Dia

772 49 4
                                    


Belum sempat tanyaku terlontar akan siapa wanita itu. Bocil sudah melangkah mendekati tamu sosialita yang berdiri di depan pintu itu. Aku pun mengekorinya. Sementara dia berdiri di tengah pintu, aku berdiri di sisi dalam pintu. Sebelah kanannya.

"Anda ngapain ke sini?"

"Eum, Dafa ...."

"Saya sudah pernah bilang, bukan? Jangan ganggu hidup saya lagi!" Bocil menyela ucapan wanita di hadapan kami dengan kasar.

Kalau dilihat dari ekspresi wajahnya si Bocil, dia tampak sangat marah dan kecewa dengan wanita ini. Siapa sebenarnya wanita ini?

"Ini siapa?" Wanita sosialita itu mengalihkan pembicaraan, telunjuknya mengarah padaku.

"Dia wanita paling berharga dalam hidup saya!" tegas si Bocil.

Aku terpaku, usai mendengar kalimat suami bocilku. Jantungku bedegup luar biasa. Hati ini seketika berubah laksana taman. Berbunga-bunga.

"Mama angkatmu?" tanya wanita itu. Seketika mataku membulat tak percaya. Apa iya, aku setua itu? Ah, yang benar saja wanita ini! Pantesan saja Dafa terlihat kesal, emang bener-bener nyebelin ini wanita.

Aku melirik dan memberengut ke arah Dafa yang juga melirikku. Bocil lantas kembali menghadap wanita itu.

"Dia istriku!" jawabnya lugas.

"Istri!" Wanita itu tampak terkejut sekali mendengar si Bocil sudah beristri, "Kok kamu gak cerita kalau sudah punya istri?" lanjutnya.

Bocil terbahak sesaat. "Memangnya siapa Anda? Sehingga saya harus cerita tentang kehidupan pribadi saya pada Anda?"

"Daf, jangan seperti ini. Biar bagaimana pun, aku ini tetap ...."

"Ssssth!" Bocil mengacungkan telunjuknya ke hadapan wanita itu, "Sudah cukup ngebacotnya! Sebaiknya Anda pergi! Saya dan istri mau bersiap untuk berangkat kerja! Pergi!" Bocil langsung menutup pintu dan menguncinya. Menarikku menjauh dari pintu depan. Menuju ke ruang makan. Sementara wanita itu masih di luar sana berteriak meminta agar Dafa keluar.

Sampai di ruang makan, dia langsung menarik kursi dan duduk. Kedua tangannya terkepal di atas meja. Amarah tampaknya masih menguasai hatinya. Aku mengambilkan air dingin untuknya.

"Nih, minum dulu biar tenang!" Dia langsung meraih segelas air putih dingin itu, dan menenggaknya hingga tandas. Kemudian bersandar pada sandaran kursi. Kudengar dia menghela napas berulang kali. Kuusap kedua sisi bahunya guna menyalurkan ketenangan.

Kepalaku meneleng, mendengarkan suara wanita tadi. Sudah sepi. Mungkin sudah pergi. Sebenernya penasaran banget sama wanita tadi, tapi kalau bertanya sekarang kayaknya waktunya gak tepat. Biar Bocil tenang dulu.

"Eum, aku tinggal masak dulu ya, gak apa-apa, 'kan?" pamitku. Dia mengangguk lesu. Mengulas senyum samar.

Usai menyiapkan bahan masakan, aku kembali mendekatinya yang masih duduk di kursi ruang makan. Menawarkan padanya kopi. Dia menolak, katanya lagi gak nafsu minum kopi. Aku kembali ke dapur melanjutkan masak.

Selesai masak, saat menyajikan menu di meja makan, sudah tak kudapati lagi dia di sana. Kuperiksa di kamarnya dan di kamar mandi juga tidak ada. Ternyata dia di depan, melanjutkan mencuci motornya.

"Sarapannya sudah siap, Cil." Entah kenapa mendadak kikuk begini rasanya.

"Oh, iya, Mbak. Ini sebentar lagi juga selesai, kok. Tinggal ngelap joknya aja biar kering."

"Oke, aku tunggu di ruang makan, ya."

"Iya, Mbak."

*****

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang