Malem Minggu

1K 43 2
                                    

Aku tepuk jidat, si bocil gak sehati banget, sih! Menyebalkan! Awas aja kamu ya, Cil! Bocil malah mengulurkan tangan dengan ekspresi santai bin tengil. Nela menyambut uluran. Mereka kini berjabat tangan.

"Saya Dafa, suaminya ...." Bocil menunjukku dengan gerakan wajahnya. Asli sih, pasti sekarang wajahku bagai kepiting rebus. Malu banget. Nela bergeming menatapku dan si bocil secara bergantian. Dia sepertinya tak percaya dengan apa yang barusan didengar dan dilihatnya.

"Se-seriusan Sa, ini suamimu?" Sorot mata Nela membidikku meminta penjelasan. Aku melirik kesal ke arah si bocil. Kemudian beralih menatap Nela, nyengir, detik berikutnya terpaksa mengangguk membenarkan.

"Kapan kalian nikahnya? Kok gak ngundang, sih?" Aku nyengir, garuk tengkuk. Salah tingkah.

"Sudah hampir 2 bulan." Si bocil jawab dengan gaya santainya. Gak tahu apa kalau di sini bininya nahan malu luar biasa. Ugh!

"Wah, selamat ya, semoga langgeng dan cepat diberi momongan." Nela malah mendoakan. Aku bergeming sesaat. Lantas mengangguk samar. Bocil mengamini dengan lantang. Sial! Nela tarik napas, aku yakin dia akan mengorek info lebih soal pernikahan kami demi memuaskan rasa penasarannya. Untungnya ada seseorang yang memanggilnya dari kejauhan. Seorang pria melambai pada Nela memintanya agar ke sana.

Aku menghela napas lega saat Nela pamit undur diri. Huf, aman dari pertanyaan mematikan. Aku menekan dada yang di dalamnya jantungku berdebar tak keruan.

Bocil berdiri di hadapan, menatapku dengan tatapan kesal. Dia melipat tangan di dada.

"Apa itu tadi?"

Dahiku mengernyit tak paham. "Apa? Yang mana?"

"Itu tadi?!" Dia sok galak.

"Temen kuliahku dulu, namanya Nela Kharisma. Kenapa? Kamu naksir sama dia?"

Kudengar bocil menghela napas kasar, mengusap wajahnya dengan gusar. "Bukan itu!" sungutnya, "Kenapa tadi gak mau ngakuin aku sebagai suamimu, di depan temanmu tadi? Kenapa, Mbak?"

"Eum ...."

"Emang aku se-memalukan itu apa?" selanya.

"Bukan gitu, Cil. Ak-aku cuma ... cuma ...."

"Hei, broo Dafa!" seru seorang bocah lelaki seumuran dengan si bocil. Kurasa itu teman sepermainannya si bocil. Bocah itu mendekat bersama beberapa temannya yang lain, kemudian salaman ala kids jaman now dengan si bocil.

Kini gantian aku yang diam menyimak di sebelahnya si bocil. Dia sedang asyik bercengkerama dengan temannya itu. Bersedekap menunggunya selesai berbincang. Berasa jadi penjaga parkiran di sini terus dari tadi.

"Oya, elo ke mana aja, Brooo? Lama banget gak pernah nongkrong di sini lagi? Sibuk? Kerja atau kuliah lo sekarang?"

"Gue kerja. Gue udah nikah," jawab si bocil dengan ekspresi bangga. Aku tepuk jidat. Perlahan mau melarikan diri masuk duluan ke dalam restoran, tapi tanganku dicekal. Bociiil!

"Kenalin, ini bini gua, Safa!" ujarnya dengan bangga. Asli, gak ngerti lagi sama jalan pikiran ini bocil? Gak ada malu-malunya ngakuin aku sebagai istrinya? Padahal, aku ini perempuan 9 tahun lebih tua darinya. Dia masih  19 tahun. Sedangkan aku? Malu nyebutinnya. Udahlah ya, gak usah dipertegas berapa umurku.

Semua teman si bocil tampak tak percaya. Salah satu dari mereka menunjukku. "I-istri lo, Daf?" tanyanya sekali lagi memastikan mungkin.

"Iya, istri gue!" jelas si bocil penuh penegasan.

Teman si bocil saling pandang. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Yang jelas, wajah mereka tampak kebingungan dan keheranan.

"Elo terinspirasi dari artis Rafi Ahmad, ya, Daf?" celetuk salah satu dari mereka.

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang