Hilang Kontak

752 58 5
                                    

"Eum, dia cuma gantiin Pak Broto untuk sementara waktu aja, kok," jelasku setelah tercipta jeda beberapa saat. Kudengar dia menghela napas.

"Kita lihat sampai tiga hari ke depan, kalau dia masih stay di sana, aku bakal resign. Janji!" Kuacungkan kelingking ke hadapannya. Dia menghela napas panjang, kemudian menatap lesu jariku yang mengacung. Kemudian menautkan kelingkingnya.

"Tapi, mulai besok Mbak harus lebih waspada. Gak usah lembur-lemburan. Jangan mau kalau diajak sama dia ke mana pun. Mau itu alasan pekerjaan sekali pun, jangan mau!"

"Iyaaa. Aku udah belajar dari pengalaman hari ini, dan gak akan jatuh ke lubang yang sama." Dia mengangguk. Janji kelingking pun terlepas.

"Besok, aku bakal jemput Mbak lebih awal. Jadi, gak usah pesen taksi atau ojek online, ya!" Aku mengangguk patuh.

******

Katanya mau jemput lebih awal, tapi sudah jam 5 sore lebih, Bocil belum juga datang. Ponselnya juga gak bisa dihubungi. Ada apa degan itu bocah?

Untung saja hari ini Eza tidak ke kantor. Pasti dia tidak berani menampakkan batang hidungnya karena malu mukanya pada bonyok. Atau ... jangan-jangan dia sedang menyusun rencana baru? Ah, entahlah! Semoga saja kejadian semalam membuatnya kapok dan semoga tidak membuatnya semakin tak terkendali. Huf, semoga saja.

Sudah jam setengah enam sore. Sebentar lagi petang. Kalau tetap nunggu si Bocil, bisa kemaleman nih, pulangnya. Dia kenapa, sih? Katanya mau jemput lebih awal, tapi kok sampai jam segini belum nongol? Apa motornya bermasalah?

"Kenapa masih di sini, Mbak?"

Aku menoleh ke pemilik suara. Pak Sapto rupanya mau pulang ganti sif dengan satpam lain.

"Masih nunggu jemputan, Pak."

"Jam segini belum dijemput? Ini udah sore banget loh, Mbak. Sebentar lagi bakal susah nyari angkutan umum. Mending bareng aku aja, yuk! Saya anter sampek di pangkalan ojek. Mau?"

Aku menolak tawarannya dengan sopan. Memilih pesan taksi online saja. Aku mengangguk mengiyakan saat Pak Sapto pamit duluan. Tak berselang lama taksi yang aku pesan datang juga. Sepanjang perjalanan batinku gemuruh dipenuhi pertanyaan akan kenapa dan di mana suamiku.

Sampai rumah usai membayar. Aku langsung memasuki halaman depan. Masih gelap. Lampunya belum nyala, padahal sudah waktu Magrib. Berarti Bocil belum pulang. Lalu ke mana dia?

Gegas aku masuk. Mandi dan ganti baju. Kucoba hubungi dia lagi, tapi tetap gak bisa. Operator yang jawab. Katanya nomornya sedang berada di luar jangkauan. Rasa cemas dan takut menyergap. Ini pasti ada apa-apa, nih. Gak biasanya dia begini.

Gegas kusahut tas mini, dan jaket. Keluar rumah berjalan tergesa ke ujung jalan. Mencari kendaraan umum. Saking panik dan cemasnya, sampai lupa pesan taksi atau ojek online. Malah mencegat kendaraan umum. Setiap yang lewat sudah full penumpangnya. Kucoba buka aplikasi pemesanan taksi dan ojek online, ternyata lagi eror. Argh! Sungguh hari yang kusut!

"Ojek, ya?" tanyaku setelah berhasil mengehentikan pengendara motor.

"Iya, Mbak, bener, tapi saya mau jemput penumpang."

"Eum, bisa dicancel aja gak, Mas? Saya dalam keadaan urgen ini. Tolong antar saya ya, Mas! Please!"  Aku sudah menangkupkan tangan di hadapannya, tapi Kang ojek itu tetap menolak permintaanku dan melanjutkan perjalanannya menjemput penumpang lain.

Kucoba hubungi ponsel si Bocil. Tetap tidak bisa. Rasa cemas kian memuncak. Air mata lolos begitu saja. Aku takut ini semua ada kaitannya dengan perbuatan Eza.

Sekali lagi kucoba menyetop taksi yang lewat. Aku menghela napas lega dan bersyukur, akhirnya dapat tumpangan juga.

"Maaf, mau diantar ke mana, ya, Mbak?"

"Ke Bengkel Podo Moro, Pak! Tolong agak cepet, ya, Pak!"

"Oh, siap, Mbak!"

Sampai di depan bengkel, sudah sepi. Tidak ada aktivitas di sana. Bengkelnya juga sudah tutup. Lalu ke mana perginya si Bocil?

Kucatat nomor WhatsApp milik owner bengkel ini yang tertera di banner. Lantas mencoba menghubunginya. Beberapa kali kucoba telepon, tapi tidak diangkat.

Setelah nyaris putus asa. Akhirnya pemilik Bengkel Podo Moro telepon balik. Gegas kuangkat dan memperkenalkan diri. Kemudian kutanyakan akan keberadaan si Bocil.

"Loh, memangnya Mbak Safa belum dikabari?"

"Kabari apa, ya, Pak?"

"Soal suami Mbak, yang ...."

Telepon tiba-tiba terputus. Entah apa masalahnya? Kucoba telepon lagi, tapi nomornya sedang sibuk. Mungkin panggilan kami berbenturan. Lantas kucoba diam sejenak menunggunya menelepon lagi.

Gegas kuangkat saat telepon berdering.

"Pak, suami saya kenapa?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Suami Mbak, kan, ditangkap polisi siang tadi." Seketika lutut ini rasanya lemas seolah hilang tulang kakiku. Tangan gemetar.

"Eum, me-memangnya suami saya salah apa, Pak?" Suaraku mulai tidak stabil. Dadaku sesak.

"Dia didakwa atas tuduhan penganiayaan dan pencemaran nama baik, Mbak."

Badanku terhuyung ke belakang. Untung bahuku dipegangi sopir taksi yang turut turun. Mungkin setelah melihat gelagat aneh pada diriku.

"Mbak kenapa? Sakit? Kok gemeteran begini?" Aku hanya mangap-mangap persis seperti ikan terdampar. Otakku nge-blank. Gak tahu lagi mesti gimana dan berbuat apa. Fiks, pasti ini semua ulah Eza. Argh!

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang