Cek Komplek Sebelah

403 42 7
                                    

Iya, benar itu Ali yang sedang menelepon montir. Tampaknya mobilnya tengah bermasalah. Dia segera mengakhiri teleponnya dan menyapa setelah menyadari kedatangan kami.

"Wah, rajin banget lo, malem-malem olahraga dorong motor?" ledek Ali sambil melipat tangan di dada. Matanya tertuju pada suamiku yang tengah memasang standar motor. Reno juga melakukan hal yang sama. Kemudian keduanya duduk di trotoar.

"Eh, lu ngapain ikutin gua?" ketus si Bocil pada Reno.

"Lah, siapa yang ngikutin situ! Geer lu!" balas Reno nyolot. Detik kemudian keduanya terdiam menstabilkan napas masing-masing yang terengah.

"Dia siapa?" tanya Ali menunjuk Reno dengan gerakan wajahnya.

Bocil yang semula menatap Ali, kini beralih menoleh ke arah Reno. "Dia Renosaurus!"

"Hah?!" Ali terperangah, dahinya mengernyit.

Aku menghela napas panjang. Lantas ambil posisi di sebelah Reno, kurangkul bahunya. "Dia ini Reno ...." Belum selesai aku menjelaskan, Miku langsung mengambil posisi di tengah-tengah antara aku dan Reno. Tanganku yang semula merangkul bahu Reno, disingkirkan dan digenggamnya.

"Gak usah pake rangkul-rangkul bisa, kan?" Miku menatapku dengan tatapan tidak suka. Aku mengulum bibir menahan senyum. Dia lucu kalau lagi cemburu begitu.

"Kalau kalah saing, bilang bos!" goda Reno berteriak di sebelah telinga si Bocil. Bocil mendesis sambil menggosok-gosok telinganya yang mungkin pengang. Kemudian menatap Reno kesal.

Miku nyaris baku hantam dengan Reno. Untungnya Ali langsung mengalihkan perhatian Reno dengan cara mengajaknya berkenalan dan berbincang. Kudengar keduanya terdengar nyambung saat membahas soal bisnis. Sementara aku berusaha menenangkan lelakiku.

"Sini liat wajahku!" Aku tarik lembut dagunya supaya menghadap ke tempatku.

"Kalau Miku emosi, liat wajahku biar adem," imbuhku. Aku lanjut tersenyum. Agak terasa aneh sih, biasa digombali, gak biasa gombal.

"Kalau lihat wajahmu bawaannya pengen cepet sampek rumah," rengeknya. Tuh, kan, apa aku bilang juga. Menggombalinya adalah kesalahan besar! Dia terkekeh dan menarik dagu ini supaya menghadapnya lagi saat aku berpaling mendengus kesal.

"Bercandaaa," ucapnya sambil mencubit gemas pipi ini.

"Oya, Li, tadi lu telepon montir, kan?"

Ali yang tengah asyik berbincang dengan Reno menoleh kemari. "Iya. Kenapa?"

"Sekalian pesenin jasa montir buat gua, dong!"

"Jangan mau Li, biar dia usaha sendiri!" larang Reno.

"Eh, Renosaurus! Balik sono lu! Ngapain masih di sini!" Bocil nyolot lagi.

"Reno, udah dong! Jangan gangguin suamiku terus bisa gak, sih?"

"Safa, aku gak gangguin. Suamimu aja tuh, yang sensi!" Bocil tak terima dibilang sensian oleh Reno. Aku sudah capek melerai mereka berdua yang terus nyerocos adu mulut. Ali juga kewalahan menengahi.

"Udahlah, Li. Biarin aja mereka berantem. Mending kita makan baso aja tuh, di sana." Aku menunjuk gerobak baso keliling yang tengah mangkal di pinggir jalan. Di depan sebuah kios yang sedang tutup. Ali mengangguk setuju. Kami pun berjalan beriringan menuju gerobak baso.

"Wei, Mimu mau ke mana?" teriak si Bocil saat melihatku berlalu.

"Udah, kalian lanjut aja berantemnya. Kita mah, mau makan baso aja," sahutku. Lantas menarik lengan Ali dan berjalan lebih cepat lagi. Kudengar bocil berlari menyusul, dan langsung melerai tanganku yang bertaut dengan tangan Ali. Lantas digenggamnya erat.

"Ini bini gua!" tegasnya nyolot ke Ali.

"Iya iya, gua tau! Yaelah, timbang pegangan tangan doang. Heran. Pelit amat sih, lu!" Ali terlihat sangat geram pada bocil.

"Soal hal lain gua bisa bagi-bagi ama sahabat, tapi tidak dengan bini gua! Cuma gua yang berhak gandeng tangannya. Ngarti lu!" Bocil nyolot. Ali menyahuti dengan gumaman pasrah.

"Elu ngapain ngikut?"

"Gua juga pengen makan baso lah. Laper kali abis dorong motor. Apalagi motor gua kan bodinya gede, gagah, keren. Gak kaya motor lu!" ejek Reno.

"Gapapa motor gua butut, miskin, yang penting udah punya bini cantik, seksi. Buat apa punya motor bagus, punya mobil, tapi jomlo. Jiahahahahahaaaa!" Bocil nunjuk wajah Reno dan Ali. Dia terlihat sangat puas saat Reno dan Ali cuma bisa diam meratapi nasibnya.

Sampai di penjual baso terdapat kursi kayu memanjang. Miku menyuruhku duduk di paling ujung, kemudian di sebelahnya dia. Tentu saja supaya tak ada yang bisa dekat-dekat denganku. Ya, selebay itu dia, tapi aku suka sih, diperlakukan begini.

"Eh, elu kan, pernah kerja di bengkel. Seharusnya bisa dong benerin motor?" celetuk Ali di tengah khidmat menyantap baso.

"Ya bisa, cuma kalau gak ada alat-alatnya gimana cara benerinnya, paok!"

"Makanya kalau makan pedes jangan sambil ngomong," kataku sambil menyodorkan air minum ke bocil yang terbatuk.

Usai makan baso, kami pamit melanjutkan langkah mencari bengkel. Ali tetap tinggal menunggu montir yang tadi dipesan datang. Reno mengekor sampai akhirnya kami menemukan sebuah bengkel yang masih buka. Reno dan Miku adu cepat untuk sampai ke bengkel tersebut.

"Pak, tolong diservis punya saya dulu!" pinta si Bocil.

"Punya saya dulu, Pak!" Reno tak mau mengalah.

"Saya!" seru si Bocil.

"Saya dulu lah, punya saya motor mahal, nih!"

"Gak bisa. Saya duluan yang nyampe sini." Bocil ngotot, Reno tak mau kalah. Pemilik bengkel bingung, menoleh ke arah bocil dan gantian menoleh Reno. Kemudian menggaruk kepala. Pening mungkin dengan kelakuan dua orang di hadapannya.

"Kita suit aja, gimana?" tawar si Bocil. Reno menyanggupi dan sangat yakin bahwa dia pasti menang.

"Udah Pak, langsung aja tanganin motornya. Ini dua-duanya mogok di jalan tadi." Pemilik bengkel mengangguk, lantas ke dalam sebentar tak lama keluar lagi bersama dua orang montir yang siap mengoperasi motor si Bocil dan Reno. Aku duduk di kursi yang tersedia untuk menunggu. Sementara Tom dan Gery masih saja lanjut adu jari. Keduanya baru berhenti setelah mendengar alat montir itu jatuh ke lantai dan menimbulkan suara gaduh.

"Kok Mimu gak bilang sih, kalau motornya udah dibenerin?" sungutnya sambil duduk di sebelahku.

"Lagian kalian gak jelas banget. Gak nyadar apa udah pada tua!" omelku. Reno duduk bersandar pada sandaran kursi dan melipat tangan di dada. Dia diam, mungkin lelah. Aku juga melipat tangan di dada, malam kian larut udaranya semakin dingin.

Tanpa aku bicara, sepertinya bocil mengetahui apa yang aku rasakan. Dia langsung melepas jaketnya dan menyelimutiku. Kemudian menggenggam jemari ini. Biar hangat katanya. Padahal aku yakin dia sengaja mau manasin Reno. Tapi, Reno memilih pura-pura gak melihat dan memilih main game di ponselnya.

Motor si Bocil lebih dulu selesai. Dia pun cepat-cepat mengajakku pergi meninggalkan Reno. Aku nurut saja.

"Aku duluan ya, Ren," pamitku saat sudah di atas motor.

"Oke," jawabnya sambil mengacungkan jempol, "Heh, Bocil, bawa motornya ati-ati lu, jangan ngebut!" lanjutnya.

"Gak usah sok nasehatin gua, lu!" sahut si Bocil tengil. Lantas tancap gas.

Saat motor sudah memasuki jalanan area komplek. Tak lama di belakang terdengar motor menyusul kami. Berusaha menyejajarkan posisi. Kami berdua menoleh ke pengendara motor motor yang kini sudah ada di sebelah kanan.

"Heh, Renosaurus, lu ngapain ngikutin kita?" seru si Bocil.

"Dih, siapa yang ngikutin situ. Geer! Rumah gua noh, di depan sono. Di komplek teratai!" teriaknya.

Lah, sejak kapan Reno tinggal di komplek sebelah?






SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang