Danau Banyu Biru

739 40 6
                                    


Motor berhenti  di tepi danau. Aku turun, membuka helm, melangkah perlahan. Mataku memonitor sekeliling. View-nya sangat bagus. Di hadapanku terdapat sebuah danau dengan air biru yang tenang. Sementara di sekelilingnya terdapat rumput hijau. Sangat menyejukkan mata. Suasananya juga tenang, jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Desau angin dan suara burung laksana musik pengiring yang mendamaikan jiwa.

Kupejamkam mata, merentangkan tangan, menghirup udara sejuk ini dalam-dalam. Embuskan perlahan. Kubiarkan semilir sang bayu membelai rambut. Sampai rasanya, hatiku sangat tenang. Semua beban seolah menghilang. Ringan.

Aku sontak membuka mata, saat kurasakan ada yang menyelipkan jarinya pada tanganku yang masih terentang. Bocil menyelipkan jarinya ke sela jariku, berdiri di belakangku.

"Apaan sih, Cil?" sungutku.

"Biar kayak di film Titanic, itu loh, Mbak."

"Lihat, deh, Mbak, air danaunya biru banget, ya? Sebiru itu juga cintaku padamu, Mbak. Tulus, suci dan murni tanpa tapi."

Aku naif banget memang. Padahal suka sama keromantisannya, tapi malah memilih menjauh darinya. Antara hati dan logika gak sinkron. Aku lantas duduk memeluk lutut beralaskan rumput hijau. Memandangi air danau yang beriak kecil akibat tiupan sang bayu. Sungguh, sore yang indah. Terlebih mentari sedang bersembunyi di balik mendung, jadi tidak terik. Antara cuaca dan suasana sangat sinkron.

Dia menyusul, turut duduk di sebelah. Memasang gaya yang sama. Memeluk lutut. Saat aku meliriknya, dia pun melirikku. Detik kemudian dia merubah posisi duduknya menjadi bersila. Satu tangannya menopang pipi sebelah kanannya, wajahnya miring menatapku lekat. Lama-lama salah tingkah juga dilihatin sama si Bocil tanpa berkedip.

"Kamu kenapa sih, Cil, gitu banget liatinnya?" sungutku memalingkan wajah.

"Abis, Mbak itu cuantik bwanget, sih!"

Hatiku berdesir mendengar pujiannya itu. Aku meliriknya sekilas. Lalu kembali menatap danau yang menenangkan jiwa.

"Makasih. Dari lahir emang udah cantik begini," balasku.

"Pantesan ya, Mbak, aku langsung klepek-klepek. Asli sih, aku itu merasa  beruntung banget bisa menikahimu, Mbak."

"Tapi aku merasa sial tau gak, sih! Kenapa ya, kok bisa aku mau aja dinikahi sama bocil tengil bin nyebelin kayak kamu?"

"Ha ha ha, itu karena emang pesonaku itu bisa menghipnotis siapa saja, Mbak. Mulai dari yang muda, bahkan sampai nenek-nenek kalau lihat aku tuh, pada kesengsem." Tengil bin narsisnya kumat. Sekarang malah semakin naik level kayaknya.

"Oh, termasuk cewek yang ngajak kamu ngobrol di parkiran kafe tadi, ya?" ceplosku.

"Nah, iya, itu salah satunya, Mbak. Tahu gak, Mbak?"

"Enggak!" selaku.

"Kan, belum selesai aku ngomongnyaaa."

"Udah deh, Cil, kamu itu mending diem!"

"Dengerin dulu, Mbak. Mbak harus tahu, cewek di kafe tadi itu, namanya Tere."

Entah kenapa, aku kesel denger dia nyebutin nama cewek itu.

"Dia teman sekelas pas sekolah kemarin. Nah, si Tere itu sebelum kelulusan nembak aku, Mbak."

Asli, semakin kesel dengernya. Lagian tuh, cewek centil banget sih, nembak cowok duluan. Gak tau malu banget! "Aku gak mau denger, Cil! Gak penting juga buat aku!"

"Dengerin duluuu!" titahnya.

"Stop! Aku gak mau denger, Cil!" Kututup telinga dengan kedua telapak tangan. Argh! Lagi-lagi aku naif. Padahal aslinya pengen tahu dia menerima tembakan cewek tadi apa enggak. Ck!

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang