Sambungan Terputus

300 29 3
                                    


"Ransel apa yang Anda maksud?" tanyaku tak paham.

"Jangan berlagak pilon!" hardiknya sambil menunjuk wajah ini. Aku terpejam merasa ngeri dan memalingkan wajahku. Takut kena gampar lagi.

"Saya sungguh tidak tahu ransel apa yang Anda maksud," tegasku.

Lagi, pria itu menunjukkan foto ransel hitam. Aku mengamati secara saksama. Kemudian berpikir keras. Mengingat apa si Bocil pernah membawa ransel itu, tetapi aku tidak ingat apa pun.

"Dia pernah bawa ransel ini pulang atau tidak?" tanyanya dengan nada meninggi. Geram mungkin. Aku menggeleng. Pasalnya seingatku, suamiku itu tidak pernah membawa ransel hitam seperti di foto belakangan ini.

"Jangan bohong!" bentaknya sambil menggebrak kasur. Aku berjingkat kaget.

"Aku tidak berbohong. Sungguh, aku tidak pernah melihat suamiku membawa ransel macam itu!" tegasku berusaha meyakinkan.

Pria itu berdiri, menyugar rambutnya dan mendengus kesal. Dia lantas menatap temannya yang berdiri di dekat pintu seolah bertanya 'ini gimana' menggunakan gerakan wajah. Sedang pria di dekat pintu sana mengedikkan bahu tanda tak tahu.

"Argh!" erang pria di hadapanku sambil mengacak rambutnya. Frustrasi.

"Memangnya apa isinya?" tanyaku memberanikan diri. Namun, tidak mendapat jawaban. Kedua pria itu malah pergi setelah menatapku dengan tatapan sinis.

*****

Terhitung sudah dua hari dua malam aku terkurung di rumah megah ini. Sampai sekarang belum terjawab mereka itu siapa. Wanita paruh baya yang biasa mengirim makanan ke kamarku pun tak pernah menjawab saat kutanya 'siapa mereka.' Wanita itu bungkam seribu bahasa.

Aku sudah berusaha merayu dengan kata-kata dan tampang memelas guna meminjam ponsel pada wanita paruh baya yang belakangan aku tahu bernama Mira itu. Namun, tak pernah berhasil. Dia menolak meminjamkan ponselnya.

Sampai akhirnya aku harus menggunakan caraku sendiri supaya mendapatkan ponselnya yang diletakkan di saku celana itu. Aku beraksi layaknya seorang copet. Percobaan pertama gagal. Aku tidak menyerah, terus melakukan percobaan sampai akhirnya berhasil. Ponsel telah berpindah ke tanganku dan wanita itu tidak menyadarinya.

Ini sudah hari kelima aku disekap di sini dan sampai kini belum ada tanda-tanda orang datang mencariku. Entah bagaimana kondisi si Bocil di luaran sana. Aku sudah sangat lelah terus menangis dan berharap akan adanya keajaiban.

Aku mengeluarkan ponsel dari bawah bantal. Mencoba membuka kuncinya. Aku hanya bisa mengumpat, ternyata menggunakan pola sandi. Sudah aku coba berbagai pola dan belum terbuka juga.

Cepat-cepat aku sembunyikan ponsel ke dalam sarung bantal saat hendel pintu bergerak-gerak. Detik kemudian pintu terbuka. Ternyata wanita paruh baya itu yang datang bersama dua orang pria. Mereka saling bantu mencari ponselnya.

"Coba ditelepon saja!" ujar salah satu pria. Mataku membulat, jantung berdebar tak menentu. Bagaimana kalau ponselnya berdering. Mampus aku!

Pria itu mencoba menelepon. Aku terpaku menikmati debaran dalam dada. Mau bernapas seolah tak bebas. Tertahan. Sementara pria satunya dan wanita itu menajamkan pendengaran.

"Nyambung, tapi kok nggak ada suaranya, ya?" ujar pria yang sedang menelepon. Lantas menunjukkan layar ponselnya. Aku menghela napas lega. Sedang wanita itu menepuk jidatnya.

"Ah, iya. Ponselnya aku silent," sahut wanita itu. Kedua pria mendengus kesal, lanjut geleng-geleng.

"Susah kalau gitu ceritanya," celetuk pria satunya.

"Terus gimana, dong?" rengek wanita itu pasang wajah masam. Kedua pria kompak mengedikkan bahu.

"Coba sekali lagi kita cari," ujar salah satu pria. Mereka bertiga kembali mengobrak-abrik seisi kamar ini. Lagi, jantungku berdegup tak menentu saat tangan salah seorang pria meraih bantal yang di dalamnya terdapat ponsel itu.

"Coba geledah dalamnya!" titah pria satunya. Pria yang memegang bantal itu mengangguk dan tangannya mulai menyelusup masuk ke dalam sarung bantal. Tamatlah riwayatku.  Aku menunduk merasa ngeri.

Aku menghela napas lega saat ponsel pria yang hendak memeriksa dalam sarung bantal itu berdering. Dia menunda aktivitasnya, lantas mengangkat telepon.

"Siap, Boss!" pungkas pria itu lantas mematikan telepon. Kemudian meletakkan bantal secara asal di atas kasur.

"Kita ada tugas baru dari Boss. Kita semua diminta turun ke lantai bawah," terangnya sambil memasukkan ponsel ke saku celana jeans.

"Terus ponselku gimana?" tanya wanita itu.

"Sudah, kita cari lagi nanti. Kita turun dulu temui si Boss. Jangan sampai dia murka," jawab salah seorang pria.

Aku terduduk di tepi kasur yang sudah berantakan. Mengelus dada dan menghela napas lega. Lantas mengeluarkan ponsel itu kembali mencoba membuka pola sandinya. Namun, tetap gagal dan ada notif bahwa sudah lebih dari tiga kali percobaan. Baru bisa dicoba lagi setelah beberapa saat. Aku menunduk lesu. Pupus sudah harapanku. Makin ciut saat melihat penampakan baterai yang menipis.

Aku berselebrasi layaknya habis menang lomba saat pola sandi akhirnya berhasil aku buka. Cepat-cepat aku ketik nomor si Bocil. Panggilan pertama tidak diangkat, pun yang kedua dan ketiga. Aku mulai geram. Daya baterai di bawah lima persen. Peringatan agar segera disambungkan ke charger terus berdenting.

"Halo." Aku mengucap syukur dalam hati saat akhirnya suara si Bocil terdengar di ujung telepon sana. Mata ini berkaca-kaca dan dada terasa sesak.

"Halo, ini aku," kataku parau.

"Ha-halo. Ini Mimu?"

"Iya." Air mataku mulai menetes aku terisak. Kudengar dia sangat girang di ujung telepon sana. Berulangkali mengucap syukur.

"Kamu apa kabar?" tanyaku di sela isakan.

"Aku baik. Kamu sendiri gimana kabarnya dan ada di mana?"

"Aku di ...." Sambungan telepon terputus. Baterai habis dan detik kemudian layarnya gelap. Ponsel mati. Aku tertunduk lesu duduk di tepi kasur. Layu sudah harapanku.

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang