Prank Berujung Petaka

370 29 6
                                    

Aku berontak dan melepaskan diri dari dekapan si Bocil. Lantas berjalan terhuyung keluar restoran. Kudengar dia bertanya aku kenapa. Aku memilih diam saja dan pura-pura memegangi kepala. Dia mendekat. Aku berjalan lagi menjauhinya, lalu menjatuhkan diri. Pura-pura pingsan.

Bocil bergegas mendekat, memeriksa kondisiku. Memekik memanggil dan menepuk-nepuk pipiku. Setelahnya dia berteriak meminta bantuan. Kedengarannya, dia sangat panik. Ah, andai saja aku bisa melihat ekspresi paniknya itu. Pasti lucu sekali.

"Mimu, bangun! Please! Jangan bikin aku khawatir," cerocosnya sambil menepuk-nepuk pipi ini.

"Mimu kenapa? Hei, bangun!" Dikecupnya kening ini lama. Kudengar dia terisak lirih. Sementara Reno sibuk menyiapkan mobilnya.

"Keknya Safa terlalu tegang dan stres deh, karena prank ini, Daf. Makanya dia pingsan begini," ujar Ulfa. Sepertinya dia berjongkok di sebelahku.

"Ayo, ayo, cepet bawa Safa ke mobil!" pekik Reno. Kurasa mobilnya sudah siap. Bocil terdengar kepayahan saat akan mengangkat tubuhku, tetapi akhirnya dia berhasil membopong tubuhku ke dalam mobil.

Setelah aku dibaringkan di jok belakang, dia lantas duduk dan memangku kepala ini. Sementara Ulfa duduk di jok depan, samping Reno yang sedang mengemudi. Mobil pun kini tengah melaju di jalan raya. Aku akan dibawa ke rumah sakit terdekat. Begitu yang kudengar dari pembicaraan mereka.

"Yaelah, selaw kali, Daf. Safa cuma pingsan, kok," ujar Ulfa. Saat suamiku begitu panik dan menyuruh Reno cepat-cepat.

"Kita kan, nggak tahu sebab dia pingsan apa?!" ketus si Bocil. Tawaku nyaris saja meledak.

Sampai di rumah sakit, kudengar Reno langsung berlari minta bantuan petugas rumah sakit. Tak lama terdengar suara brankar di dorong kemari. Detik kemudian aku dibopong keluar dari mobil dan dibaringkan ke atas brankar.

Jujur saja, aku merasa tak enak hati mengerjai mereka sampai seperti ini. Akan tetapi, sudah terlanjur sejauh ini rasanya kalau bangun sekarang malah nanggung. Saat brankar memasuki rumah sakit, aku makin dilema. Antara bangun atau nunggu diperiksa oleh dokter sekalian.

Ternyata, saat aku masuk langsung diperiksa oleh seorang dokter. Detak jantung dan tekanan darah, serta mata ini disenter.  Sementara si Bocil memilih stay di sebelah brankar. Dia menolak menunggu di luar. Bersikukuh menemani aku di sini.

"Gimana, Dok? Apa yang terjadi sama istri saya?" todongnya. Seusai dokter melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap diri ini.

"Aman, Pak. Semua dalam kondisi baik dan normal. Hanya saja, mungkin istri Bapak terlalu kecapaian atau stres, makanya bisa pingsan begini," papar dokter perempuan itu.

"Dokter, yakin? Istri saya cuma kecapaian dan stres saja? Tidak ada penyakit apa-apa?" tanya Miku. Masih belum yakin mungkin.

"Benar, Pak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebentar lagi juga sadar istrinya," ujar dokter itu lembut.

"Terima kasih, Dok."

"Sama-sama, Pak. Kalau gitu saya permisi dulu, ya," pamit dokter itu.

"Iya, Dok. Silakan."

"Maafin, aku, Mimu. Cepet sadar, ya. Aku janji, gak bakal bikin kamu stres atau panik berlebih lagi. Aku janji," ucapnya setelah dokter pergi. Dikecupnya punggung tangan ini berulang kali. Kudengar dia terisak lirih. Sebentar, apa dia menangis? Apa sebegitu dalamnya rasa penyesalannya? Kasihan juga.

Aku melenguh dan membuka mata perlahan. Benar, dia tadi menangis. Melihatku membuka mata, dia cepat-cepat menghapus air matanya. Lantas mengucap syukur dan mengecup kening ini.

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang