Terkepung

439 46 8
                                    


Kurasakan ada yang menepuk-nepuk pundak ini. Terdengar suara orang memanggilku samar. Aku tersentak, dan mengamati sekitar. Dada ini rasanya masih sangat sesak.

"Hei, Kakak kenapa?" Nita menatapku penuh selidik. Dia kembali rupanya. Lalu di mana suamiku?

"Suamiku mana? Dia masih hidup, kan?"

Dahi Nita berkerut, matanya menyipit. "Suami?"

Cepat aku mengangguk. "Tadi dia ke sini nyelametin kita, terus dia ... dia tertembak dan gak napas." Tangisku pecah lagi.

Nita mengusap bahu ini. "Tenanglah, Kak! Sepertinya Kakak habis mimpi. Soalnya tadi Kakak tertidur."

Cepat aku mengusap air mata dan melongo tak percaya. "Jadi, aku tadi cuma mimpi?"

Nita mengangguk ragu. "Sepertinya begitu, Kak. Soalnya dari tadi  Kakak di sini dan belum ada yang datang menyelamatkan kita."

Aku menyugar rambut ke ke belakang. Mengusap air mata di pipi. Menghela napas lega berulangkali. Sepertinya aku terlalu berharap dia datang menyelamatkan aku, makanya sampai terbawa mimpi seperti barusan.

"Aku ke toilet sebentar, ya. Mau cuci muka," pamitku, Nita mengangguk.

Cepat-cepat aku membilas wajah saat kudengar suara gaduh di kamar. Saat keluar dari kamar mandi, sudah bertambah 3 gadis lagi. Aku terbengong di depan pintu toilet menatap gadis-gadis yang baru saja dimasukkan ke sini.

"Kalian siapa lagi?" tanyaku sambil memangkas jarak. Ketiga gadis yang aku perkirakan memiliki usia seumuran itu menangis.

"Duduk sini!" kataku sambil menepuk kasur. Mereka pun duduk, dan kubiarkan menangis dulu. Setelah tenang kuminta mereka memperkenalkan diri.

Gadis yang berperawakan tinggi semampai dengan kulit kuning langsat, dan rambut lurus sebahu diwarnai pirang mengaku bernama Lita. Lalu gadis yang berperawakan bohai berkulit sawo matang bernama Fifi. Sementara gadis yang berperawakan sedang, berkulit putih rambut diikat ala kuncir kuda mengaku bernama Ani.

"Kalian saling kenal satu sama lain?" tanya Nita kepada ketiga gadis itu. Ketiganya menggeleng. Kutanya lebih dalam lagi, dan ternyata modusnya sama. Mereka semua didekati via media sosial. Lalu dengan modus akan diajak ketemuan, kemudian diculik dan dibawa kemari. Entah apa tujuan para penculik itu menculik gadis-gadis muda ini? Apa ini sindikat perdagangan manusia?

"Ada yang bawa hp?" Mereka semua kompak menggeleng. Sama seperti kami, hp-nya juga diambil dan disimpan oleh para penculik tadi.

Tak berselang lama, knop pintu bergerak lagi. Detik berikutnya pintu terbuka. Seorang pria berambut cepak datang membawa nampan besar yang berisi makanan dan minuman.

"Ini, makanlah!" titahnya sambil meletakkan nampan itu di atas meja kecil samping ranjang. Kalau aku pukul, apa pukulanku akan terasa di badannya yang kekar dan berotot itu? Nanti kalau malah dia murka dan bertindak nekat bagaimana? Tidak! Tidak! Aku tidak boleh gegabah lagi.

"Sebenarnya tujuan kalian bawa kami ke sini ini untuk apa?" Pria itu tak menjawab tanyaku. Dia kemudian berlalu begitu saja meninggalkan kamar. Pintu kembali ditutup. Ketiga gadis yang baru saja datang masih saja menangis lirih. Aku dan Nita berusaha menenangkan mereka.

"Kita makan, yuk!" ajakku. Mereka terlihat ketakutan.

"Kalau makanan itu beracun bagaimana, Kak?" ujar Ani. Iya, juga ya, kalau benar beracun bagaimana? Kami diracuni agar mati terus nantinya diambil organ dalamnya seperti dugaan Nita?

Aku letakkan lagi piring yang semula sudah aku pegang ke tempat semula. Rasa ragu menyergap seketika. Akhirnya kami memilih menahan lapar daripada harus makan makanan yang tidak jelas itu.

Aku kembali menyibak gorden. Letak kamar ini di lantai dua. Dari kaca jendela yang lebar ini aku bisa melihat keluar. Di luar sana tampak sudah mulai gelap. Di sekeliling rumah ini terlihat sepi hanya ada pepohonan. Aku tak melihat adanya rumah lain. Mungkin ini semacam Villa yang terletak mencil. Tidak ada suara kendaraan lalu-lalang juga. Hanya ada suara nyanyian alam. Desau angin dan suara hewan liar.

Aku kembali duduk di atas kasur. Semua terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku sambil menahan perut perih karena lapar. Lagi, pintu dibuka dari luar. Kali ini pria berkepala plontos yang datang memeriksa.

"Loh, kenapa belum dimakan makanannya?" tanya pria itu. Matanya tertuju pada makanan di atas meja. Sejurus kemudian menatap ke arah kami berlima yang membisu.

"Makanan itu aman untuk dimakan. Makanlah!" titahnya.

"Dari mana kami bisa tahu kalau makanan itu aman dimakan?" tanyaku. Lelaki itu membuktikan dengan menyicip makanan sedikit-sedikit pada semua piring.

"Aman. Makanlah!" Pria itu membagikan piring ke hadapan kami satu-satu. Lalu keluar. Aku cepat-cepat melahap makanannya, karena sudah tak tahan dengan rasa perih di perut. Mulanya keempat gadis itu menatapku dengan tatapan ngeri. Mungkin ngeri aku kenapa-kenapa setelah makan.

"Aman, kok. Makan aja! Rasanya juga enak," kataku. Keempat gadis itu mulai meraih piringnya dengan ekspresi ragu, tapi akhirnya dilahap juga sampek tandas.

"Huh, amaaan, jadi nanti kalau mati kita mati semua," kataku.

"Kakaaaak!" teriak mereka berempat, lanjut manyun. Aku lanjut terbahak. Berusaha mencairkan suasana yang tegang.

"Aku masih muda gak mau mati dulu. Masih pengen nikah, berkarier," sahut Lita.

"Aku jugaaa," timpal tiga gadis lainnya kompak.

"Hmmm, kira-kira siapa ya, yang bakal datang duluan melamar, ajal atau jodoh?" godaku. Mereka berempat kembali merajuk dan berteriak.

"Jangan gitu dong, Kaaak!" sungut Ani.

"Iya deh, maaf. Aku doakan semoga kita semua bisa selamat dari sini dan ke depannya bisa hidup bahagia serta sejahtera." Mereka kompak mengamini.

"Woi! Keluar kalian semua!" teriak seseorang lantang. Kami berlima pun terdiam menajamkan telinga.

"Eh, suara apa itu?" lirih Nita.

"Sssth!" Ani mendesis sambil menempelkan telunjuk di bibir. Kami terdiam lagi.

"Keluar kalian!" Lagi, seorang pria berteriak. Suaranya terdengar tidak asing. Cepat aku turun dari ranjang dan melihat dari kaca jendela, tapi pemilik suara itu tidak terlihat. Dia berada di sisi lain rumah ini. Tak berselang lama terdengar suara motor yang sangat banyak mendekat kemari. Mengepung rumah ini. Kalau dilihat dari jaketnya yang senada, sepertinya mereka anak motor.

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang