Gaji Pertama Bocil

1K 42 3
                                    

Si bocil pulang kerja senyam-senyum. Dia terlihat sangat bahagia. Aku memilih masa bodoh.

"Mbak!"

"Hmmm."

"Mbak!"

"Hmmm."

"Mbak!"

Aku menghela napas kasar lalu menghadap ke tempatnya duduk. "Apa sih, bociiiiil? Bawel banget!"

"Galak bener," dumelnya, "Aku mau ngomong, Mbak."

"Ya, ngomong aja! Kupingku masih waras kok!"

"Kalau suami lagi ngomong itu ... tatap wajahnya. Gini-gini aku ini suamimu loh, Mbak. Hargailah, dikiiiit aja. Gak banyak juga gak papa kok."

Lagi, kuhela napas kasar. Merangsek mendekat lantas kutatap lekat wajahnya dari jarak yang sangat dekat. Aku bahkan bisa merasakan embus napasnya yang hangat menerpa wajah ini. Bukan hanya itu, aku juga bisa mendengar detak jantungnya yang tak beraturan. Dia terdiam, bergeming beberapa saat. Mata kami bertemu.

"Ayo, ngomong! Katanya mau ngomong!" sentakku.

"I-iya, tapi jangan gitu banget dong, Mbak, natapnya."

"Tadi katanya minta ditatap?!"

"I-iya, cuma jangan deket banget gini, aku kan, jadi grogi, Mbak. Lagian natapnya itu yang penuh cinta gitu loh, jangan mendelik kayak Suzana gitu. Ngeri aku, Mbak. Sumpah!"

"Ngeri apa deg-degaaaan?" godaku dengan nada mendesah, tak lupa kunaik-turunkan alis ini.

Dia menelan ludah, kemudian nyengir. "Dua-duanya, Mbak. Jantungku ini emang selalu berdebar lebih cepet dari biasanya kalau deket-deket sama kamu, Mbak. Karena memang kamulah, cinta pertama dan terakhirku, Mbak."

"Mual tau gak sih, dengernya."

"Mual apa suka, Mbak?"

"Mual!"

"Suka!"

"Mual!"

"Sukaaaa."

Uggggh! Rasanya aku ingin melahapnya.

"Oke, ayo, ngomong!" titahku setelah aku sedikit menjauh darinya. Muak juga kalau lama-lama deket dengannya.

Kini gantian dia yang mendekatkan wajahnya.

"Ngapain deket-deket?"

"Mau nyium, Mbak."

"Gak usah aneh-aneh deh, bociiiil!"

"Kok aneh-aneh sih, Mbak? Kan, kita udah sah jadi suami istri."

"Bociiil, mau ngomong apa enggak?! Kalau enggak ada yang perlu diomongin, aku tinggal ke kamar, nih!"

"Oh, jadi Mbak maunya di kamar aja? Ya udah, ayok! Aku udah siap banget ini, Mbak."

"BOCIIIIIL!"

Dia terkekeh menyebalkan. Dari dulu tidak pernah berubah, selalu saja berhasil membuatku kesal tingkat dewa.

"Iya deh, Mbak, aku ngomong sekarang. Tapi, itu tangannya turunin dulu! Gak boleh loh, berkacak pinggang di depan suami begitu. Gak sopan."

Kini aku melipat tangan di dada. "Udah, ayok ngomong!"

Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop. "Nih, buat Mbak."

Dahiku mengernyit sambil mengambil alih amplop dari tangannya. "Apa nih? Surat cerai?"

"Ya ampun, Mbaaak. Belum juga kikuk-kikuk udah ngarep pisah aja."

"Ish!"

"Itu gaji pertamaku, Mbak."

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang