Aku sampai kehabisan energi dan memutuskan untuk rebahan setelah berusaha membuka pintu, tetapi tidak bisa. Menatap langit-langit dan mulai berkhayal. Andai suamiku datang menolongku. Ah, aku akan langsung memeluknya. Erat.
Aku tersentak dan langsung dalam posisi duduk saat pintu dibuka oleh seorang pria berkepala pelontos dan berbadan kekar.
"Eh, apa-apaan ini?" sentakku saat pria itu menarik lenganku.
"Aku mau dibawa ke mana?" Pria itu tetap menarikku secara paksa keluar kamar. Aku rasa ini saat yang tepat untuk melarikan diri. Kugigit lengannya dan otomatis cengkeramannya terlepas. Aku lantas berlari mencari jalan keluar. Namun, sial tak dapat ditolak, aku malah terjebak di tengah koridor di mana di kedua ujungnya ada beberapa pria bertubuh kekar melangkah kemari.
Aku terkepung dan tak bisa berkutik lagi. Akhirnya cuma bisa pasrah saat salah satu pria memanggul tubuhku dan dimasukkan ke dalam mobil. Kemudian kepalaku dibungkus kain hitam, serta mulut dilakban dan kedua tanganku diikat ke belakang. Entah akan dibawa ke mana lagi. Bertanya pun percuma.
*****
"Sial! Ada polisi di depan," kata salah seorang yang ada di jok depan. Disusul umpatan pria lainnya.
"Ya sudah, buka saja itu ikatan sama penutup kepalanya!" Dari sumber suaranya sepertinya yang berbicara kali ini sang sopir.
"Oke." Pria di sebelah kiriku menyahut, lalu membuka penutup kepala, lakban dan ikat tangan secara buru-buru.
"Awas ya, kalau sampai kamu buka mulut!" ancam pria di sebelah kananku.
"Kalau buka mulut, habis kamu dan suamimu." Pria di sebelah kiri ikut mengintimidasi. Kemudian aku dibriefing agar nanti kalau sampai di tempat pemeriksaan itu mengakui mereka sebagai bodyguard serta sopirku. Tak ada pilihan lain. Aku takut salah ambil tindakan dan malah mencelakai suamiku.
"Ingat, jangan bersikap mencurigakan!" ujar pria yang mengemudi padaku.
"Senyum!" titah pria di sebelah kiriku sambil menyikut lenganku sesaat sebelum kaca mobil dibuka.
"Halo. Selamat sore," sapa polisi yang akan melakukan pemeriksaan.
"Sore juga, Pak," sahut para pria di dalam mobil ini. Pria di sebelah kananku menyikut lenganku, memberi kode agar aku juga menjawab sapaan polisi itu.
"Sore, Pak," kataku, kemudian mengulas senyum.
"Itu kenapa Mbaknya diapit begitu? Perempuan sendiri lagi," ujar polisi menaruh curiga.
"Saya sopir pribadinya si Non, Pak." Pria yang mengemudi menjawab duluan. Disusul pria lainnya yang mengaku sebagai bodyguard-ku.
"Benar begitu, Mbak?" Polisi itu hendak memastikan sepertinya. Sebenarnya aku sangat ingin jujur, kalau di sini aku disandera. Namun, bagaimana jika ancaman yang dilontarkan tadi itu bukan gertak sambal semata. Bagaimana kalau sebab pengakuanku si Bocil dalam bahaya? Tidak! Aku tidak mau gegabah. Tetapi, bagaimana kalau ternyata nanti aku dibuang jauh atau dijual? Argh! Dilema.
Lagi, pria di sebelah kananku menyikut perlahan. "Non, ditanya itu loh, sama Pak polisi, kok malah bengong."
"Eh, gimana, Pak?" tanyaku pada polisi.
"Apa benar mereka ini sopir pribadi serta bodyguard Anda?"
"Iya, Pak. Benar. Dan kebetulan saya mau ada pertemuan penting dengan klien saya. Kalau terlambat bisa gagal proyek saya, Pak," dalihku. Setelah memeriksa surat kendaraan dan dinyatakan lengkap akhirnya polisi itu mempersilakan kami melanjutkan perjalanan.
Setelah melaju cukup jauh dari tempat razia polisi, mulutku dilakban lagi. Kepala ditutup dan tangan diikat lagi seperti semula. Mobil yang semula masih melaju di jalanan yang ramai, kini melaju di jalan sepi. Aku tidak lagi mendengar kendaraan lain lalu-lalang. Jangan-jangan aku akan dihabisi, lalu diambil organ tubuhku yang sekiranya ada nilai jualnya.
Akhirnya mobil berhenti entah di mana. Aku diseret keluar. Kepala masih dalam keadaan terbungkus. Tangan juga masih diikat. Lantas digiring, diajak masuk. Entah masuk ke mana. Aku tidak bisa melihat apa pun.
"Berhenti dulu!" titah salah seorang pria. Semua pun berhenti.
"Kenapa, Bos?" sahut pria yang mencekal lenganku.
"Coba video call dulu itu bocah. Takutnya dia bawa pasukan atau parahnya bawa polisi."
"Oke, Bos."
"Kamu di mana?" tanya pria yang aku duga sedang berbicara dengan lawan bicaranya di layar telepon.
"Sudah di posisi."
Sebentar, itu seperti suara si Bocil.
"Elu sendirian, kan?" tanya pria di sebelahku.
"Sesuai kesepakatan. Gua datang sendiri!"
Benar itu suara si Bocil. Rasanya aku ingin berteriak memanggil, tetapi mulutku masih dilakban. Aku tak bisa bicara.
"Kalau elu bawa orang lain apalagi polisi, habis ini cewek!" ancam pria di sebelah.
"Tenang aja. Elu bisa pegang omongan gua!" pungkas si Bocil. Ya, aku yakin itu dia. Sebentar lagi, semua ini akan segera berakhir dan aku segera bersama lagi dengan suamiku.
"Ayo, jalan!" gertak pria di sebelah sambil mendorong bahuku secara kasar.
"Punya nyali juga lo, datang ke sini sendirian," ujar pria di sebelah.
"Badan boleh kecil, nyali nggak ada lawan, Bos!" jawab si Bocil. Senyumku tertahan oleh lakban sialan. Aku tak sabar ingin berlari dan memeluknya, tetapi tanganku masih dicekal.
"Mana barangnya?" tanya pria di sebelah dengan suara lantang.
"Ini ada sama gua."
"Elo lempar ransel itu kemari terlebih dahulu ...."
"Nggak bisa gitu, dong. Gua kasih ini barang, elo kasih bini gua," selanya. Benar, itu dia ... suamiku.
"Nggak bisa. Gua mau periksa barangnya dulu. Masih utuh apa kagak. Elu tenang aja, omongan gua elo bisa pegang. Asal itu barang utuh, gua jamin bini elu gua balikin dalam keadaan utuh juga." Tak ada sahutan lagi dari si Bocil. Mungkin dia dilanda keraguan dan dilema.
"Atau kalau kagak, bini elu habis!" ancam pria di sebelah sambil menempelkan sesuatu ke kening ini. Kurasa pistol. Entahlah.
"Eh, jangan-jangan! Oke, gua lempar ini barang, tapi tolong, jauhin itu pistol dari kepala bini gua!" Ternyata benar pistol yang menempel di kening ini. Tak berapa lama terdengar sebuah barang yang dilempar dan mendarat tepat di sisi kananku. Kurasa itu ransel yang entah apa isinya.
"Aman, Bos. Isinya masih utuh," kata salah seorang pria beberapa saat kemudian.
"Bagus. Kita cabut!" ajak pria yang dipanggil bos. Detik kemudian tanganku dilepaskan.
DOOOR!
"AAAK!"
Astaga! Bocil! Apa yang terjadi padanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMIKU BOCAH
RomantizmAWAS BAPER KUADRAT!!! Sama keuwuan bocil Dafa 19 tahun with istrinya, Mbak Safa 29 tahun. Ya, sejauh itu selisih umur suami istri ini.😉