Sekamar

1K 75 41
                                    

Aku terkesiap saat dia melambaikan tangan di depan wajah ini. Tersadar dari lamunan. Menatapnya tak percaya. Ini bukan mimpi kan, dia beneran udah pulang? Seriusan?!

"Hei, Mbak kenapa sih, bengang-bengong? Segitu kangennya ya, sama aku? Iya? Hmmm?" Dia menaik-turunkan alisnya, "Kenapa? Aku makin ganteng ya, Mbak?"

"Mbak, hei, kedip Mbak! Kedip!" Dia meniup wajahku, "Wah, sawanan ini kayaknya istriku karena kelamaan ditinggal."

"Aku takut, Cil."

Dia berbalik melihat ke arah pagar. Kemudian memonitor sekeliling. Lantas kembali menghadapku. "Takut apa?" Dia memegang kedua sisi bahuku.

"Takut kalau aku berkedip, kamu ilang lagi."

Dia terbahak. "Emang Mbak pikir aku ini makhluk halus yang bisa ngilang dalam sekejap mata? Hah?!" Dia lanjut mencubit gemas kedua sisi pipi ini. Asli, dia beneran sudah pulang rupanya.

Aku tabok, dia mengaduh. Aku cubit, dia teriak kesakitan dan mengusap-usap bekas cubitanku. Lantas menatapku keheranan. Aku nyengir membentuk huruf V dengan jari.

"Mbak kenapa sih, suami pulang bukannya disayang malah dianiaya!" sungutnya. Gegas aku peluk dia erat. Air mata bahagia  lolos begitu saja.  Dia membalas pelukanku, mengusap pucuk kepala ini lembut.

"Udah dong, suami pulang malah disambut pakai air mata. Buatin kopi kek, tawarin makan. Haus dan laper, nih."

Aku tak peduli meski dia terus nyerocos. Rasanya aku takut melepaskan pelukan. Takut dia ilang lagi.

"Mbak!"

"Mbak!"

"Diem!" bentakku.

"Bukan apa-apa, Mbak. Masalahnya ini ...."

"Apa?!" sungutku masih sambil memeluknya.

"Lepasin dulu ya, pelukannya. Nanti deh, mau peluk atau apain aja hayuk. Sekarang lepas dulu ya, bentar!"

"Gak mau!"

Dia terkekeh. "Ciyeee, ada yang takut ditinggal lagi, ya? Segitu kangennya, kah?"

Aku tak peduli dengan ledekannya. Mungkin sebaiknya aku mulai jujur dengan perasaanku sendiri. Aku udah capek membohongi diri sendiri. Mulut bilang gak suka, tapi hati ini sebenarnya suka pake banget. Tapi, gimana ngomongnya ke Bocil? Malu.

"Mbak, aku sih, seneng. Bahkan suuueneng banget Mbak meluk begini, cumaaa ...."

"Cuma apa?"

"Kasian Kang Ojeknya nungguin jaket sama helmnya," bisiknya. Gegas aku lepaskan pelukan. Nyengir malu ke tukang ojek yang sedari tadi berdiri di belakang si Bocil. Kemudian berlari masuk kamar, keluar lagi menuju dapur. Aduh, jadi bingung gak tahu mau ngapain. Salah tingkah.

Jantungku berdebar-debar saat kudengar Bocil menutup pintu depan. Duh, aku mesti gimana sekarang? Mendadak pengen tampil rapi di depan suami. Kurapikan rambut dan juga baju. Kuhela napas panjang dan embuskan perlahan, berulang kali.

Mendengarnya melangkah kemari, aku semakin gugup dan salah tingkah. Pura-pura sibuk di dapur. Niat hati mau rebus air untuk bikin kopi, malah salah narok wajah ke atas kompor. Tapuk jidat, melirik si Bocil yang kini sudah berdiri di samping.

"Mau masak apa, Mbak?"

Aku mengulum bibir, berusaha menstabilkan detak jantung yang jedag-jedug laksana musik dj. Badan juga mendadak gemeteran. Mindahin wajan jadi kentara banget kalau lagi gemeteran.

"Mbak kenapa? Sakit? Kok gemeteran gitu?" tanyanya, detik kemudian dia menarik bahuku agar menghadapnya. Ditempelkan ke kening dan leher ini punggung tangannya.

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang