Gak Yakin

817 73 10
                                    

"Sebenarnya bagaimana kronologinya?" tanya Bu Laila, "Kenapa Eza bisa sampai berbuat seperti itu padamu?"

Lantas kujelaskan sedetil-detilnya tentang awal mula aku kenal dengan Eza. Hingga sampai pada tragedi seminggu lalu. Kemudian juga saat di kantor aku memohon padanya. Juga soal rekaman CCTV yang dihapus. Kudengar Pak Broto menghela napas panjang. Bu Laila menggeleng tak percaya.

Mereka berdua kembali terdiam. Suasana di kamar bernuansa putih ini menjadi hening. Aku diam memainkan jari, deg-degan menunggu keputusan Pak Broto. Kira-kira dia percaya padaku dan mau membantu atau malah sebaliknya?

Lagi, Pak Broto menghela napas panjang. Menggeleng, kemudian menatapku. "Baiklah, nanti saya coba bicara sama Eza, ya."

Aku bernapas lega. Aku pikir mereka berdua bakal marah dan tidak percaya dengan apa yang aku ungkapkan. Ternyata mereka orang baik dan bijaksana. Kurasa datang ke sini adalah keputusan yang tepat. Semoga saja masalah ini segera mendapat jalan keluar. Aku sudah sangat rindu dengan kejahilan si Bocil.

"Kalau memang Eza berbuat demikian, saya akan menindak tegas. Kamu tidak perlu khawatir ya, Safa. Saya akan berusaha bantu," lanjut Pak Broto. Air mata bahagia lolos begitu saja. Bu Laila mendekat dan mengusap bahu ini lembut. Menguatkan.

Aku seperti melihat secercah cahaya harapan. Laksana orang yang berdiri si tengah lorong nan gelap. Lalu melihat cahaya di ujungnya.

Kuusap sisa air mata. Tak lupa aku ucapkan terima kasih atas kebaikan mereka berdua. Lantas pamit pulang karena malam sudah sangat larut.

"Kamu pulangnya bagaimana?" tanya Bu Laila.

"Bisa pesan taksi online, kok, Bu."

"Sudah jam sebelas malam lebih, loh. Gini aja deh, kamu biar diantar sopir, ya." Aku terperangah mendengar tawaran Bu Laila.

"Bener tuh, apa yang Ibu bilang. Udah biar diantar sopir saja. Itung-itung sebagai bentuk permintaan maaf kami atas perbuatan Eza. Jadi, biarkan kami menebusnya sedikit dengan cara ini, ya?" cerocos Pak Broto.

"Sudah. Ayo, saya antar ke depan!" Bu Laila merangkul bahu ini. Aku kian kikuk. Sampai di depan, Bu Laila memerintah sopirnya yang kebetulan sedang stay dan sedang berbincang di pos satpam.

Seorang pria yang dipanggil 'Pak Muji' itu langsung mendekat dan patuh. Ia lantas mengeluarkan mobil dari garasi. Menungguku di dekat gerbang.

"Sudah, sana masuk mobil!" titah Bu Laila.

"Eum, maaf ya, Bu. Saya malah jadi merepotkan begini."

"Ck, gak repot kok. Lagian kan, yang nganter kamu sopir. Bukan saya," bisiknya. Kami lanjut tertawa.

"Ya sudah, kalau begitu saya pamit. Terima kasih atas tumpangannya juga jamuannya."

"Iya. Hati-hati!" Aku mengangguk, detik kemudian berjalan mendekati mobil dan masuk. Sopir pun melajukan mobilnya.

******

Sepulang kerja, aku tertegun sejenak di depan pagar. Meneleng melihat ke arah pintu rumah yang terbuka. Dahiku mengernyit mencoba mengingat. Apa tadi pagi aku lupa mengunci pintu? Sepertinya tidak lupa, tapi kenapa sekarang pintunya terbuka?

Aku melangkah perlahan melewati halaman depan, dengan perasaan was-was. Apa jangan-jangan ada maling? Aku celingukan mencari barang untuk pelindung diri. Kebetulan di samping rumah ada sekop. Aku ambil dan aku acungkan ke atas siap memukul lawan.

Aku melangkah perlahan memasuki rumah, mata bergerak liar. Waspada. Jantung berdebar-debar takut. Mau napas pun rasanya takut.

Ruang tamu berhasil aku lewati. Kini mataku memonitor ruang tengah. Tidak ada orang. Aku meneleng menajamkan pendengaran. Di arah dapur aku mendengar ada pergerakan di sana.

Kuhela napas perlahan. Sekop kupegang erat-erat dan kuacungkan ke udara. Siap tempur. Kuayunkan langkah sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara. Sepertinya fiks, ada maling ini.

Sampai di pintu penghubung antara ruang makan dan dapur, aku bersembunyi di sisi sebelah pintu. Melongokkan kepala perlahan.  Aku melihat ada punggung seorang pria. Gegas aku bersembunyi lagi di sisi pintu. Fiks, kayaknya dia maling.

Sekali lagi, aku mengintip lalu kembali ke persembunyian. Sebentar, kok, postur tubuh dan gaya rambutnya kayak gak asing, ya?  Sekali lagi aku pastikan penglihatanku degan berdiri di ambang pintu.

Mulutku menganga tak percaya. Benar itu dia. Seketika sekop yang aku pegang jatuh dan menimbulkan suara gaduh.

"Ayaaam!" jeritnya kaget dan langsung pasang kuda-kuda menghadapku. Aku terlonjak kaget juga oleh refleknya.

Dia merubah posisinya menjadi berdiri. Kami saling pandang tersekat jarak. Aku melangkah perlahan mendekatinya yang terpaku, mataku terus tertuju padanya. Kubingkai wajahnya, serasa masih tak percaya.

"I-i-ini beneran kamu?!"

'Triiiiiing!'

Aku terlonjak kaget, dan langsung dalam posisi duduk. Loh, kok aku di kamar? Bukannya tadi di dapur bersama si Bocil, ya?

"Ciiil!" Aku berlari memeriksa setiap penjuru ruang. Bocil tidak ada. Melihat jam, argh, rupanya jam 5 pagi. Berarti tadi itu cuma mimpi. Badanku merosot lemas ke lantai. Terduduk di depan pintu kamar si Bocil.

Aku kangen, Cil. Sudah lima hari berlalu sejak aku menemui Pak Broto dan meminta bantuannya kala itu, tapi sampai kini belum ada kabar soal perkembangan kasus yang menimpa si Bocil. Entah, sudah sejauh mana pergerakan Pak Broto dalam membantuku. Aku merasa sungkan kalau harus terus menerus bertanya.

Aku menoleh lesu ke arah pintu depan saat kudengar ada yang mengetuk dan mengucap salam. Siapa sih, pagi-pagi begini bertamu? Gak tahu apa orang lagi mager. Rasanya badan lemas sekali saat akan berdiri. Kaki terasa berat saat dilangkahkan ke pintu depan.

"Ya, cari siapa, Pak?" tanyaku kepada seorang pria yang berdiri di hadapan dengan helm full face menutupi wajahnya.

"Ini ada paket untuk, Mbak." Oh, kurir rupanya.

"Hah?! Paket? Saya tidak memesan barang apa pun, Pak. Mungkin Anda salah kirim."

"Mbak namanya Safa, bukan?"

"Iya benar."

"Berarti benar ini paket memang untuk Mbak."

Agak bingung. Mana kesadaran belum kembali sepenuhnya usai memimpikan bocil pulang tadi. Lalu sekarang mendadak dapat kiriman. Aku meraih barang itu.

"Silakan dibuka, Mbak!" titahnya membuat dahiku mengernyit.

"Dibuka? Sekarang?"

"Iya, Mbak, untuk memastikan barang itu rusak atau tidak. Lalu nanti biar saya foto untuk bukti."

Agak merasa aneh, tapi aku nurut saja. Saat box itu berhasil terbuka, ternyata isinya kue tart dan di atasnya ada tulisan 'selamat ulang tahun istriku, Sayang' sontak matak mengarah ke pria di hadapan. Kubuka kaca penutup wajahnya.

"Bociiiil!" teriakku tak percaya. Dia menaik-turunkan alisnya,  tersenyum menampakkan deretan giginya, mengedipkan sebelah matanya. Sebentar, jangan-jangan ini masih suasana mimpi?

"Coba cubit aku!" titahku sambil mengulurkan lenganku ke hadapannya. Dia malah meraih box kue di tanganku dan meletakkannya di meja teras. Pun dengan helmnya, ia lepas dan ditaruh di atas meja. Aku masih terpaku menatapnya tanpa berkedip. Takut kalau aku berkedip dia hilang. Detik kemudian mendekat lagi, dan memelukku erat.

"Aku masih gak percaya. Kamu beneran udah pulang, Cil? Aku gak lagi mimpi, kan?" tanyaku masih dalam dekapannya. Dia merenggangkan pelukannya lalu mengecup kening dan kedua pipi ini. Bibirnya terasa nyata hangat dan lembutnya.

"Aku beneran udah pulang, Mbak!" serunya sambil membingkai wajah ini. Aku masih terbengong menatapnya tak percaya.

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang