Tertembak

453 40 3
                                    

Aku tersentak oleh hendel pintu yang bergerak. Nita melirikku ketakutan. Detik kemudian pandangan kami sama-sama tertuju ke arah pintu menunggu siapa pembukanya. Nita meraih tanganku, dan menggenggamnya erat.

"Kak, aku takut," lirihnya tertahan.

"Tenang. Oke!" Aku usap punggung tangannya. Jantung ini berdebar tak keruan menunggu siapa yang akan muncul. Genggaman tangan Nita kian erat saat pintu mulai terbuka sedikit dan daun pintunya terbuka perlahan semakin lebar. Sejurus kemudian tampaklah siapa pembukanya. Mataku membulat tak percaya. Mulut menganga lebar.

"Bociiil!" teriakku. Dia mendesis sambil menempelkan telunjuk di bibir memberiku isyarat agar jangan berisik. Cepat aku berlari mendekatinya dan menghambur ke pelukannya. Dia mulai bertanya keadaan dan kabar, juga memeriksa seluruh tubuh ini.  Nita tertegun di tempatnya.

"Aman. Gak ada yang luka, kok," terangku.

"Aku gak nyangka kamu bisa nemuin keberadaanku?" imbuhku.  Kutumpahkan air mata dalam dekapannya. Dia mengusap lembut puncak kepala ini, dan dikecupnya kening ini berulangkali. Lantas membingkai wajah ini dan diusapnya air mata yang membasahi pipi.

"Aku pasti akan menemukanmu," katanya penuh percaya diri sambil menatap mata ini lekat. Aku tersenyum bangga padanya. Kamu memang lelaki terhebat, Bocil. Aku lanjut memeluknya lagi.

Detik kemudian dia melepaskan pelukan dan pandangannya tertuju ke arah Nita berada. Lantas menatapku, sorot matanya seolah meminta penjelasan padaku akan siapa gadis itu. Aku pun menjelaskan semuanya.
Nita pun mendekat dan berjabat tangan, mereka berdua saling menyebutkan nama.

"Ini, suami Kak Safa?" Aku mengangguki tanya yang Nita lontarkan. Dahi Nita berkerut samar. Mungkin dia merasa aneh dengan perbedaan usia kami yang begitu kentara. Tapi, gadis itu memilih mengangguk samar dan tidak bertanya lagi.

"Kita harus secepatnya keluar dari sini!" lirih suamiku. Aku dan Nita mengangguk setuju.

"Ikuti aku, ya!" ujarnya. Lagi, aku dan Nita mengangguk. Dia mulai melangkahkan kakinya perlahan menuju ke depan pintu.

"Jangan berisik!" katanya lirih sambil menoleh ke arahku dan Nita. Aku dan Nita mengangguk lagi. Dia menoleh ke sana kemari memastikan keadaan. Aku juga ikut menoleh mengamati situasi. Pun dengan Nita.

"Ayo, lewat sini!" ajaknya sambil melambai agar aku dan Nita mengekori. Kami bertiga berjalan mengendap-endap. Menyelinap ke balik tembok, lemari, meja, atau barang-barang yang kami lewati lainnya. Saat dirasa aman, kami melanjutkan langkah dengan penuh kehati-hatian.

Dengan sigap bocil menarik lenganku juga lengan si Nita untuk bersembunyi di balik rak buku saat ada seorang pria tengah berjalan ke arah kami. Aku membungkam mulutku kuat-kuat, panik. Jantung seolah siap terlontar keluar dari tempatnya.

Aku menghela napas lega saat keberadaan kami tak terdeteksi oleh pria berkepala plontos yang baru saja melintas. Bocil keluar duluan dari persembunyian, mengamati situasi dan kembali melambai memberi isyarat kepada aku dan Nita agar mengikuti langkahnya.

Cepat, kami bertiga bersembunyi di balik tembok saat sampai di sebuah ruangan yang ternyata di tempat itu beberapa pria tengah berkumpul dan sedang bermain kartu. Sialnya, aku terpisah dari suamiku dan Nita. Mereka berdua menyelinap ke sisi lain.

Aku mengintip sedikit. Bocil memberiku isyarat agar bersembunyi di belakang daun pintu. Aku pun nurut.

Tak berselang lama, pria yang berkepala plontos datang. "Tawanan kabur!" teriaknya memberitahukan kepada yang lain.

"Apa?!" sahut pria lain yang berambut gondrong. Aku bisa melihat mereka dari celah pintu. Sejurus kemudian keenam pria itu pun berpencar mencariku dan Nita pastinya.

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang