Terjebak

465 40 1
                                    

Mobil akhirnya berhenti juga setelah melakukan perjalanan lumayan agak lama. Sejurus kemudian penutup kepalaku dibuka oleh seorang pria. Pun penutup kepala dengan gadis di sebelahku.

"Ayo, turun!" teriak salah satu pria yang berbadan tegap dan berkepala plontos. Lengan kekarnya menarik pundak ini agar turun. Lumayan kasar dan terasa sangat erat serta sakit. Namun, rintihan kesakitanku tak dihiraukannya.

Aku dan gadis yang belum kuketahui namanya itu didorong secara paksa memasuki sebuah rumah. Rumah yang berukuran lumayan besar dan bertingkat dua. Sampai di depan sebuah kamar, langkahku ditahan agar berhenti. Salah satu pria membuka kunci pintu. Sedang pria lainnya membuka tali yang mengikat tanganku juga tangan gadis berambut panjang sepinggang di sebelah. Setelahnya kami berdua didorong masuk ke dalam kamar dan dikunci.

"Hei, buka!" teriakku setelah kubuka kain yang menyumpal mulut ini. Gadis di sebelah juga melakukan hal yang sama, tapi tampaknya para pria asing itu tak menghiraukan teriakan kami.

Aku lelah terus berteriak. Lantas memutuskan duduk di lantai bersandar daun pintu dan memeluk lutut. Sementara gadis di sebelah masih saja berteriak sambil menggedor pintu berwarna putih ini.

"Hei, sudah cukup! Duduklah!"

Tak lama dia pun akhirnya turut duduk di sebelah memasang gaya yang sama. Memeluk lutut. Dia terisak. Dari raut wajah dan sorot matanya dia terlihat sangat ketakutan.

Aku menghela napas panjang, berusaha menguatkan diri. Kemudian mengusap bahunya yang terguncang akibat isakkannya menyalurkan kekuatan juga ketenangan. Meski sebenarnya aku sendiri juga merasa takut.

Ya, ada banyak sekali ketakutan yang menyergap. Takut tak bisa pulang. Takut tak bisa bertemu lagi dengan si Bocil, dan banyak lagi. Air mataku akhirnya luruh jua saat senyum dan semua kejahilan si Bocil terbayang layaknya tayangan slide di benak ini.

Aku yakin, dia pasti khawatir dan cemas. Entah sekarang bagaimana kondisinya? Apa yang dia lakukan? Mungkin sedang kebingungan mencariku.

Kuusap air mata, dan kuhela napas panjang. Menoleh gadis cantik di sebelah, dia masih terisak. Kuusap bahunya guna menyalurkan ketenangan lagi.

"Sudah, jangan menangis! Kita harus menghemat energi untuk berusaha bebas dari sini." Gadis itu menoleh dan menatapku dengan mata merahnya.

"Maafkan aku, ya, Kak. Gara-gara aku, Kakak jadi terbawa-bawa," lirihnya parau.

"Sudahlah. Mungkin memang sudah takdirnya kita harus sampai sini. Oya, namamu siapa?"

"Aku Nita, Kak." Dia terisak lagi.

"Aku Safa. Sudah dong, nangisnya. Kita pindah duduk ke sana, yuk!" ajakku menunjuk atas ranjang. Dia mengangguk. Aku berdiri dan menuntunnya. Kami duduk bersisian di atas ranjang. Kubiarkan dia melanjutkan tangisnya sampai puas dan tenang.

"Oya, sebenarnya pria tadi itu siapa? Kamu ada masalah apa sama mereka?" cecarku setelah Nita agak tenang.

Dia menggeleng. "Aku juga gak kenal, Kak."

"Terus, kenapa bisa dibawa sama mereka begini?"

"Aku juga gak tahu, Kak. Jadi, ceritanya aku datang ke taman itu mau bertemu dengan seorang cowok yang aku kenal via medsos,  tapi pas baru sampe di pinggir jalan langsung ada mobil berhenti di sebelahku terus aku dibekap seperti yang Kakak lihat tadi," jelasnya. Suaranya terdengar parau lagi.

"Berarti kemungkinan ini sindikat penculikan."

Nita menggenggam lenganku erat, dia terlihat sangat ketakutan. "Terus nasib kita gimana, Kak?" Matanya meneteskan bulir bening lagi.

"Kita berdoa saja semoga ada keajaiban." Kugenggam tangannya yang dingin dan sedikit gemetar. Sepertinya dia sangat trauma dengan kejadian ini.

"Lain kali jangan mudah percaya sama orang yang baru dikenal via medsos, ya? Jangan mau kalau diajak ketemuan di sembarang tempat!" Nita mengangguk sambil terisak.

"Sekarang kita harus bagaimana, Kak?" tanyanya di sela tangis. Tangannya masih menggamit lengan ini. Aku melihat ke sekeliling. Ukuran kamar ini lumayan luas. Ada gorden lebar terbentang, yang aku yakini menutupi sebuah jendela. Juga ada sebuah pintu beberapa langkah di sebelah kiri ranjang ini.

"Sebentar ya, coba aku mau periksa dulu ada jalan keluar gak?" Kulepaskan tangannya yang mencengkeram lengan ini. Aku lantas bangkit dan melangkah mendekati gorden. Usai kusibak, tampaklah jendela kaca yang sangat lebar. Sayangnya jendelanya permanen, tak bisa dibuka dan ditutup. Lagian gak mungkin juga para penculik itu sebodoh itu. Pasti sudah diperhitungkan secara matang semuanya.

Aku coba memeriksa membuka pintu yang ada di sebelah kiri ranjang. Ternyata di baliknya ada kamar mandi yang lumayan luas juga. Terdapat shower dan bathup lengkap dengan peralatan mandi lainnya sepeti halnya sabun, sampo, odol dan lain-lain. Di kamar mandi ini juga tak ada celah yang sekiranya bisa dijadikan jalan untuk kabur.

"Gimana, Kak?" Nita menyusul masuk ke kamar mandi. Aku berbalik padanya dan menggeleng. Dia murung.

"Berarti kita gak bisa kabur dari sini, dong?" lanjutnya. Aku mengedikkan bahu.

"Kira-kira apa yang bakal dilakukan oleh orang-orang tadi pada kita selanjutnya, ya, Kak?" Lagi, aku mengedikkan bahu. Karena memang aku tak tahu bagaimana nasibku nantinya.

"Ya sudah, kita balik duduk atau istirahat aja dulu. Atau kamu mau mandi?" tanyaku. Nita menggeleng. Dia mengekoriku, kami pun kembali duduk di atas ranjang.

Aku naik ke tengah ranjang, duduk bersandar kepala ranjang, dan meraih guling lalu memeluknya. Lantas mulai berhayal dan berandai-andai si Bocil datang meyelamatkan layaknya di film-film. Ah, tapi rasanya tak mungkin. Entah dia bisa menemukan aku di sini atau tidak. Secara tadi dia tidak melihat saat aku dibawa kabur oleh kawanan penculik.

"Orangtuaku pasti cemas," lirih Nita, dia lanjut menunduk dalam. Ada gurat penyesalan di wajahnya. Mungkin dia menyesali kecerobohannya.

Ah, andai saja tadi aku langsung teriak sekuat tenaga, mungkin aku masih bersama lelakiku. Tidak di sini. Di tempat asing ini. Ck! Aku memang ceroboh dan bodoh.

"Suamiku juga pasti khawatir sekarang." Nita menoleh.

"Kakak sudah menikah?" Aku mengangguk.

"Maaf ya, Kak, gara-gara aku ... Kakak jadi harus terpisah sama suami Kakak." Aku tersenyum getir ke arahnya. Pura-pura kuat, padahal hati ini menangis pilu.

Nyatanya, baru sebentar saja terpisah dari si Bocil, aku sudah rindu. Apa lagi kalau ingat dia baru saja keluar dari rumah sakit. Bahkan lukanya masih perlu diobati secara rutin. Seharusnya saat ini waktunya membersihkan lukanya dengan obat merah dan alkohol. Entah dia ingat dan sempat membersihkan serta mengobati lukanya atau tidak? Kurasa tidak! Sebab dia pasti sedang mencemaskan aku dan mencariku.

"Kak!"

"Hmmm. Kenapa?" sahutku. Aku ikut tegang saat Nita pasang ekspresi cemas.

"Kalau ternyata orang-orang tadi mau mengambil organ tubuh kita dan dijual gimana?"

Aku jadi ikut memikirkan hal yang sama. Juga merasakan ketakutan yang sama. Kami pun terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing. Bagaimana kalau yang dipikirkan oleh Nita itu benar adanya?
Apa kisahku dan si Bocil bakal berakhir sampai di sini?

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang