Oleh-Oleh

605 59 9
                                    


Aku menghentikan aktivitas saat si Bocil datang. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Ternyata dua bungkus pembalut.

"Aku beli yang satuan, dua biji. Gak papa, kan? Cukup kan?" tanyanya. Aku bergeming menatapnya. Kagum. Dada ini rasanya nyesek, terharu. Aku berdiri menggeser kursi lantas memeluknya.

"Terima kasih, ya," lirihku parau. Dia membalas melingkarkan tangan di pinggang ini.

"Iya. Udah dong, jangan nangis, kan, bentar lagi mau meeting." Dia menarik diri dari pelukanku. Terus membingkai wajah ini dan mengusap air mata yang mengalir di pipi. Aku mengangguk, tapi air mata terus mengalir.

"Eh, dibilang udah nangisnya. Nanti dikira aku apain lagi." Aku menghela napas panjang, mengangguk. Kemudian berhenti menangis, dan tersenyum.

"Nah, gitu dong, kan cantik. Aku juga jadi semangat kerjanya."

"Oiya, kamu kok, langsung kerja hari ini? Memangnya sudah diterima?"

"Sebenernya mulai training besok, tapi aku minta mulai kerja hari ini supaya bisa terus deket-deket sama istri tercinta," jelasnya sambil menyikut lengan ini.

"Berapa lama trainingnya?" Dia mengacungkan tiga jarinya.

"Ya udah, sana balik kerja. Aku juga mau siap-siap meeting."

"Ya udah, sini biar aku aja yang merapikan berkasnya, kamu ke kamar mandi aja. Pake itu." Dia menunjuk pembalut yang kini ada di tanganku. Ah, iya, aku sampai lupa.

"Ya udah, aku ke kamar mandi dulu." Dia mengangguk.

"Oya, yang ini kan, berkasnya yang ditumpuk?" tanyanya. Aku mengangguk, lantas pergi meninggalkannya. Saat aku kembali dari kamar mandi, semua berkas sudah rapi tinggal angkut bawa ke ruang meeting.

Saat aku siap masuk ke dalam ruang meeting, aku berpapasan dengan suamiku. Sepertinya dia habis menyiapkan ruang meeting. Tatapan mata kami bertemu, dia mengedipkan sebelah matanya. Aku mengulum bibir menahan senyum.

"Semangat meetingnya, yang fokus. Jangan sampai gagal fokus gara-gara mikirin aku terus, terbayang kegantengan aku yang haqiqi ini." Dia menyugar rambutnya ke belakang, melipat tangan di dada, berpose ala model. Yeah, senarsis itu dia.

Tak lama semua staf mulai berdatangan menuju ruang meeting. Aku melambaikan tangan pada suamiku. "Aku masuk dulu, ya," pamitku. Dia mengangguk.

*****

Jam 16:30 atau paling lambat jam 17:15 aku biasanya sudah keluar dari kantor siap pulang jika tidak ada lembur. Namun, kali ini masih stay di dalam kantor menunggu suamiku menyelesaikan pekerjaannya. Setelah semua staff kantor pulang, dia masih harus bekerja membersihkan dan merapikan semua ruangan, bersama beberapa office boy serta office girl lain.

"Mau aku bantuin, gak?" Aku menawarkan bantuan.

"Gak usah. Udah, Mimu duduk aja di situ. Tadi kan, Mimu udah capek seharian kerja, meeting, dan itu pasti nguras energi banget, kan? Jadi, udah duduk aja di situ, tungguin kerjaanku selesai. Aku bakal ngebut biar cepet selesai." Dia langsung lanjut mengepel.

Dia berhasil membuat aku merasa kagum. Mata ini terus fokus melihat setiap gerak-geriknya. Sampai tanpa sadar, dia telah berdiri di depanku duduk, melipat tangan di dada, mengedikkan alisnya.

"Kenapa? Segitu terpananya ya, sama ketampanan suamimu ini? Hmmm?" Tengilnya kumat. Aku menghela napas panjang, dia terkekeh.

"Udah, sana cepetan taruh alat pelnya ke tempatnya. Terus kita pulang."

Dia malah mendekatkan wajahnya ke sisi pipi ini. "Kenapa? Udah gak sabar ya, mau ...." Segera kuraup wajahnya agar diam, dan berhasil. Dia pun segera menaruh alat pel di gudang. Aku keluar menunggu di dekat motornya terparkir.

"Hai, istriku terlove," sapanya.

"Ck, lebay deh!"

"Kok lebay, sih?" sahutnya sambil meraih helm. Aku mengambil tisu dari dalam tas dan mengelap wajahnya yang berkeringat. Dia bergeming.

"Kenapa? Kucel ya, mukaku?" tanyanya.

"Enggak kok, tetep ganteng." Dia langsung pasang muka narsis bin tengil. Ah, sepertinya aku sudah salah dalam memilih diksi.

Dia memasang helm di kepala ini, merapikan rambutku yang berantakan. Kemudian menyuruhku naik ke atas motor. Seperti biasa, dia melingkarkan tanganku ke pinggangnya.

"Maaf ya, gara-gara harus nunggu aku menyelesaikan pekerjaanku, kamu jadi lama deh, nunggunya. Pulangnya juga jadi agak telat," cerocosnya saat motor sudah mulai melaju.

Kusandarkan dagu ini di pundaknya. "Iya, gak apa-apa. Aku bangga sama kamu, dan bahagia seperti ini."

"Woiya, jelaaas, nungguin orang ganteng emang gak berasa. Iya, kan?" Kugeplak kepalanya yang terbungkus helm, dia mengaduh. Detik kemudian terbahak. Sadar, aku sudah tak lagi memeluknya seperti tadi, dia tancap gas, reflek aku pun memeluknya lagi. Erat.

*****

Bakda isya, dia keluar dari kamar sudah rapi dan wangi. Dahiku mengernyit penasaran. Dia meraih helm kemudian mendekat.

"Malam-malam begini mau ke mana?"

"Aku mau izin ketemu sama teman-temanku, boleh, 'kan?"

"Memangnya kamu gak capek? Udah habis seharian kerja, sekarang bukannya istirahat malah keluyuran!"

"Cuma bentar aja, kok," rengeknya.

"Memangnya ada acara apaan, sih?" sungutku.

"Pesta bujang. Jadi, salah satu temenku ada yang mau nikah dalam waktu dekat ini."

"Kan, kamu udah gak bujang lagi."

"Iya sih, tapi ... gak enak kalau gak dateng memenuhi undangan."

"Ya udah, boleh pergi, tapi jangan malem-malem pulangnya! Inget, besok mesti kerja lagi kita."

Dia menaruh helmnya ke atas meja. Kemudian membingkai wajah ini. "Makasih istriku. I love you." Dia lanjut mengecup kening ini, lalu kedua pipi ini dan terakhir bibir ini.

Usai memeluk tubuhku sebentar, dia langsung pamit dan benar-benar pergi. Aku sendirian dan kesepian. Sempat ketiduran di sofa ruang tengah, lalu terbangun dan melihat jam ternyata sudah jam 23:15, tapi dia belum pulang. Padahal tadi bilangnya gak akan malam-malam pulangnya. Aku mulai kesal dan cemas. Mondar-mandir di depan pintu, menyibak tirai melihat ke arah pagar depan. Belum ada tanda-tanda dia datang.

Amarahku sudah memuncak. Aku kunci pintu dan masuk kamar. Ingin sekali bisa tidur nyenyak, tapi gak bisa. Terus kepikiran dia. Kini jarum jam sudah menunjuk angka 00:45, dan suara motornya belum juga terdengar.

Aku turun dari ranjang. Tanganku terkepal sempurna, rasanya aku ingin berteriak, dan ... ah, itu dia sudah datang. Suara motornya memasuki halaman depan. Kemudian seperti berbincang dengan seseorang di teras. Aku penasaran.

Dia tak langsung mengetuk pintu. Entah apa yang ia lakukan di luar sana. Setelah beberapa menit berlalu, barulah dia mengetuk pintu. Aku bergegas keluar kamar, rasanya ubun-ubunku sudah siap meledak. Emosi memuncak, butuh pelampiasan. Aku tak sabar ingin memarahinya. Sudah tahu istrinya lagi PMS, ini malah sengaja mancing keributan.

Aku urung mengomel saat pintu sudah terbuka lebar dan mendapati dia pulang tak sendirian. Melainkan bersama seorang gadis muda. Gadis itu penampilannya sangat kacau. Entah siapa lagi itu? Mendadak hatiku terasa panas dan nyesek. Ya, aku cemburu.



SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang