Sepasang Sepatu

181 14 0
                                    

Di kantor, saat jam makan siang aku nyamperin si Bocil. Dia yang semula sedang asyik makan bareng teman seprofesinya pun, aku ajak mojok. Tadi pagi, kami memutuskan untuk membawa bekal dari rumah. Pengiritan, maklum tanggal tua.

"Ada apa sih, Mimu? Kenapa ngajak berduaan di sini? Udah kangen banget ya, emangnya? Perasaan baru beberapa menit yang lalu deh, kita ketemu di pantri."

"Ssssth!" Kubungkam mulutnya yang merepet kayak knalpot bocor dengan telunjuk. Dia pun terdiam. Mata kami saling bertemu.

"Wow!" serunya sambil menatapku lekat. Dahi ini auto mengernyit.

"Apaan?" tanyaku penasaran. Aku pun menoleh ke belakang. Aku pikir ada sesuatu yang spektakuler, tetapi ternyata tidak ada apa-apa. Dia masih terbengong seolah melihat sesuatu yang amazing. Aku menjentikkan jari ke hadapan wajahnya.

"Ada apaan, siiih?" Aku mulai kesal, dia tersenyum. Manis sekali. Jadi gemes pengen unyel-unyel.

"Enggak. Aku tu, cuma ... terpesona aja ...."

"Terpesona sama siapa?"

"Yang jelas sama seorang perempuan yang sangat cantik dan sempurna di mataku."

"Siapa?" Aku mulai agak kesal.

Dia mendekatkan wajahnya. "Inisialnya Safa." Aku yang semula mau marah jadi tersenyum dan terkikik geli, tapi juga suka.

"Itu bukan inisial." Kutepuk pundaknya pelan, lalu kami tertawa bersama.

"Ya, habisnya gimana, ya? Kalau nyebut nama kamu itu nggak bisa kalau cuma inisialnya aja, Sayang. Harus lengkap. Seperti kamu yang udah menjadikan hidupku terasa lengkap." Dia meraih kedua tanganku, lalu digenggamnya erat, "Pokoknya, selama kamu di sisiku, aku nggak butuh orang lain lagi. Karena kamulah segalaku." Kemudian dikecupnya punggung tanganku. Aku tersipu dan jantung ini masih berdebar setiap kali mendengar untaian katanya yang terdengar indah dan melalaikan itu.

"Mulai gombal lagi."

"Ini bukan gombalan, Mimu. Ini ungkapan isi hati yang terlahir dari lubuk terdalam hatiku."

"Eyaaa!" seru seseorang dari belakang kami. Sontak kami pun menoleh ke belakang dan ternyata Alam bersama Ilham yang ada di sana.

"Ah, merusak suasana aja kelen!" ketus si Bocil. Aku mengulum bibir menahan tawa.

"Yeee, lagian siapa suruh mojok di sini! Sudah masuk waktu kerja, woi! Waktu istirahat udah habis!" ujar Alam.

"Auk! Lagian kalau mau mesra-mesraan kan, bisa di rumah!" sahut Ilham.

"Kerja, kerja, kerja!" teriak mereka berdua secara serempak.

"Iya! Elah, sirik aja kelen! Udah sana!" usir suamiku. Kedua teman seprofesinya itu pergi juga.

"Oya, tadi Mimu ada apa ngajak aku ke sini?"

Aku mengamati jam yang tertera di layar ponsel. Sudah masuk waktu kerja dari beberapa menit yang lalu memang. Aku merasa tak enak hati kalau harus melanjutkan obrolan dengan suamiku dan bakal makan waktu lebih lama lagi. Selain itu, pekerjaanku juga masih numpuk. "Eum, ngobrolnya nanti aja lanjut di rumah. Nggak enak sama yang lain. Mending kita kerja lagi."

"Ya udah kalau gitu."

"Aku balik ke bilik kerja, ya," pamitku. Aku tersentak saat dia meraih lenganku dan ditariknya sehingga aku pun refleks berbalik ke arahnya, lalu terhempas ke dalam pelukannya. Saat aku berontak hendak melepaskan diri, dia menahannya.

"Udah, ah, malu dilihatin yang lain," bisiku.

"Semenit lagi," rengeknya.

"Ck! Kerjaanku masih banyak. Udah, ah, lanjut di rumah nanti."

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang