Dan Terjadi Lagi

312 29 2
                                    

Dua orang pria duduk di jok depan. Satu mengemudi, sedang satunya lagi hanya duduk. Dua pria lagi mengapit aku di jok belakang. Total ada empat orang pria di dalam mobil yang membawaku pergi entah ke mana ini. Aku tidak bisa bertanya, mulutku dibekap menggunakan lakban. Dan tanganku diikat ke belakang setelah tadi sempat berontak berusaha melawan pria-pria asing ini dengan pukulan tak berbobotku.

Mobil berbelok ke kanan jalan, memasuki jalanan lebar, lalu berhenti di depan sebuah rumah yang sangat besar dan megah. Setelah gerbang yang menjulang tinggi dibuka oleh pria tinggi besar dan berpakaian serba hitam senada dengan kacamata yang dikenakan. Mobil pun melaju melewati gerbang dan berhenti di tepat di depan teras.

Aku ditarik turun secara paksa. Saat aku berontak, tanpa ba-bi-bu seorang pria memanggul tubuhku memasuki rumah megah ini. Menaiki lift menuju lantai atas. Setelah keluar lift, aku masih dipanggul dan badanku dihempaskan ke atas kasur nan empuk berukuran lebar. Kamarnya pun sangat bagus dan indah. Ornamennya kemilau. Mewah.
Lakban yang menyumpal mulut serta tali yang mengikat tangan dilepasnya. Setelah itu, aku ditinggalkan sendiri di dalam kamar besar dan luas ini.

"Kalian siapa? Kenapa membawaku ke tempat ini?"

Pria tinggi besar itu tidak menjawab pertanyaanku. Dia melenggang pergi membawa wajahnya yang datar. Di kamar ini, aku tidak tahu harus berbuat apa. Ponselku masih ada pada si Bocil, aku tidak bisa menghubungi serta menanyakan bagaimana keadaannya dan memberitahukan keberadaanku di sini. Namun, aku yakin, nanti pasti suamiku bisa menemukan aku. Seperti kala itu saat aku diculik oleh kawanan sindikat penculikan dan perdagangan manusia. Ya, aku yakin.

Sekarang, aku hanya perlu bersabar menunggu suamiku datang menjemput. Atau mungkin juga sambil berusaha kabur dari sini. Ya, aku harus sambil berusaha juga.

Aku bangkit dari atas ranjang, baru saja akan memeriksa jendela, hendel pintu berputar. Sepertinya ada yang datang. Benar, detik kemudian pintu terbuka dan tampaklah siapa pembukanya. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian seragam putih dan bercelemek hitam. Nampan hitam di tangannya, berisi aneka makanan dan minuman.

Wanita itu berjalan ke sisi ranjang dan meletakkan nampan itu di meja yang dilengkapi sofa memanjang di belakangnya. Wanita itu menunduk hormat padaku. Kemudian mempersilakan makan menggunakan isyarat jempolnya yang menunjuk makanan di meja. Aku masih bergeming, bingung dengan semua ini.

"Bu ...." Aku menghentikan ucapanku, saat ibu itu mengangkat tangannya ke udara memberiku isyarat agar jangan bicara. Dia kembali menunjuk makanan di meja dengan jempolnya. Sekali lagi mengangguk santun, kemudian keluar kamar.

Aku berlari menyusulnya, hendak ikut keluar, tapi terlambat. Pintu sudah kembali dikunci dari luar. Aku menggigit bibir sambil berkacak pinggang. Menggaruk kepala, antara bingung dan jengkel.

Lagi, aku berjalan mendekat ke jendela. Jendela kaca yang sangat lebar. Jendela permanen rupanya. Tak bisa dibuka dan ditutup. Ada pintu kaca penghubung antara kamar ini dan balkon, tetapi dikunci dan aku tak tahu di mana letak kuncinya.

Semua laci dan lemari aku buka guna mencari kunci pintu menuju balkon itu. Namun, nihil. Tidak nemu kunci apa pun. Di dalam lemari hanya ada beberapa setel pakaian wanita. Lalu di laci, hanya ada buku novel dan majalah serta kertas entah apa.

Aku membuka pintu satu lagi, ternyata di baliknya ada kamar mandi dengan fasilitas lengkap. Ada shower, bathub, kloset duduk, dan aneka sampo serta sabun. Juga ada handuk yang tersampir di sudut.

Sekali lagi, aku mencoba membuka pintu kamar. Masih dikunci. Kemudian duduk di tepi kasur, pikiranku tertuju pada si Bocil. Entah bagaimana kondisi dia sekarang. Ah, aku sungguh cemas memikirkannya.

Ekor mataku melirik ke atas nampan. Aneka makanan di dalamnya lezat-lezat. Perut ini perih lapar, tetapi tidak ada selera makan. Yang ada di kepalaku hanya semua tentang si Bocil. Bagaimana kalau dia tidak ada yang menolong? Atau ... bagaimana kalau dia ditolong oleh perempuan cantik? Ck!

Aku tersentak saat pintu tiba-tiba terbuka. Sejurus kemudian nongol dua orang pria. Satu pria berdiri di dekat pintu, dan satu lagi duduk di sebelahku.

"Pria ini suamimu, kan?" Pria di sebelah menunjukkan foto si Bocil yang ada di ponselnya. Sepertinya pria ini memotret si Bocil secara diam-diam dari kejauhan.

Sekarang apa? Aku harus mengangguk atau pura-pura nggak kenal dengan si Bocil? Aku takut jawabanku membahayakan nyawa suamiku.

"Kalian siapa? Apa mau kalian?" Kubalas dengan pertanyaan juga. Pria di sebelah mendengus kesal.

"Kalau ditanya itu, jawab! Bukannya malah balik bertanya!" bentaknya. Aku menunduk merasa ngeri. Dia terus memaksa dan mengintimidasi. Sampai akhirnya aku mengangguk membenarkan.

"Dari tadi begini kan, gua nggak perlu main fisik!" dumelnya. Tamparan tangannya yang kekar berotot meninggalkan rasa pedas di pipi ini. Bahkan mataku sampai berair.

"Jadi, kamu tahu di mana dia menyembunyikan ranselnya?" tanyanya lagi. Dahiku mengernyit tak paham.

Ransel?
Ransel apa?

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang