Aku cuma bisa diam melihatnya memacu motor kian menjauh sambil menahan sesak. Setelah suamiku benar-benar tak terlihat, aku terduduk di kursi teras. Tangisku pecah."Kenapa, Mbak?"
Cepat-cepat kuusap air mata yang mengalir di pipi. Lantas melihat ke sumber suara. Di depan pagar sana ada tetangga yang sedang menatapku dengan tatapan prihatin. Aku menghela napas panjang, kemudian berdiri dan melangkah ke ujung teras.
"Enggak apa-apa, kok, Bu Rima," jawabku. Tetapi, Bu Rima tampaknya tak percaya begitu saja dengan jawabanku.
"Kalau gak papa kenapa nangis?" lanjutnya kepo.
"Eum, anu Bu, cuma baper aja abis nonton film layangan sobek," kilahku. Bu Rima ber-oh sambil mengangguk-angguk, lalu pamit pulang. Aku mengangguk mempersilakan.
*****
Menit berlalu berganti jam. Siang telah berlalu berganti malam, si Bocil belum juga pulang. Aku kian cemas dan hati terasa makin memanas terbakar cemburu. Prasangka buruk terus menghantui. Lagi-lagi aku cuma bisa mondar-mandir di ruang tamu. Sesekali menyibak tirai melihat ke luar. Sepi.
Aku cuma bisa mengomel sendiri saat mencoba meneleponnya dan nomornya tak aktif. Kukirim chat, pun tak dibacanya. Cuma centang dua abu-abu.
Kamu kenapa sih, Cil? Kenapa jadi begini? Aku benci situasi ini. Argh! Urung aku lempar ponsel saat terdengar denting notifikasi pesan masuk. Aku pikir si Bocil membalas pesanku, tetapi nyatanya bukan. Rupanya pesan dari Ulfa, teman kantorku.
[Fa, aku lihat suamimu lagi dinner romantis di kafe sama seorang cewek.]
Seketika rasanya dada ini bagai terhantam benda berat. Sesak dan sakit sekali. Terlebih saat Ulfa mengirim bukti foto dan memang benar itu suamiku. Sedang bersama seorang cewek muda dan cantik. Berbeda dengan wanita yang dia bonceng siang tadi. Entah, itu siapa lagi.
[Fa, mending kamu ke sini, deh, susulin dia dan labrak perempuan itu. Aku bakal dukung kamu. Cepetan, ya, aku tunggu!] Aku membaca pesan susulan dari Ulfa sambil beruraian air mata dan tersedu-sedu.
[Aku gak punya kekuatan untuk datang ke sana. Kamu awasi aja mereka.] Jari ini gemetar saat mengetik pesan balasan itu.
[Yah, kok gitu sih, Fa. Dateng ke sini, dong. Aku bantu labrak, deh. Ayo, dong, Fa, jangan lembek gitu jadi istri. Cepet, sini!] Ulfa mengirim pesan lagi. Aku cuma membacanya saja, tak lagi punya kekuatan untuk membalas.
[Fa, kamu beneran gak mau dateng ke sini melabrak mereka?]
Rasanya terlalu menyakitkan. Aku tak sanggup untuk mendatangi mereka. Biarlah kutunggu si Bocil pulang saja.
******
Jarum jam menunjuk angka sebelas malam. Bocil baru pulang. Cepat-cepat aku menunggunya di balik pintu depan.
"Kamu dari mana aja?" todongku saat dia baru saja masuk.
"Apa sih, Mbak. Udah, ah, aku capek mau istirahat," ketusnya. Lantas nyelonong masuk ke kamar. Apa tadi? Dia panggil aku 'mbak' lagi? Kenapa rasanya sakit banget ya, ini hati?
Kututup pintu, mematikan televisi dan menyusulnya ke kamar. Niatnya mau meminta penjelasan darinya, tetapi dia sudah tidur. Entah jika hanya pura-pura saja. Sungguh, dia berubah menyebalkan. Aku cuma bisa menghela napas panjang. Kemudian memungut jaket yang dia biarkan berserak di lantai. Sumpah, ini bukan si Bocil yang aku kenal. Tak biasanya dia meletakkan jaketnya secara asal begini.
Aku berbaring di sebelah si Bocil dengan perasaan sesak dan sakit. Kami tidur dalam posisi beradu punggung. Air mataku terus luruh membasahi bantal.
******
Aku terbangun seperti orang terkejut dan langsung dalam posisi duduk. Seketika kepala terasa pening. Memekik kaget saat melihat jam dan ternyata sudah siang. Bergegas aku turun dari ranjang, berlari ke dapur.
Oh, astaga!
