Kapal Oleng

1.1K 78 15
                                    


Aku menatap prihatin tubuhku yang terbalut lingerie super seksi di pantulan cermin. Nggak nyaman banget, tapi demi membahagiakan suami aku kesampingkan rasa risih. Kupoles wajah dengan make-up tipis-tipis, kemudian hapus, poles lagi, hapus lagi entah sudah berapa kali.

Aku mendesah kesal dengan diriku sendiri yang mendadak salah tingkah begini. Kututup semua peralatan make-up. Menyisir rambut, menyemprotkan parfum ke badan. Berputar di depan cermin. Mendadak insecure. Gugup, dan entah perasaan apa lagi ini yang mendominasi hati.

Saat hendel pintu diputar oleh seseorang dari luar, aku cepat-cepat melompat ke atas kasur dan bersembunyi di balik selimut. Dia melangkah mendekat, dan berdiri di samping ranjang. Memastikan aku sudah tidur apa belum sepertinya.

"Yaaah," desah Miku, "Udah tidur, ya?" lanjutnya sambil mengusap pucuk kepala ini lembut. Aku pura-pura merem sambil menahan jantung yang berdebar-debar.

"Alamat gagal lagi ini belah durennya," lirihnya lesu. Kemudian menghela napas panjang. Kurasakan dia mengecup kening ini lembut dan hangat. Selepas itu ia pergi ke dalam kamar mandi. Tak berapa lama dia keluar lagi, aku pura-pura merem lagi. Gak tahu harus bagaimana menghadapinya dengan pakaian ini.

Kudengar dia menghela napas kasar lagi, lalu menempati ruang kosong di sebelah. Tidur dengan posisi memunggungi. Kasihan dia, tapi aku juga gak tahu harus bagaimana? Bingung dan panik rasanya.

Detik terus berlalu berganti menit, aku masih pada posisi semula, pun dia masih memunggungi. Sudah tak ada pergerakan dari dia. Mungkin sudah tidur. Saking gugupnya, mendadak kebelet pipis. Perlahan aku bangun dan pergi ke kamar mandi.

Mataku membulat saat membuka pintu kamar mandi hendak keluar usai buang hajat dan mendapati dia sudah berdiri melipat tangan di dada di depan pintu. Aku terpaku, dia mengedikkan alis. Detik kemudian pandangan matanya menguliti dari atas kepala hingga kaki. Aku kesusahan menelan ludah. Lingerie ini membuatku malu kuadrat.

"Kamu cantik malam ini," pujinya. Sorot matanya sayu. Aku tersipu dan jantung makin berdebar. Terlebih saat dia semakin mendekat. Tangannya mengulur, menyelipkan rambut yang tergerai menutupi wajah ke belakang telinga. Dibelainya pipi ini lembut. Saat dia siap menyergap bibir ini, aku menghindar berlari ke sisi ranjang.

Tanganku dicekal dan ditariknya kuat-kuat sehingga tubuhku terperangkap ke dalam rengkuhannya. Mataku terpejam saat bibirnya menempel di kening ini, lalu semakin turun dan berhenti di bibir ini.

Penyatuan bibir kami terlepas saat aku kehilangan keseimbangan dan jatuh terbaring ke atas ranjang. Disibaknya rambut yang menutupi wajah. Aku tak diberi kesempatan untuk beralasan lagi. Bibir ini langsung dibungkam lagi. Lidahnya menerobos masuk menyusuri rongga mulut dan bergulat liar dengan lidahku. Serangan demi serangan ia lancarkan secara brutal. Aku hanya bisa pasrah menikmati gelenyar hangat yang menjalari tubuh.

Deru napas kami bersahutan menggema ke setiap penjuru kamar bernuansa ungu ini. Mataku terpejam menikmati cumbuannya yang kian membabi-buta. Status istri tapi perawan kini telah tanggal. Malam ini kami telah menjadi suami istri sesungguhnya.

******

Malam yang indah telah berlalu. Menyisakan rasa ngilu di bagian bawah sana. Juga rasa pegal pada seluruh badan. Aku menoleh ke sebelah, dia masih terlelap di balik selimut. Tak lama ia melenguh miring menghadap kemari dan memeluk.

"Ih, udah pagi juga. Mau bangun, awas tangannya." Dia malah mengeratkan pelukan, kakinya juga mengunci paha sehingga menimbulkan sensasi hangat. Aku tak bisa berkutik.

"Lanjut yuk!" bisiknya. Aku menggeleng menolak.

"Ayolaaah!"

"Enggak mau! Sisa semalem aja masih nyeri."

"Nyeri apa nyeriii?" Kucubit perutnya yang tidak terbalut baju, dia mendesah genit. Aku melotot, dan langsung membekap mulutnya agar tidak semakin jadi.

"Jangan gitu, ih! Malu kalau ada yang denger!" omelku lanjut manyun.

"Siapa yang mau dengerin? Palingan si Ali juga masih ngorok. Yang lain paling pada sibuk."

"Ya, siapa ta ... aph!" Ucapanku terjeda oleh morning kiss yang lembut dan hangat.

*****

"Widiiih, laki bini kompak amat," celetuk Ali saat kami akan sarapan. Aku dan bocil urung menarik kursi kemudian saling pandang sejenak.

"Kompak apaan?" tanya si Bocil mewakili.

"Kompak pada keramassssh!" goda Ali. Aku dan dia saling lirik, mengulum bibir menahan senyum. Aku tersipu, suamiku berdehem salah tingkah.

"Tapi ingaaat, jangan keseringan keramas!" larang Ali.

"Kenapa?" tanya suamiku.

"Pemborosan sampo! Inget, kita ini lagi di Pulau terpencil. Jauh dari Indomei! Paham!" papar Ali. Aku mengulum bibir.

"Pelit amat sih, lu! Ama temen aja peritungan!" sungut suamiku. Mereka pun adu mulut. Aku menghentikan ocehan mereka dan mengajaknya makan.

Usai sarapan, kami bersiap hendak melanjutkan acara mancing yang kemarin sempat terjeda. Kali ini Ali mengajak mancing ke lautan lepas. Menggunakan kapal kecil yang biasa digunakan Pak Rusman untuk berlayar dengan istrinya ketika bosan di pulau.

*****

"Kita mau mancing di sebelah mana, sih, Li?" tanya lelakiku. Saat kami sudah berada dalam perjalanan hendak mancing.

"Tuh, di sana." Ali menunjuk, "Di deket pulau itu."

"Kenapa harus di sana? Emang di sini aja gak bisa apa?" tanyaku penasaran.

"Di sana itu tempat ikan-ikan berkumpul. Soalnya di bawahnya itu terumbu karangnya bagus. Jadi banyak ikannya. Di situ tempat biasanya aku sama Pak Rusman mancing," papar Ali. Aku dan si Bocil kompak mengangguk-angguk.

"Sayang ya, Pak Rusman gak bisa ikutan karena istrinya lagi kumat vertigonya," ujar suamiku. Ali menyahuti dengan gumaman. Kami pergi memancing berenam. Selain aku, Ali dan bocil, ada beberapa kru kapal yang ikutan. Salah satunya yang menahkodai kapal.

"Eh-eh, loh, kenapa ini, Bang?" tanya Ali pada nahkoda. Saat kapal tiba-tiba lajunya tersendat-sendat. Lantas berhenti total.

"Waduh, mesinnya bermasalah ini kayaknya," papar nahkoda. Semua mendesah kesal.

"Terus gimana dong?" sahutku takut. Pasalnya kami kini masih berada di tengah lautan. Airnya biru kehitaman. Tampaknya sangat dalam. Sedangkan letak pulau yang tadi ditunjuk oleh Ali masih agak jauh. Mungkin kisaran seratus meter lagi di depan.

Ketiga orang yang memang hafal dengan seluk beluk mesin kapal mencoba memeriksa. Sedang aku, Ali dan suami memilih berfoto. Aku menjerit histeris saat kapal mendadak oleng. Miku langsung memeluk tubuhku yang nyaris ambruk.

Beberapa kali kapal oleng. Seperti ada yang menyundul dari dalam air. Ali berteriak kepada kru dan menanyakan kapalnya kenapa.

Semua pun memastikan melihat ada apa di bawah kapal sana. Ternyata ada dua ekor hiu dengan ukuran yang sangat besar sedang jahil. Kalau disatukan ukuran mereka jauh lebih besar dari kapal ini.

"Aku takut," rengekku saat kedua hiu itu kian brutal. Kapal pun terombang-ambing. Oleng ke kiri dan kanan. Bahkan beberapa kali seolah nyaris terbalik. Aku, Ali dan suami saling berpegangan. Kami berteriak-teriak sekehendak hati.

"Jangan panik. Tetap tenang, ya!" seru salah satu kru kapal, tapi meski begitu, raut wajahnya sama menyiratkan kecemasan. Mereka yang katanya terbiasa berlayar saja teriak-teriak saat kapal oleng akibat sundulan hiu gabut itu.

Aku pikir bakal seru, mancing sambil bermesraan dengan bocil. Sambil menikmati view lautan nan biru, juga sepoi anginnya yang menenangkan. Gak tahu kalau situasinya malah bakal menegangkan seperti ini.

"Aaaaaak!" jeritku saat hiu semakin tak terkendali. Aku memeluk lelakiku erat. Memejamkan mata sambil merapal doa. Air mataku menetes. Pikiran akan kemungkinan terburuk mulai menghantui. Akankah kami berakhir tragis di sini?











SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang