Alpha vs Falcon

217 17 4
                                    

Kucekal lengannya dan melarangnya melakukan tawuran. Aku mencoba meyakinkan dia bahwa aku baik-baik saja. "Udahlah, nggak perlu kayak gitu," rengekku. Namun, dia tetap pada pendiriannya.

"Nggak bisa! Anak motor berandalan itu harus dikasih paham!" tegasnya, "Kamu harus ikut!" ajaknya kemudian sambil menggamit lenganku.

"Naik!" titahnya setalah memakaikan helm ke kepalaku.

"Aku nggak mau kamu tawuran," rengekku.

"Nggak ada yang mau tawuran. Aku cuma mau kasih paham aja ke mereka," katanya ngotot.

"Naik!" titahnya lagi dengan ekspresi serius. Tak ada pilihan lain, aku pun terpaksa naik dan motor pun melaju.

Sampai di tempat yang disepakati, anak-anak sudah berkumpul semua. Puluhan motor berjajar rapi di pelataran markas. Yakni sebuah gedung tua bekas pabrik tekstil milik salah satu keluarga anggota geng motor. Bocil membukakan helmku, lalu menggandeng tanganku memasuki basecamp.

"Ada apaan lu ngumpulin kita dimari?" todong salah satu dari puluhan pemuda yang berkumpul. Sisanya turut menyahut meminta penjelasan atas dikumpulkannya mereka di sini.

"Kalian lihat wajah bini gua!" ujar lelakiku dengan suara lantang. Semua mata pun tertuju pada wajahku.

"Kenapa tuh?" tanya salah satu dari mereka, yang aku tahu bernama Aldi.

"Ini ulah anak motor yang nggak ada akhlak!" Suamiku berekspresi kesal. Satu tangannya terkepal geram dan terlihat sangat tidak terima atas apa yang terjadi padaku. Sangat lebay. Padahal cuma luka kecil saja.

"Jelasin ke kita semua apa yang Mimu ingat tentang anak motor itu? Jaketnya atau stiker yang menempel pada motornya."

"Aku nggak inget," dalihku. Berbohong agar mereka tak perlu melabrak atau tawuran.

"Jangan bohong! Jujur aja!" Dia membingkai wajahku menuntut kejujuran dariku.

"Nggak usah lebay. Nggak perlu melabrak atau tawuran. Ini cuma luka kecil. Aku nggak mau kalau masalahnya malah makin rumit." Sekali lagi, aku berusaha menenangkan dan meyakinkannya agar tak perlu terjadi tawuran, "Nggak usah cari masalah."

"Bukan aku yang cari masalah. Mereka yang cari masalah. Aku nggak terima kamu diginiin. Mereka harus dikasih pelajaran supaya nggak mengulangi kesalahan yang sama," katanya penuh penegasan.

"Apa yang dibilang Dafa ada benarnya. Kalau nggak dikasih paham, mereka bakal ngelunjak dan melakukan hal yang sama ke perempuan lain. Bahkan bisa jadi lebih fatal akibat dari ulahnya itu." Vino menyahut. Kemudian Tedy memintaku menceritakan ciri-ciri anak motor yang sudah menjahiliku tadi sore.

"Aku cuma ingat mereka pakai jaket gambar burung alap-alap. Namanya Falcon," kataku akhirnya.

"Argh! Geng falcon itu. Fiks!" seru Zet.

"Ya sudah, kita otw ke markas geng falcon!" seru si Bocil berapi-api. Semua pun nurut dan langsung bersiap dengan motor masing-masing.

"Ciiil, aku nggak mau kalau kamu sampai tawuran." Kucekal lengannya. Kepala ini menggeleng melarang. Mataku berkaca-kaca. Perasaan ini campur aduk, antara takut dan sedih juga senang. Takut kalau sampai terjadi tawuran dan sedih membayangkan kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Senang, karena suamiku sampai segininya saking nggak terimanya aku disakitin oleh orang lain. Terkesan lebay memang, tetapi aku merasa diistimewakan.

Dia membalas menggenggam kedua tangan ini, kemudian membingkai wajah ini. "Nggak ada yang mau tawuran. Udah, Mimu yang tenang, ya."

*****

Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Perasaanku tidak keruan. Ketar-ketir. Namun, ternyata tidak semengerikan yang aku bayangkan. Sampai di markas geng falcon, saat kami sedang memarkirkan motor. Sebagian anak falcon kabur. Tersisa beberapa saja.

"Elo yang bernama Audrey, bukan?" tanya lelakiku setelah berada di hadapan anak falcon. Aku mendampinginya. Berdiri di sisinya sambil menggenggam tangannya kuat-kuat. Takut kalau dia sampai lepas kendali.

"Iya. Gua Ayudrey ketua geng falcon. Kalian geng Alpha mau apa ke sini?"

Suamiku memerintah temannya menjelaskan dengan gerakan wajahnya. Kemudian lelakiku menarik lenganku lembut dan dia duduk di kursi yang tadinya diduduki oleh Audrey. Lantas menepuk pahanya memberi kode agar aku duduk di pangkuannya. Aku menggeleng menolak. Merasa malu. Dia menarik tubuhku secara paksa, dan akhirnya aku pun terduduk di pangkuannya.

Zet menjelaskan maksud kedatangan kami semua kemari. Dia menuntut permintaan maaf dari geng falcon karena sudah membuat wajahku lecet. Mulanya salah satu anak falcon tidak mengakui perbuatannya. Namun, anak Alpha tidak sebodoh itu. Rupanya sudah ada yang ditugaskan untuk mencari barang bukti. Entah bagaimana caranya, yang jelas tepat saat anak falcon menyangkal, tak lama kemudian masuk sebuah pesan ke ponsel si Bocil. Sebuah video rekaman CCTV yang dikirim oleh salah satu anak Alpha.

"See!" Bocil memperlihatkan videonya kepada anak falcon. Audrey yang semula membela anak buahnya menunduk malu, lalu meminta maaf mewakili gengnya yang berbuat kurang-ajar padaku.

"Sekali lagi, gua mewakili geng falcon minta maaf yang sebesar-besarnya kepada Mbak Safa," ujar Audrey. Wajahnya tertunduk penuh penyesalan. Aku hanya mengangguk pelan.

"Elo briefing anak buah elo yang bener. Kalau sampai sekali lagi gua denger anak buah elo bikin masalah sama perempuan. Entah sama bini gua atau perempuan lain. Habis kalian semua!" tegas suamiku sambil menunjuk geng falcon.

"Elo pasti udah denger kan, gimana cara kerjanya geng Alpha," lirih suamiku penuh penekanan.

"Iya, Bang. Gua bakal berusaha mengkondisikan anggota gua supaya lebih baik dan lebih hati-hati lagi," balas Audrey.

"Bagus." Si Bocil sambil menepuk bahu Audrey.  Sementara anggota geng Alpha yang lain hanya diam siaga. Geng falcon terlihat ketakutan.

Sudah satu tahun lebih aku menjadi istrinya si Bocil, tetapi aku masih belum begitu paham seberapa besar kekuatan geng motor Alpha. Sedikit yang aku tahu, teman si Bocil yang tergabung dalam geng Alpha, ada yang anak tentara dan juga polisi. Makanya tak heran kalau setiap ada masalah yang tak terselesaikan, geng Alpha melibatkan aparat negara. Tentunya setelah sarat dan ketentuan pelaporan terpenuhi. Suamiku juga tidak asal atau sedikit-sedikit lapor polisi. Selagi dia dan anggotanya bisa menyelesaikan masalahnya, maka akan diselesaikan sendiri dulu. 

Aku menghela napas lega. Ternyata benar, ucapan si Bocil dapat dipegang. Dia tidak tawuran. Hanya memberi peringatan keras  saja. Kini, kami sedang berada dalam perjalanan pulang. Seperti biasa, kami mampir dulu di sebuah warung makan lesehan pinggir jalan. Sebagian ada yang hanya ngopi saja, dan ada juga yang pesan makanan.

*****

"Sebelum tidur aku bersihin dulu itu lukanya," ucap si Bocil. Aku pun urung bergelung dalam selimut. Lantas bangun dan duduk lagi di atas kasur. Dia mengambil kotak P3K. Dikeluarkannya obat merah, alkohol dan kain kasa.

"Ini tuh, cuma luka kecil," ucapku malas.

"Walaupun kecil harus tetap diobati. Biar cepat sembuh," katanya sambil mengoleskan obat merah ke luka di sudut bibir dan keningku. 

"Aaawh!" rintihku sampai mata berkaca-kaca saat alkohol dioleskan. Rasanya sangat perih. Dia meminta maaf, lalu meniup lukaku. Kemudian ditariknya lembut kepalaku ke dalam dekapannya dan diusapnya pucuk kepalaku lembut. Aku merasakan kasih sayang dan ketulusan serta kemurnian cinta yang sangat luar biasa darinya. Lelaki imut, yang masih bocah. Dialah suamiku.

"I love you," celetukku sambil mengeratkan pelukan. Detik kemudian air mataku menetes.

"I love you tooo," balasnya, lalu mengecup kening ini.

"Lho, kenapa nangis?" Dia membingkai wajah ini dan mengusap air mata yang membasahi pipi.

"Enggak papa. Ini tangis bahagia. Aku bahagia karena telah memilikimu, suami bocahku."

"Aku juga bahagia telah memilikimu, istriku terlove." Dikecupnya bibir ini lembut dan terasa hangat penuh cinta. Sejurus kemudian tubuhku kembali didekapnya erat.









SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang