"Pak, lewat jalur timur, ya!" titahku kepada sopir taksi. Aku ingin melihat si Bocil ada di tempat kerjanya atau tidak.
"Wah, kalau lewat jalur timur muter jauh banget, dong, Mbak. Mbak yakin, mau lewat sana?"
"Iya, Pak. Lewat sana aja. Gak apa-apa muter."
"Baik, Mbak."
Aku coba stalking akun media sosial si Bocil. Juga WhatsApp-nya. Tak ada postingan terbaru di semua medsosnya. Kupandangi foto profil WhatsApp-nya yang sedang tersenyum manis. Aku kangen dengan senyummu ini, Cil.
Kuamati jalanan, rupanya sudah hampir dekat dengan bengkel tempat kerja si Bocil. Kuminta sopir untuk memelankan laju mobilnya. Saat sampai tepat di depan bengkel Podo Moro, aku meminta berhenti sejenak.
Mataku memonitor seluruh penjuru bengkel. Tak kutemukan bocil di sana. Apa dia sedang di toilet? Atau sedang pergi menemui wanita itu? Tak kuasa menahan rasa penasaran, aku pamit turun sebentar pada sopir taksi guna mencari informasi ke mana perginya si Bocil. Aku langsung menghampiri pegawai yang sedang stay di bengkel. Bertanya padanya akan di mana keberadaan si Bocil.
"Maaf, Bocil, siapa, ya, Kak?" Pegawai itu tanya balik.
Ah, iya, kebiasaan memanggilnya bocil jadi terbawa sampai sini. Ck! "Eum, maksudku Dafa."
"Oh, Dafa!" serunya, "Dia tadi pamit keluar sebentar, Kak."
"Ke mana, ya?"
"Katanya sih, ada urusan keluarga gitu."
"Oh, gitu. Terima kasih, ya, infonya."
"Ya, sama-sama, Kak. Oya, btw, Kakak ini siapanya Dafa? Barangkali mau nitip pesan, nanti biar saya sampaikan ke Dafa."
"Gak usah disampaikan ke Dafa. Gak penting, kok. Nanti kalau saya ketemu dengannya biar saya sampaikan sendiri."
"Oh, oke, Kak, kalau gitu."
"Ya udah, saya permisi, ya. Sekali lagi, terima kasih. Maaf, sudah mengganggu waktunya."
"Oh, iya, Kak. Gak ganggu, kok. Sama-sama. Silakan!"
Aku kembali ke dalam taksi, dan lanjut ke kantor. Aku tak bisa berhenti memikirkan si Bocil. Ruang otakku penuh dengan dia seorang. Pertanyaan demi pertanyaan merangsek berdesakan di dalam kepala. Sampai pening rasanya.
Acara keluarga? Keluarga yang mana? Orang-orang Panti Asuhan Tirta Amarta?
Sampai di kantor terlambat. Mendapat omelan dari Bos. Aku disuruh milih sangsi potong gaji atau lembur. Aku pilih dihukum lembur kali ini. Ini kali kedua aku terlambat ke kantor karena si Bocil.
Dulu sebelum menikah dengannya, saat dia masih sekolah SMA, aku juga pernah terlambat ke kantor begini karenanya. Dulu ketika aku sedang menunggu angkutan umum di tepi jalan. Bocil menawarkan tumpangan. Saat itu sudah kesiangan dan di kantor akan diadakan rapat. Sedangkan cari kendaraan umum susah banget.
Aku pun menerima tawaran si Bocil. Dia mengaku tahu jalan tikus. Tapi nyatanya malah nyasar gak tentu arah. Aku terlambat ke kantor, dan dia terlambat ke sekolahnya.
Kala itu Bos memotong gajiku. Sedang si Bocil dapat hukuman mencatat materi pelajaran sebanyak 10 lembar. Dia menuding aku telah memaksanya memberiku tumpangan, dan memaksaku membantunya mencatat. Padahal yang maksa nganterin aku ke kantor dia.
"Fa, kamu kenapa? Abis diomelin Bos, kok malah cengar-cengir gitu?"
Aku tersentak dari lamunan. Kemudian nyengir ke arah Ulfa, teman sekantorku. Ulfa menggeleng, lalu kembali ke bilik kerjanya. Malah jadi flash back gini, sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMIKU BOCAH
RomanceAWAS BAPER KUADRAT!!! Sama keuwuan bocil Dafa 19 tahun with istrinya, Mbak Safa 29 tahun. Ya, sejauh itu selisih umur suami istri ini.😉