"Ren, suamiku kamu buang ke mana?"
"Ke tempat sampah," jawab Reno sambil sibuk mencuci piring di wastafel.
"Hah?! Seriusan, suamiku kamu buang? Tega banget, sih?" sungutku.
"Eh, bukan gitu. Dia lagi buang sampah di belakang."
"Oh." Aku mengelus dada merasa lega. Tak lama suamiku datang menenteng tempat sampah kosong. Dia lantas cuci tangan setelah meletakkan tempat sampah pada tempat semula. Wajahnya terlihat masam.
"Kita pulang, yuk!" ajaknya.
"Sekarang banget?" tanyaku memastikan.
"Iyalah, sekarang. Males, di sini ada parasit."
"Ya udah. Aku sih, ngikut aja apa kata suami."
"Ya udah, kalau kalian pulang, aku juga ikut pulang," sahut Reno.
"Bodo amat! Pulang aja sono ke habitat elu!" ketus si Bocil. Kemudian menarik lengan ini ke dalam kamar dan menutup pintunya.
"Woi! Masih pagi, dah ngunci kamar aja!" teriak Reno sambil menggebrak pintu. Gak ada akhlak emang!
"Berisik!" teriakku dan si Bocil secara bersamaan.
Samar, aku dengar Ibu bertanya 'ada apa' Reno pun menjelaskan. Setelah itu tak terdengar lagi obrolan mereka. Mungkin Reno pergi ke teras atau malah pulang duluan.
Selesai berkemas, aku dan bocil keluar kamar mencari keberadaan Bapak dan Ibu guna pamitan. Rupanya semua sedang berbincang di teras. Reno juga belum pulang.
Saat aku dan bocil selesai pamit. Reno juga ikutan pamitan. Lagi, suami dan sahabatku terlibat adu mulut. Aku tepuk jidat, pusing. Cepat-cepat aku tarik suamiku menjauh setelah menyalami serta mengecup punggung tangan Ibu dan Bapak.
"Buruan kita pulang!" ajakku sambil naik ke atas jok motor. Sedang si Bocil sudah standby.
"Bu, pulang dulu, ya!" teriakku saat motor sudah siap melaju.
"Iya. Hati-hati!" seru Ibu.
"Iya, Bu." Aku dan bocil kompak menjawab. Detik kemudian motor pun melaju meninggalkan area rumah Bapak dan Ibu. Semakin menjauh dan keluar dari gang. Reno mengekor di belakang. Bocil memberi ruang agar Reno jalan dulu, tapi Reno malah nyantai.
"Duluan sono!" teriak si Bocil.
"Lah, suka-suka gua mau duluan, kek, mau belakangan, kek." Reno menjawab dengan gaya khasnya. Tengil.
"Udah sih, biarin aja. Terserah dia," kataku.
"Ya udah, kalau gitu kamu peluk aku yang mesra. Biar dia panas," ucapnya. Aku menghela napas panjang, tapi pada akhirnya aku turuti juga perkataannya. Aku lingkarkan tangan pada pinggangnya dan kusandarkan dagu ini pada pundaknya.
"Dah, puas?" sungutku. Bocil tersenyum penuh kemenangan. Sedangkan Reno di belakang sana terus membunyikan klakson minta duluan. Mungkin terbakar melihat adegan romantis kami berdua. Namun, suamiku tak memberi Reno ruang untuk kabur. Motor dilajukan di tengah jalan, diliukkan ke kiri dan kanan.
"Bangsat!" Kudengar Reno mengumpat. Aku dan si Bocil pura-pura tidak mendengar.
Tiba-tiba laju motor tersendat-sendat. Hmmm, romannya bakal mogok, nih. Reno di belakang sana sudah mulai terbahak. Benar saja, motor pun akhirnya berhenti total.
"Duh, please dong, jangan sekarang mogoknya," dumel suamiku sambil menepuk stang motor. Dia berusaha starter motornya, tapi tetap tak bisa menyala. Aku turun dan berdiri di sebelah motor.
"Udah, kamu ikut aku aja, Safa. Naik mobil mahal enak tauk. Adem." Kumat sombongnya si Reno. Bocil mencekal lengan ini seolah menegaskan kalau aku tidak boleh meninggalkannya.
"Eh, elu jangan egois dong. Kesian Safa kalau harus bantuin dorong motor butut elu. Biar Safa sama gua aja," cerocos Reno yang ikut berhenti beberapa meter di belakang kami. Dia melongokkan kepalanya keluar jendela mobil dan mulutnya terus nyerocos.
Bocil menatapku seolah bertanya apa aku bakal ikut Reno. Aku mengedikkan alis. Dia menghela napas panjang.
"Ya udah, kalau emang mau ikut Reno, ikut aja," katanya lesu seolah tidak ikhlas. Aku mengulum bibir. Lantas meninggalkannya masuk ke mobil Reno. Sengaja, ingin melihat bagaimana reaksinya.
Saat melewati si Bocil, Reno menjulurkan lidah meledek. Bocil mukanya masam. Aku menahan tawa dan merasa tak tega.
"Stop Ren!"
Reno menoleh kemari. "Loh, kenapa?"
"Udah, berenti aja! Aku mau turun di sini aja."
"Hah?!" Reno terperangah. Mukanya seperti orang bloon.
"Maksudnya gimana, Fa?" tanyanya sambil menepikan mobi dan akhirnya berhenti juga.
"Kamu pikir aku sejahat itu apa? Ya kali, aku ngebiarin suamiku dorong motor sendirian. Kesian tauk. Nanti imutnya luntur," kataku sambil membuka pintu mobil. Kudengar Reno mendengkus kesal.
"Argh! Serah elo deh, Fa. Dikasih tumpangan gratis malah pilih menyengsarakan diri lu!" cibirnya. Dia lantas melajukan mobilnya menjauh. Aku berdiri di tepi jalan menunggu suami bocilku muncul. Jalanan berbelok membentuk leter L membuat pandanganku terhalang.
Tak lama kudengar suara si Bocil tengah berbincang. Suaranya terdengar renyah tanpa beban. Tawa terbahak mengiringi langkahnya. Entah dia sedang berbincang dengan siapa sehingga sebahagia itu?
Detik kemudian dia muncul juga. Ternyata sudah ada yang membantunya mendorong motor. Seorang ... wanita setengah pria. Bocil begitu asyik menggombali orang itu. Oh, astaga! Suamiku masih normal, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMIKU BOCAH
Lãng mạnAWAS BAPER KUADRAT!!! Sama keuwuan bocil Dafa 19 tahun with istrinya, Mbak Safa 29 tahun. Ya, sejauh itu selisih umur suami istri ini.😉