Syok

277 27 2
                                    

"Kalau memang Mimu mau ke kantor, berangkat aja. Aku nggak apa-apa, kok. Lagian kalau mau ke toilet bisa pegangan tembok. Kalau mau makan juga kan, udah Mimu masakin tinggal makan doang."

Meski suamiku sudah berkata begitu, aku tetap tidak tega meninggalkan dia sendirian. Lagi pula, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk belajar menjadi istri yang lebih baik lagi untuknya. "No! Aku nggak akan ngantor. Aku bakal izin ke Pak Broto untuk cuti sampai kaki kamu bener-bener sembuh."

"Nanti kerjaanmu numpuk gimana? Malah repot sendiri di kemudian hari."

"Biar dihendel sama pegawai yang lain," kekehku.

"Ya udah, kalau emang gitu maunya Mimu." Ada binar bahagia di sorot matanya. Aku tersenyum samar. Kemudian menelepon Pak Broto dan menjelaskan semuanya.

"Oh, iya. Aku juga sudah dengar soal tragedi yang menimpamu, Fa. Tapi, baru tahu ini kalau kaki suamimu kena tembak. Ya udah, kamu cuti saja sampai suamimu sembuh. Tenang saja, soal gajimu dan suamimu tidak akan dipotong, kok," kata Pak Broto panjang lebar.

"Kalau memang harus dipotong nggak apa-apa, kok, Pak. Saya ikhlas," sahutku.

"Tidak akan dipotong. Itu sudah keputusan final dari saya. Itu rezeki dari Tuhan. Saya hanya perantara."

Aku hanya mengangguk-angguk, tak bisa berkata lagi. Speechless sama kebaikan Pak Broto. Rasanya dadaku nyesek. Terharu.

"Iya, Pak. Sekali lagi, terima kasih banyak. Selamat beraktivitas," pungkasku, lantas mematikan sambungan telepon.

"Kenapa? Pak Broto marah, ya?" Bocil terlihat cemas. Mungkin karena dia melihat mataku berkaca-kaca dan suaraku yang parau menahan tangis.

"Eh, kok malah nangis?" Bocil mengusap air mata yang mengalir di pipi, "Ya udah, kalau memang Pak Broto marah, kamu ngantor aja. Aku beneran nggak apa-apa, kok."

Aku menggeleng. "Aku nangis bukan karena dimarahi sama Pak Broto, tapi karena terharu sama kebaikannya. Beliau mengizinkan aku cuti buat ngurus kamu sampek sembuh. Bahkan gaji kita nggak akan dipotong, katanya."

Bocil terdiam beberapa saat. Sepertinya dia juga speechless. "Seriusan?" tanyanya. Memastikan mungkin. Aku mengangguk membenarkan. Lantas kami mengucap syukur secara bersamaan.

"Pak Broto itu baik banget ya, orangnya. Beda banget sama si Meja itu," cibirnya. Aku yang semula menyendokkan nasi untuknya terdiam dan mendelik menatapnya.

"Kenapa? Nggak terima mantannya diomongin?" lanjutnya menyebalkan.

"Udah deh, gosah ngomongin mantan. Ntar ujung-ujungnya pasti jadi nggak enak suasananya. Jangan ngerusak mood aku."

Dia cengengesan. "Iya, deh, maaf. Nggak usah ngomongin mantanmu. Eum, gimana kalau kita sambil sarapan ngomongin mantanku aja?"

Aku berdecak sebal, melipat tangan di dada dan memonyongkan bibir. Dia terkekeh, lantas meminta maaf. Aku pura-pura ngambek meninggalkan ruang makan.

"Mimu mau ke mana? Katanya mau ngerawat aku kayak malika si kedelai hitam."

"Aku mau minta sarapan ke rumah Reno aja. Habisnya kamu nyebelin," godaku.

"Eh, nggak boleh! Balik ke sini, nggak?" teriaknya, "Kalau nggak balik aku bakal ...."

"Bakal apa?" selaku setelah berbalik menghadap ke arahnya.

"Bakaaal ... ikut minta makan ke rumah Reno," celetuknya. Sukses membuat aku tertawa. Ya, sereceh itu selera humorku. Secara aku pikir dia bakal ngamuk gitu, kan. Terus membumihanguskan rumah Reno gitu. Nggak tahunya malah mau ikut.

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang