Lega

735 62 7
                                    


Aku terkesiap saat Eza menarik bahu ini agar menghadapnya. Kudorong dia yang semakin mendekatkan wajahnya. Aku berlari ke dalam toilet dan mengunci pintu.

Dia akhirnya berhasil mendobrak pintunya, lantas menarikku keluar. Aku berusaha berontak, tapi kalah kuat. Dia membopong tubuhku, aku terus berontak sambil terus berteriak meminta tolong. Berharap ada yang mendengar teriakku.

"Berteriaklah, Sa. Tapi, kayaknya percuma deh, gak bakal ada yang denger! Percaya, deh! Jadi, mending hemat itu tenagamu buat melayaniku."

"Cih! Najis!"

Dia menidurkan aku di sofa ruang tamu kantor. Gegas aku bangkit, dan mendorongnya lalu berlari keluar membawa kunci yang berhasil aku sahut dari dalam kantong celana Eza. Eza langsung mengejar menarik bajuku hingga robek di bagian lengan sebelah kiri.

Kutendang di bagian vitalnya. Dia terhuyung ke belakang. Gegas aku berlari keluar setelah pintu berhasil terbuka. Langkahku melambat, lalu mematung memandangi seorang pria yang berdiri di depan gerbang. Benarkah itu dia?  Dia baik-baik saja? Dia masih hidup.

Gegas aku berlari mendekati gerbang. Sial! Ternyata gerbangnya juga dikunci.

"Hei, Mbak kenapa nangis?" tanyanya dari depan gerbang. Aku mendadak gagap. Eza keluar memanggilku.

Eza terbahak. "Kamu gak akan bisa lari, Sa, dan dia!" Telunjuknya mengarah ke Bocil, "Gak akan bisa berbuat apa-apa." Tawanya pecah lagi. Kemudian menarik lenganku dengan paksa kembali memasuki kantor.

"Bociiil! Tolongin aku!"

"Woi! Jangan kurang-ajar sama istri orang, ya!" teriak si Bocil. Dia tampak kebingungan mencari jalan masuk.

Kini aku tak lagi dapat melihat si Bocil. Eza kembali membawaku ke ruang tamu kantor. Dia mengunci ruangan ini, dan membuatku terpojok. Aku menangis mengiba dan memohon, tapi tak didengarnya. Dia tetap dengan beringas menarik bajuku hingga robek lagi di bagian lengan sebelah kanan. Dia seperti orang kesetanan.

Aku terus mengeles saat dia mencoba mencumbu. Aksinya terhenti oleh suara dobrakan pintu. Tak lama pintu benar-benar terbuka. Bocil berdiri di ambang pintu sana.  Sorot matanya penuh keberanian dan amarah.

Tanpa ba-bi-bu dia langsung menyerang Eza tanpa ampun. Keduanya terlibat duel sengit. Bocil terlihat sudah lemas nyaris kalah. Aku gak boleh diem. Harus melakukan sesuatu. Tapi, apa? Kulihat di sudut ruangan ada guci yang lumayan besar. Kupukulkan guci itu ke tengkuk Eza hingga dia terkapar tak berdaya.

Bocil menarik lenganku lari keluar kantor. Kupeluk dia setelah berada di luar gerbang. Aku terisak dalam dekapannya. Napasnya terengah, tangannya mengusap kepala ini lembut. Kemudian dia melepaskan pelukannya.

"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanyanya, sambil memeriksa tubuh ini, membingkai wajah ini dan mengusap air mata yang mengalir di pipi. Aku menggeleng.

"Kamu sendiri? Gak apa-apa?"

"Aman. Ya udah, kita pergi dari sini, ya?" Aku mengangguk.

"Tapi, bagaimana kalau Eza lewat?"

"Enggak. Dia masih hidup, kok."

"Kamu, yakin, Cil?" Dia mengangguk.

Saat aku sudah naik ke atas motor, dan menoleh ke teras kantor, kulihat Eza berdiri terhuyung di sana. Aku bernapas lega dia benar masih hidup ternyata, tapi juga takut. Takut kalau Eza bakal memperpanjang masalah ini. Karena yang aku tahu, dia orang yang keras kepala dan tidak mau kalah.

*****

Sampai di rumah, gegas kututup pintu dan aku peluk si Bocil erat. Rasanya bahagia banget ternyata dia baik-baik saja. Tadi ketika Eza bilang sudah menyingkirkannya, aku pikir sudah benar-benar kehilangannya.

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang