan datang pukul satu malam.
"Ternyata kamu beneran datang. Aku kira kamu bercanda," ucapnya sambil mengucek matanya.
Aku memasuki apartemennya. "Makasih ya, Em. Aku tidak kepikiran menghubungi siapa-siapa selain kamu."
Emma langsung memelukku. "Aku sahabat kamu, El. Dalam kondisi apapun jika kamu membutuhkan bantuan ku pasti aku bantu. Aku malah merasa senang, aku dipercayai untuk memberi bantuan. Dah, sekarang kamu istirahat dan tidur. Aku mau dengar cerita kamu lebih banyak, tapi besok." Emma melepaskan pelukannya.
"Sekali lagi terima kasih ya, Em."
Emma tersenyum lalu menunjukan kamar kosong untukku. Syukurnya ada lebih dari satu kamar yang ada di apartemen ini. Ini bukan apartemen biasa, apartemen Emma lumayan luas, karena ia juga berasal dari yang berada.
"Sekarang tidur dan istirahat. Kalau mau minum, perut lapar di dapur ada cemilan dan minuman."
"Iya, Em." Emma menutup pintu kamarku.
Aku meletakkan handphone ku di atas nakas setelah itu baru aku membaringkan tubuhku di atas kasur. Mataku menatap langit-langit kamar, pikiranku melayang memikirkan apa yang harus aku lakukan kedepannya.
***
Aku terbangun dari tidurku saat merasakan cahaya matahari masuk melalui celah-celah jendela. Pagi ini aku terbangun di tempat yang berbeda, bukan di kamarku. Aku baru ingat, saat ini aku berada di apartemen Emma. Lagi dan lagi, aku teringat kejadian kemarin, ah ... setiap mengingatnya dadaku sakit.
Tok ... tok...
"El, kamu sudah bangun?"
"Iya."
Emma membuka pintu kamarku. "Syukurlah, padahal sudah ketiga kalinya aku mengetuk pintu kamar kamu tapi gak ada jawaban. Aku khawatir, khawatir kamu gak bangun-bangun lagi."
"Meninggoy dong? Aku tidur nyenyak banget, mungkin karena malam tadi tidur lambat. Kamu kerja?"
"Iya, makanya aku sudah rapi. Oh iya, sarapan sudah aku sediakan, nanti dimakan ya."
"Maaf ya Em, aku jadi merepotkan kamu."
"Jangan berpikiran seperti itu, El! Kamu tidak sama sekali merepotkan, kamu itu sudah seperti saudaraku sendiri. Seperti sama orang lain aja kamu ini. Aku mau kerja dulu, baik-baik di sini, jangan melakukan hal yang buruk! Kontrol emosi kamu, kamu harus tetap tenang dan sabar."
"Iya, Em."
"Ya udah, aku pergi dulu. Jangan lupa makan!"
Sepeninggal Emma, aku teringat Mama. Entah bagaimana respon mereka saat tahu aku sudah tidak ada di rumah lagi. Aku bukan ingin mencari perhatian pada siapapun, yang aku lakukan saat ini adalah demi kebaikan diriku sendiri.
Aku mengambil handphoneku dan menghidupkannya. Sengaja aku matikan agar tidak menggangu tidurku dan sekarang aku harus mengaktifkan karena takut jika ada menghubungi ku untuk panggilan kerja. Semua orang ingin sukses, hanya saja jalan yang ditempuh berbeda-beda.
Aku sudah pernah bekerja namun, tidak berjodoh lama dengan pekerjaan itu membuatku akhirnya berhenti dan nganggur sampai sekarang.
Untuk sementara, nomor seluruh keluargaku aku blokir, aku tidak ingin mereka menghubungi ku.
"Oh ... mampukah aku tanpa mereka? Kamu sudah besar El! Belajar mandiri, jangan jadi beban lagi!" ucapku pada diriku sendiri.
Aku beranjak meninggalkan kasur. Sebelum ke kamar mandi, aku mengambil pakaian ganti terlebih dahulu di koper. Entah sampai kapan aku akan ada di sini, yang pasti tempat Emma ini adalah pilihan terbaik.
Lanjut?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Love Journey (End✓)
RomansaRomantis+Comedy Cinta, keluarga, sahabat . . Setelah ditinggal nikah oleh mantan tunangan ku, aku kembali terluka karena kehilangan, kehilangan kali ini sangat-sangat membuatku sedih, ditinggal pergi untuk selama-lamanya oleh sosok pria yang sudah...