Kondisi dapur sangat berantakan. Sepertinya si Bocil habis menggoreng nasi. Aku periksa tudung saji dan ternyata dia tidak menyisakan untukku. Keterlaluan! Cucian kotor juga masih di keranjang. Lantai masih kotor belum disapu dan dipel.
Aku berjalan ke depan, motor si Bocil sudah tidak ada. Pagar dalam kondisi terbuka. Apa si Bocil sudah berangkat kerja duluan?
Aku kembali ke dalam dan langsung mandi, lalu bersiap untuk pergi ke kantor. Duduk di teras menunggu pesanan taksi datang. Lagi, air mataku luruh. Aku sedih memikirkan perubahan sikap si Bocil. Rasanya seperti ada yang hilang. Sakit dan hampa. Kubenamkam wajah di sela tangan yang terlipat di atas meja teras.
Aku tersentak saat ada yang memegang bahu ini lembut. Apa itu si Bocil? Aku lantas mendongak guna memastikan siapa pemilik tangan ini.
"Reno!"
"Hai, kamu kenapa nangis?" tanya Reno. Dia terlihat panik. Cepat-cepat aku menghapus air mata.
"Enggak apa-apa, kok," kilahku. Lantas mengulas senyum palsu.
"Jangan bohong! Ini pasti ada hubungannya sama suamimu itu, kan? Bilang sama aku! Kamu diapain sama dia? Hmmm?"
"Aku gak apa-apa, Ren. Udah ah, aku mau berangkat kerja. Taksiku udah dateng." Aku beranjak dari duduk. Reno mencekal lenganku. Dia kembali mencecarku.
"Jawab dulu pertanyaanku. Kamu diapain sama suamimu? Nggak, aku nggak akan lepasin tanganmu, sebelum kamu jujur!" paksa Reno.
"Dia nggak ngapa-ngapain aku, Ren. Beneran! Udah, mending kamu pergi. Karena aku juga mau ke kantor. Udah telat, nih. Lepasin tanganku!" Reno menghela napas panjang, lantas melepaskan cekalannya. Aku masuk ke taksi dan menyuruh sopir jalan. Aku menoleh ke belakang, Reno mengikutiku dari belakang. Sampai aku di kantor.
"Kamu kenapa ngikutin aku, sih, Ren?" tanyaku setelah taksiku pergi. Reno turun dari mobil dan kini kami berdiri berhadapan.
"Aku cuma mau mastiin kamu selamat sampai tujuan," jawabnya sambil memegang kedua sisi bahu ini.
"Udah deh, Ren. Mending kamu pergi. Aku gak mau kalau suamiku salah paham lagi." Aku bergegas meninggalkan Reno yang masih berdiri di depan pagar.
Saat aku memasuki kantor, rupanya benar, si Bocil sudah berangkat duluan. Dia sedang mengepel di lobi. Dia begitu cuek saat aku lewat di sebelahnya.
"Tumben, berangkatnya gak bareng?" tanya Ulfa, "Oh, pasti gara-gara semalem itu, ya?" lanjutnya berbisik.
Aku bahkan belum sempat meminta penjelasan dari suamiku perihal info dari Ulfa semalam. Siapa wanita itu? Apa wanita itu yang berhasil mengalihkan perhatian si Bocil?
"Hei, malah bengong!" sentak Ulfa. Aku terkesiap, lalu menariknya ke bilik kerja.
"Udah, kerja-kerja!" seruku saat Ulfa terus mencecar perihal semalam.
Rasanya begitu menyakitkan saat sepulang kerja si Bocil meninggalkan aku lagi. Saat sampai rumah, aku berpapasan dengan suamiku yang siap untuk pergi. Entah akan ke mana. Penampilannya sudah rapi dan wangi. Saat aku bertanya, dia cuek.
Masuk rumah kian sesak dada ini. Semua masih berantakan. Bahkan makin berantakan. Aku duduk di sofa ruang tengah menyandarkan punggung. Lagi, air mata lolos begitu saja.
******
Hampir jam delapan malam, aku baru selesai membereskan rumah. Rasanya badan remuk redam. Aku duduk di sofa ruang tengah sembari menikmati secangkir teh hangat. Memeriksa ponsel berniat menghubungi si Bocil, tetapi malah dikejutkan oleh pesan masuk dari Reno.
[Fa, suamimu kecelakaan di depan Restoran Cendana.] Lengkap dengan foto si Bocil yang berdarah-darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMIKU BOCAH
RomanceAWAS BAPER KUADRAT!!! Sama keuwuan bocil Dafa 19 tahun with istrinya, Mbak Safa 29 tahun. Ya, sejauh itu selisih umur suami istri ini.😉