Belah Duren

1.2K 70 13
                                    

Sepanjang perjalanan pulang, aku mengulum bibir manahan senyum. Masih tak habis pikir dengan apa yang tadi bocil lakukan di kafe. Sontak aku memeluknya erat saat mendadak dia mengebut. Bocil terkekeh. Fiks, sengaja nih!

"Bisa pelan-pelan aja, gak?" bentakku.

"Enggak! Soalnya kalau pelan pasti pelukannya dilepasin. Iya, 'kan?" tebaknya.

"Ck!"

"Udah, nikmatin aja!" teriaknya. Pengen gigit kupingnya, tapi terbungkus helm.

Sampai rumah, dia melarangku berjalan. Memintaku diam di tempat sampai dia selesai memarkirkan motornya. Ada-ada saja! Absurd banget dia hari ini.

"Kalau aku gak boleh jalan, terus masuk ke rumahnya gimanaaaa?"  Reflek aku melingkarkan tangan pada lehernya saat dia tiba-tiba membopongku.

"Kamu apaan, sih?" sungutku.

"Sssth! Diem! Nurut ama suami!"

Dia membopongku hingga ke ruang tengah. Aku didudukkan di sofa, dan diraihnya kaki ini lembut, ditaruh ke atas pangkuannya.

"E-eh, mau ngapain?"

"Ssssth!" desisnya. Pergelangan kakiku diurut dengan lembut penuh kasih. Sampai rasa sakitnya sedikit mereda. Aku bahkan nyaris ketiduran saking keenakannya. Perlakuan manisnya yang seperti ini membuatku semakin takut kehilangannya.

*****

"Asyiiik. Udah keramas nih, yeee?" godanya.

Aku tak memedulikan ocehannya dan terus fokus mengeringkan rambut. Memakai vitamin rambut. Tahap terakhir sisiran. Selesai.

"Khem, udah selesai ya, Mbak?" tanyanya sambil menyikut sisi lengan ini.

"Kamu gak liat udah selesai dari tadi mandinya?" Sengaja pura-pura polos.

"Bukan selesai ituuu ...."

"Apa?!"

"Ngegas muluk! Heran. Itunyaaa."

"Apaan sih, Cil? Gak jelas banget!" sungutku. Lantas keluar kamar. Dia mengekor.

"Itunya loh, Mbak. Ituuu ... eum, apa namanya?" Dia lanjut mendesis berpikir, "Eum, datang bulannya udahan?"

"Udah."

"Yes!" Dia berselebrasi melompat ke udara sambil mengepalkan tangan. Aku mendadak gugup lagi. Akankah, malam ini gawangnya jebol? Gegas aku menggeleng menepis pikiran yang mulai ngawur. Ke dapur membuat kopi, tapi terus direcokin sama si bocil. Dia tak bosan-bosan menggoda dan menjahili.

*****

"Gimana, udah siap belah duren belum?" Aku terbatuk mendengar dia nyeletuk begitu.

"A-apa?"

"Belah duren! Be-lah du-ren!" terangnya penuh penekanan.

"Gimana kalau be-sok aja."

"Kok besok sih, maunya sekarang." Dia kekeh.

"Tap-tapi ...."

"Tapi apa lagiii? Banyak alasan terus. Sekarang mau alasan apa lagi?"

"Eum, bukan gituuu. Cuma kan, eum, eng ...."

Dia berdecak, lalu berdiri dan berlalu ke dapur. Beberapa saat kemudian kembali lagi menenteng pisau besar. Apa yang akan dia lakukan? Apa dia marah?

"Kamu ngapain bawa-bawa pisau?"

"Mau belah duren lah!"

"Sadis banget belahnya pakai pisau?"

"Ya terus pake apaaa?" Dia berlalu ke teras, dan kembali membawa buah durian. Aku nyengir garuk tengkuk yang tidak gatal. Duh, otakkuuu. Ternyata dia mau belah buah durian yang tadi dibeli di kang buah keliling. Tak pikir mau .... Eh!

"Masa pake tangan begini?" lanjutnya sambil memperagakan. Aku nyengir. Dia menatapku penuh selidik. Kemudian terkekeh.

"Oh hohoho, aku tahuuu. Jadi, tadi Mimu pikir belah duren ...." Matanya menguliti tubuh ini. Cepat kuraup wajahnya.

"Kondisikan otaknya!" bentakku. Dia terbahak.

"Dih, lagi nasehatin diri sendiri ya, Kak?" cibirnya. Aku tersipu. Pura-pura ngecek hp, padahal gak ada notifikasi. Salah tingkah. Dia masih terkekeh sambil mulai membelah durennya. Aroma khasnya pun menguar membuat tenggorokan naik turun. Air liur langsung meleleh.

"Sekarang untuk pemanasan eksekusi duren yang ini dulu. Nanti baru eksekusi duren yang letaknya tersembunyi," celetuknya. Aku mematung, mataku bergerak ke kiri dan kanan. Kok merasa ngeri, ya?

"Dasar mes*m!" Kuacak rambutnya, dia terkekeh. Tangannya masih sibuk membelah buah durian.

"Situ yang mulai duluan," jawabnya tak mau kalah.

*****

"Ayolah, Mbaaak! Mau ya, ya, ya! Please! Itung-itung bulan madu," katanya memohon.

Memang sih, beberapa malam sudah terlewati, meski sudah tidur sekamar, tapi kami masih belum melakukan ritual suami istri. Kami selalu saja dilanda rasa gugup saat akan memulai. Jika tidak dia yang mendadak sakit perut dan bolak-balik ke toilet, maka aku yang mendadak sakit. Entah kepala, perut atau asam lambung naik. Pokoknya selalu saja ada kendala saat akan bercinta.

Mungkin benar, kami butuh suasana yang beda. Kebetulan ada salah satu teman si Bocil yang dulu sama-sama tinggal di Panti, dan sekarang sudah diangkat anak oleh keluarga kaya raya setara sultan, mengajak kami untuk turut serta liburan ke pulau pribadinya. Aku rasa tak ada salahnya jika mengikuti kemauan si  Bocil untuk menghargai ajakan sahabatnya itu.

Kemarin, sahabatnya si Bocil mengajak bertemu di Panti. Aku dan suami pun datang ke Panti. Di sana obrolan tentang liburan ke pulau pribadi itu terjadi. Kata sahabatnya si Bocil, liburan ini sebagai hadiah pernikahan karena waktu kami nikah tak sempat hadir.

Aku pun akhirnya setuju untuk ikut setelah ingat ucapan Ibu Panti yang menyarankan agar kami ikut. Tak bisa dipungkiri, aku memang butuh refreshing juga. Setiap hari dihadapkan dengan rutinitas yang itu-itu saja, bosan juga.

"Yes!" serunya setelah aku mengangguk setuju ikut liburan. Dia pun langsung menghubungi sahabatnya.

"Halo, Bro! Gimana?" jawab sahabatnya, Ali namanya. Telepon di speaker sehingga aku bisa mendengar obrolan mereka dengan jelas.

"Bini gua mau ikut liburan jadinya."

"Wah, oke. Bakal seru nih, kalau gitu. Oke, besok hari Jumat sore aku jemput. Share lokasi aja!"

"Siap, Bro! Ya udah, sampek ketemu hari Jumat sore, ya!"

"Siip." Telepon pun terputus. Bocil langsung ajak aku buat packing.

"Emang harus sekarang banget, ya?"

"Ya, sekarang lah, Mimuuu."

"Ini masih hari Rabu malam. Besok masih hari Kamis, Ciiil. Masih banyak waktu buat packing. Elah!"  Dia menarik lenganku dan maksa banget ngajak packing malam ini juga. Ck, se-antusias itu dia.

*****

Hari yang ditunggu telah tiba. Bocil sudah menyuruhku cepat mengunci pintu, dan kami menunggu kedatangan Ali di teras. Tak lama ada sebuah mobil pajero berwarna putih berhenti di depan pagar.

"Itu kali si Ali!" seru si Bocil sambil berdiri dari duduk. Aku juga menyusul berdiri.

"Argh! Ngapain sih, dia ke sini? Bikin hancur mood aja!" gerutunya saat yang keluar dari dalam mobil itu ternyata wanita yang telah melahirkannya. Ibu.

Setelah beberapa waktu tidak ke sini, dia bertandang lagi. Entah apa rencananya kali ini? Mungkinkah mau membujuk si Bocil untuk tinggal dengannya lagi? Atau bakal terang-terangan menyuruh putranya untuk menceraikanku kali ini? Atau ... akankah wanita itu mengambil si Bocil dariku secara paksa seperti di mimpi kala itu?







SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang